Solidaritas
dari dalam Kandang
Ida Bagus Made Nada ; Anggota Dewan Paroki St Clara, Bekasi
|
KORAN
JAKARTA, 25 Desember 2013
Saat ini, para elite ramai-ramai
duduk di tahta untuk dilayani. Para birokrat pun tidak kalah. Mereka juga
berada di singgasana menanti pelayanan.
Ya, sangat
disayangkan banyak pejabat publik atau kaum elite yang tidak tahu posisinya
bahwa mereka itu pelayan, tetapi pada kenyataannya justru hadir minta
dilayani. Hal ini bertolak belakang dengan kehadiran Yesus Sang Penebus yang
datang untuk melayani.
Dia hadir
bukan untuk dilayani, melainkan melayani. Kelahiran Yesus di dalam kandang
hewan yang bau, dingin, dan pengap merupakan bentuk paling nyata dari sebuah
kisah solidaritas dengan kaum papa. Solider dengan mereka yang terbuang,
tidak punya papan untuk tinggal, kedinginan, dan kelaparan.
Allah hadir
dalam bentuk Putra Manusia untuk merasakan sendiri hidup terbuang,
diasingkan, dan bahkan diancam. Sebagaimana diceritakan, Herodes Agung
memburu bayibayi mungil di Bethlehem untuk dibunuh.
Dia marah karena
tidak dapat menemukan bayi Yesus untuk dibunuh. Herodes lalu memerintahkan
untuk memenggal seluruh bayi laki-laki di daerah tersebut dengan harapan
salah satunya adalah Yesus. Itulah genosida pertama penguasa kepada
rakyatnya.
Sekarang ini,
apakah praktik genosida masih berjalan? Tentu saja praktik "pembunuhan
besar-besaran" tetap berlangsung di dunia ketika para penguasa
membiarkan rakyat miskin mati kelaparan, sementara mereka berfoya-foya
menghabiskan anggaran.
Para elite
terlibat "genosida" karena tanpa malu-malu mereka korupsi bersama
teman, sanak saudara, dinasti, bahkan dengan anak, istri, dan suami, uang
yang seharusnya untuk menyejahterakan rakyat.
Dana untuk
pemberdayaan masyarakat beralih ke kantong sendiri, keluarga, dan
teman-teman. Manusia telah menjadi "Herodes- Herodes Agung" ketika
mereka tidak berbela rasa kepada kaum kesrakat.
Manusia tidak
lagi peduli dan empati kepada orang miskin karena kehidupan dunia semakin
menjadi "sesembahan". Kehidupan dunia telah menjadi berhala baru
dan menutup hati bagi orang-orang yang berkekurangan. Harta dan kekayaan
dunia menjadi tujuan hidup itu sendiri.
Manusia lupa
bahwa mereka seharusnya kembali kepada Sang Pencipta, akan tetapi mereka
malah menuju kepada dunia. Maka, Natal ini merupakan peluang terbaik bagi
setiap manusia untuk kembali menimba kebeningan dan kebersihan hati agar
dimurnikan lagi, dilahirkan kembali berkat pengorbanan dan solidaritas Sang
Bayi di Betlehem.
Natal kali ini
harus menjadi pilihan manusia untuk merefl eksikan kembali makna kehidupan,
kembali menggeluti hidup suci. Manusia harus menimba semangat solidaritas
dari dalam gua yang sunyi, sepi, dan bau.
Ini analogi
bahwa manusia harus kembali menjadi sepi ing pamrih rame ing gawe (kerja
keras tanpa pamrih) dan sunyi dari keinginan berlebih yang bukan haknya serta
mau berkotor-kotor melayani masyarakat yang bau (orang yang bau biasanya
adalah orang miskin), Kehidupan dunia semakin memprihatinkan karena tambah
menjauh dari "gua" yang sunyi, tenang, mungkin juga dingin, tetapi
di situlah ditemukan keabadian.
Namun, manusia
justru memilih kefanaan dengan memuja hidup duniawi. Glamouria uang telah
menjerumuskan banyak anak manusia ke dalam kegelapan korupsi. Mereka terjerat
ke dalam kesenangan sesaat, tidak abadi.
Hidup menjadi
semakin indiviualistis dan materialistis. Semua diukur demi kepentingan
sendiri. Materialistis dalam artian orientasi hidup adalah mengejar kekayaan
duniawi. Dalam semangat ini, mereka tak segan menyingkirkan saingan yang
mengganggu tujuan.
Reorientasi
Natal ini hendaklah
menjadi titik balik reorientasi cara hidup dari berfokus pada sentrum diri
sendiri harus diarahkan demi mementingkan sesama. Reorientasi harus menjadi
fokus penimbaan kesederhanaan makna Natal. Kembalikan seluruh harta yang
diambil dengan tidak legal kepada mereka yang berhak.
Hanya dengan
melepaskan hartaharta ilegal, hidup menjadi lebih bersih. Itulah semangat
Natal sesungguhnya: berbagi. Bagikan kepada sesama yang miskin dan papa harta
benda yang dimiliki agar manusia tidak terlalu lekat pada milik. Berbagi
harus menjadi buah reorientasi dari hidup tamak menjadi sosial, dari
kedengkian menjadi pembagi kegembiraan.
Hendaklah
dunia bersukacita karena telah datang Anak Manusia yang dinanti-nantikan
sebagai juru bebas kelekatan manusia pada dunia. Dia datang untuk mengambil
kembali milik-Nya, yaitu manusia, dari cengkeraman dunia. Manusia telah
dibajak dunia dari tangan Allah.
Untuk itu,
Allah mengutus Putra-Nya untuk menebus manusia. Anak Manusia menjadi tebusan
dengan mengorbankan diri demi mengambil manusia dari gadai. Manusia telah
tergadai dalam dosa, tergadai ke dunia. Hanya, tidak semua menyadari bahwa
kehadiran-Nya untuk menyelamatkan, membebaskan, dan menebus.
Maka tidak
sedikit manusia yang menolaknya. Bahkan, mereka berusaha membunuhnya seperti
diwakili bangsa Yahudi tempo dulu. Herodes Agung menjadi potret nyata manusia
yang menolak diselamatkan.
Dia semakin
dalam terjerembap ke dalam cengkeraman dunia karena terbelenggu kekuasaan.
Dia menjadi gambar asli manusia yang berorientasi pada kekuasaan sehingga
hatinya tak dapat melihat kedatangan Juru Selamat.
Hidup dengan
semangat baru merupakan jawaban nyata dari tiap manusia dalam menyambut
Natal. Hidup baru haruslah menjadi habitus dengan lebih peduli, lebih berbela
rasa, dan lebih murah hati kepada sesama. Dengan kata lain, manusia harus
meninggalkan hidup lama sebagai pendosa yang rakus, tamak, korup, dan iri
hati serta intoleran.
Natal adalah
toleransi Yang Mahatinggi kepada manusia lemah. Maka Natal juga harus menjadi
tempat menimba ilmu toleransi bangsa Indonesia agar semakin sadar bahwa
sesama harus diperlakukan sebaik mungkin.
Bangsa yang
tidak toleran tidak perlu mengaku sebagai masyarakat agamis. Sebab kaum
beragama mutlak bertoleransi. Marilah merayakan Natal agar bisa bertoleransi,
ber-tepo seliro dan berserah diri. Selamat
Natal. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar