Sabtu, 28 Desember 2013

Membangun Ekonomi Berdaulat

Transformasi Sistemik Indonesia 2014

Membangun Ekonomi Berdaulat

Ninuk Mardiana P  ;   Wartawan Kompas
KOMPAS,  27 Desember 2013



PERTUMBUHAN ekonomi Indonesia yang tampak tinggi beberapa tahun terakhir hingga di atas 6 persen tiba-tiba melorot pertengahan tahun ini. Nilai tukar rupiah juga terus melemah. Harga berbagai bahan makanan segar stabil tinggi dibandingkan dengan harga tahun lalu.

Untuk mencegah inflasi dan menahan agar jumlah orang yang berada di bawah garis kemiskinan, pemerintah mengambil jalan pintas dengan mengimpor berbagai pangan segar yang sebetulnya dapat diproduksi di dalam negeri, termasuk cabai.

Di sektor energi, rencana mengembangkan energi terbarukan tidak kunjung terealisasi meskipun Indonesia adalah salah satu pemilik energi panas bumi terbesar di dunia, panas matahari sepanjang tahun, energi nabati, dan energi air.

Menjelang tenggat larangan ekspor bijih mineral mentah (ore) pada 12 Januari 2014, muncul berita di media massa bahwa pemerintah ancang-ancang berubah haluan. Lobi pengusaha begitu kuat sampai-sampai dikabarkan ada rencana pemerintah memberikan pengecualian kepada beberapa perusahaan. Sementara harian ini Selasa (24/12) memberitakan, Kementerian ESDM bertahan melarang ekspor semua mineral mentah sesuai jadwal sesuai Undang-Undang Nomor 4 
Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.

Ilustrasi di atas menggambarkan tidak jelasnya visi pemerintah dalam membangun Indonesia. Strategi pemerintahan tidak koheren sehingga berbagai kebijakan terkesan reaktif dan tumpang tindih.

Tidak mengherankan apabila pemerintah dituding merancang pembangunan tanpa dilandasi UUD 1945. Alasannya, banyak kewajiban konstitusi tidak menjadi visi pemerintah. Pemerintah bahkan masuk pusaran neoliberalisme.

Melihat arah pembangunan saat ini, Pemilu 2014 menjadi sangat penting untuk melahirkan pemimpin yang memiliki visi Indonesia seperti yang dicita-citakan UUD 1945, yaitu masyarakat adil, makmur, dan mampu bersaing dalam globalisasi.

Kedaulatan

Dalam banyak hal, pemerintah lepas tangan dari kewajiban yang ditetapkan konstitusi. Pasal 28 UUD 1945 menetapkan pemerintah wajib menjamin pemenuhan kebutuhan dan pelayanan dasar bagi masyarakat.

Dalam konteks pemenuhan kebutuhan dasar, sampai saat ini pemerintah tidak menetapkan jenis pangan strategis, kecuali berkonsentrasi hanya pada beras, meskipun di dalam rencana jangka menengah pemerintah menetapkan swasembada beras, kedelai, jagung, gula, dan daging sapi.

Penetapan pangan strategis menuntut adanya kebijakan komprehensif untuk memenuhi ketersediaannya, mulai dari produksi hingga sampai di tangan konsumen dalam jumlah, kualitas, dan harga yang terjangkau rakyat banyak.

Ironisnya, jalan keluarnya adalah impor pangan. Kebijakan tersebut melupakan produsen dan kemampuan produksi dalam negeri beserta nilai tambahnya, termasuk sisi peningkatan kapasitas riset dan inovasi produksi pangan segar dan hasil olahannya. Belum lagi jika membahas soal ketahanan dan kedaulatan pangan.

Berbagai forum ekonomi internasional di mana Indonesia mengikatkan diri, Indonesia didorong untuk ”melupakan” sektor pangan. Forum seperti Organisasi Perdagangan Dunia juga mendorong terbukanya pasar 240 juta orang di Indonesia bagi produk pertanian dunia. Dengan 40 persen dari penduduk masih prasejahtera, harga pangan yang mahal sama saja dengan menihilkan hak asasi rakyat.

Dengan alasan tidak memiliki anggaran, pemerintah bukan hanya melepaskan kewajiban kepada swasta asing, melainkan juga kepada swasta nasional. Contohnya, penyediaan rumah bagi rakyat. Harga rumah terus naik, tidak seimbang dengan kenaikan pendapatan. Tanah pun dibiarkan menjadi barang spekulasi sehingga harganya naik terus.

Penciptaan lapangan kerja juga tidak dirancang mengatasi persoalan ketenagakerjaan. Dengan lebih dari separuh pendidikan angkatan kerja hanya SMP ke bawah, mereka tidak mungkin didorong bersaing di dalam pasar kerja. Meskipun demikian, tidak ada program khusus untuk meningkatkan keterampilan mereka. Di sisi lain, jumlah sarjana yang menganggur terus meningkat. Di sini, peran pendidikan dalam arti luas menjadi penting selain industrialisasi dan penanaman modal.

Daftar di atas bisa diperpanjang, mulai dari tidak terpenuhinya kebutuhan dasar seperti air bersih untuk seluruh rakyat (bukan dengan menjual mata air untuk industri air kemasan), kepemilikan asing di bank yang diizinkan pemerintah menjadi 99 persen, hingga liberalisasi sektor sumber daya alam.

Ironisnya, dalam kompetisi di tengah globalisasi dengan membuka pasar bagi produk dan investasi asing, Indonesia berada pada posisi semakin tersisih.
Keterbukaan pasar telah merasuk hingga ke desa-desa dan kaki lima di hampir semua sektor kehidupan. Indonesia tidak mampu mengambil nilai lebih pembangunan dan terbebani dampak pembangunan saat ini.

Dengan kata lain, kedaulatan sebagai bangsa saat ini melemah bukan karena peperangan fisik, melainkan karena tidak memiliki visi pembangunan yang berpihak pada kepentingan rakyat banyak.

Transformasi dan kepemimpinan

Pemilu 2014 akan sangat penting bagi Indonesia karena merupakan kesempatan untuk memilih pemimpin yang mampu mentransformasi kelembagaan untuk membawa Indonesia bersaing di percaturan global. Apalagi pada akhir 2015 akan dimulai perdagangan bebas dan lalu lintas orang tanpa pembatasan di ASEAN melalui Masyarakat Ekonomi ASEAN.

Pemimpin mendatang harus memiliki visi dan garis ideologi dalam pembangunan ekonomi berdasarkan UUD 1945 dan bekerja untuk kepentingan nasional. Juga wajib memiliki kemauan politik untuk membangun sistem, mendorong perencanaan pembangunan yang komprehensif, dan melaksanakannya dengan konsisten.

Masyarakat harus berani menuntut kepada para calon pemimpin visi dan strategi yang dituangkan ke dalam rencana kerja jangka menengah dan panjang dan tidak dapat diubah begitu saja di tengah jalan.

Kesepakatan bahwa tujuan akhir menjadi Indonesia adalah memenangi kompetisi global agar sederajat dengan negara-negara makmur lainnya memerlukan transformasi kelembagaan. Kebijakan yang diambil harus terintegrasi untuk menopang pemenangan kompetisi tersebut. Hulunya adalah birokrasi yang memiliki kompetensi, direkrut berdasarkan kemampuan, dan berpihak pada kepentingan nasional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar