Kamis, 26 Desember 2013

Solidaritas dari dalam Kandang

Solidaritas dari dalam Kandang
Ida Bagus Made Nada  ;   Anggota Dewan Paroki St Clara, Bekasi
KORAN JAKARTA,  25 Desember 2013

  

Saat ini, para elite ramai-ramai duduk di tahta untuk dilayani. Para birokrat pun tidak kalah. Mereka juga berada di singgasana menanti pelayanan.
Ya, sangat disayangkan banyak pejabat publik atau kaum elite yang tidak tahu posisinya bahwa mereka itu pelayan, tetapi pada kenyataannya justru hadir minta dilayani. Hal ini bertolak belakang dengan kehadiran Yesus Sang Penebus yang datang untuk melayani.

Dia hadir bukan untuk dilayani, melainkan melayani. Kelahiran Yesus di dalam kandang hewan yang bau, dingin, dan pengap merupakan bentuk paling nyata dari sebuah kisah solidaritas dengan kaum papa. Solider dengan mereka yang terbuang, tidak punya papan untuk tinggal, kedinginan, dan kelaparan.

Allah hadir dalam bentuk Putra Manusia untuk merasakan sendiri hidup terbuang, diasingkan, dan bahkan diancam. Sebagaimana diceritakan, Herodes Agung memburu bayibayi mungil di Bethlehem untuk dibunuh.

Dia marah karena tidak dapat menemukan bayi Yesus untuk dibunuh. Herodes lalu memerintahkan untuk memenggal seluruh bayi laki-laki di daerah tersebut dengan harapan salah satunya adalah Yesus. Itulah genosida pertama penguasa kepada rakyatnya.

Sekarang ini, apakah praktik genosida masih berjalan? Tentu saja praktik "pembunuhan besar-besaran" tetap berlangsung di dunia ketika para penguasa membiarkan rakyat miskin mati kelaparan, sementara mereka berfoya-foya menghabiskan anggaran.

Para elite terlibat "genosida" karena tanpa malu-malu mereka korupsi bersama teman, sanak saudara, dinasti, bahkan dengan anak, istri, dan suami, uang yang seharusnya untuk menyejahterakan rakyat.

Dana untuk pemberdayaan masyarakat beralih ke kantong sendiri, keluarga, dan teman-teman. Manusia telah menjadi "Herodes- Herodes Agung" ketika mereka tidak berbela rasa kepada kaum kesrakat.

Manusia tidak lagi peduli dan empati kepada orang miskin karena kehidupan dunia semakin menjadi "sesembahan". Kehidupan dunia telah menjadi berhala baru dan menutup hati bagi orang-orang yang berkekurangan. Harta dan kekayaan dunia menjadi tujuan hidup itu sendiri.

Manusia lupa bahwa mereka seharusnya kembali kepada Sang Pencipta, akan tetapi mereka malah menuju kepada dunia. Maka, Natal ini merupakan peluang terbaik bagi setiap manusia untuk kembali menimba kebeningan dan kebersihan hati agar dimurnikan lagi, dilahirkan kembali berkat pengorbanan dan solidaritas Sang Bayi di Betlehem.

Natal kali ini harus menjadi pilihan manusia untuk merefl eksikan kembali makna kehidupan, kembali menggeluti hidup suci. Manusia harus menimba semangat solidaritas dari dalam gua yang sunyi, sepi, dan bau.

Ini analogi bahwa manusia harus kembali menjadi sepi ing pamrih rame ing gawe (kerja keras tanpa pamrih) dan sunyi dari keinginan berlebih yang bukan haknya serta mau berkotor-kotor melayani masyarakat yang bau (orang yang bau biasanya adalah orang miskin), Kehidupan dunia semakin memprihatinkan karena tambah menjauh dari "gua" yang sunyi, tenang, mungkin juga dingin, tetapi di situlah ditemukan keabadian.

Namun, manusia justru memilih kefanaan dengan memuja hidup duniawi. Glamouria uang telah menjerumuskan banyak anak manusia ke dalam kegelapan korupsi. Mereka terjerat ke dalam kesenangan sesaat, tidak abadi.

Hidup menjadi semakin indiviualistis dan materialistis. Semua diukur demi kepentingan sendiri. Materialistis dalam artian orientasi hidup adalah mengejar kekayaan duniawi. Dalam semangat ini, mereka tak segan menyingkirkan saingan yang mengganggu tujuan.

Reorientasi 

Natal ini hendaklah menjadi titik balik reorientasi cara hidup dari berfokus pada sentrum diri sendiri harus diarahkan demi mementingkan sesama. Reorientasi harus menjadi fokus penimbaan kesederhanaan makna Natal. Kembalikan seluruh harta yang diambil dengan tidak legal kepada mereka yang berhak.

Hanya dengan melepaskan hartaharta ilegal, hidup menjadi lebih bersih. Itulah semangat Natal sesungguhnya: berbagi. Bagikan kepada sesama yang miskin dan papa harta benda yang dimiliki agar manusia tidak terlalu lekat pada milik. Berbagi harus menjadi buah reorientasi dari hidup tamak menjadi sosial, dari kedengkian menjadi pembagi kegembiraan.

Hendaklah dunia bersukacita karena telah datang Anak Manusia yang dinanti-nantikan sebagai juru bebas kelekatan manusia pada dunia. Dia datang untuk mengambil kembali milik-Nya, yaitu manusia, dari cengkeraman dunia. Manusia telah dibajak dunia dari tangan Allah.

Untuk itu, Allah mengutus Putra-Nya untuk menebus manusia. Anak Manusia menjadi tebusan dengan mengorbankan diri demi mengambil manusia dari gadai. Manusia telah tergadai dalam dosa, tergadai ke dunia. Hanya, tidak semua menyadari bahwa kehadiran-Nya untuk menyelamatkan, membebaskan, dan menebus.

Maka tidak sedikit manusia yang menolaknya. Bahkan, mereka berusaha membunuhnya seperti diwakili bangsa Yahudi tempo dulu. Herodes Agung menjadi potret nyata manusia yang menolak diselamatkan.

Dia semakin dalam terjerembap ke dalam cengkeraman dunia karena terbelenggu kekuasaan. Dia menjadi gambar asli manusia yang berorientasi pada kekuasaan sehingga hatinya tak dapat melihat kedatangan Juru Selamat.

Hidup dengan semangat baru merupakan jawaban nyata dari tiap manusia dalam menyambut Natal. Hidup baru haruslah menjadi habitus dengan lebih peduli, lebih berbela rasa, dan lebih murah hati kepada sesama. Dengan kata lain, manusia harus meninggalkan hidup lama sebagai pendosa yang rakus, tamak, korup, dan iri hati serta intoleran.

Natal adalah toleransi Yang Mahatinggi kepada manusia lemah. Maka Natal juga harus menjadi tempat menimba ilmu toleransi bangsa Indonesia agar semakin sadar bahwa sesama harus diperlakukan sebaik mungkin.

Bangsa yang tidak toleran tidak perlu mengaku sebagai masyarakat agamis. Sebab kaum beragama mutlak bertoleransi. Marilah merayakan Natal agar bisa bertoleransi, ber-tepo seliro dan berserah diri. Selamat Natal. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar