Transformasi
Sistemik Indonesia 2014
Membangun
Ekonomi Berdaulat
Ninuk Mardiana P ; Wartawan Kompas
|
KOMPAS,
27 Desember 2013
PERTUMBUHAN ekonomi Indonesia
yang tampak tinggi beberapa tahun terakhir hingga di atas 6 persen tiba-tiba
melorot pertengahan tahun ini. Nilai tukar rupiah juga terus melemah. Harga
berbagai bahan makanan segar stabil tinggi dibandingkan dengan harga tahun
lalu.
Untuk mencegah inflasi dan menahan
agar jumlah orang yang berada di bawah garis kemiskinan, pemerintah mengambil
jalan pintas dengan mengimpor berbagai pangan segar yang sebetulnya dapat
diproduksi di dalam negeri, termasuk cabai.
Di sektor energi, rencana
mengembangkan energi terbarukan tidak kunjung terealisasi meskipun Indonesia
adalah salah satu pemilik energi panas bumi terbesar di dunia, panas matahari
sepanjang tahun, energi nabati, dan energi air.
Menjelang tenggat larangan ekspor
bijih mineral mentah (ore) pada 12 Januari 2014, muncul berita di media massa
bahwa pemerintah ancang-ancang berubah haluan. Lobi pengusaha begitu kuat
sampai-sampai dikabarkan ada rencana pemerintah memberikan pengecualian
kepada beberapa perusahaan. Sementara harian ini Selasa (24/12) memberitakan,
Kementerian ESDM bertahan melarang ekspor semua mineral mentah sesuai jadwal
sesuai Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara.
Ilustrasi di atas menggambarkan
tidak jelasnya visi pemerintah dalam membangun Indonesia. Strategi
pemerintahan tidak koheren sehingga berbagai kebijakan terkesan reaktif dan
tumpang tindih.
Tidak mengherankan apabila
pemerintah dituding merancang pembangunan tanpa dilandasi UUD 1945.
Alasannya, banyak kewajiban konstitusi tidak menjadi visi pemerintah.
Pemerintah bahkan masuk pusaran neoliberalisme.
Melihat arah pembangunan saat ini,
Pemilu 2014 menjadi sangat penting untuk melahirkan pemimpin yang memiliki
visi Indonesia seperti yang dicita-citakan UUD 1945, yaitu masyarakat adil,
makmur, dan mampu bersaing dalam globalisasi.
Kedaulatan
Dalam banyak hal, pemerintah lepas
tangan dari kewajiban yang ditetapkan konstitusi. Pasal 28 UUD 1945
menetapkan pemerintah wajib menjamin pemenuhan kebutuhan dan pelayanan dasar
bagi masyarakat.
Dalam konteks pemenuhan kebutuhan
dasar, sampai saat ini pemerintah tidak menetapkan jenis pangan strategis,
kecuali berkonsentrasi hanya pada beras, meskipun di dalam rencana jangka
menengah pemerintah menetapkan swasembada beras, kedelai, jagung, gula, dan
daging sapi.
Penetapan pangan strategis menuntut
adanya kebijakan komprehensif untuk memenuhi ketersediaannya, mulai dari
produksi hingga sampai di tangan konsumen dalam jumlah, kualitas, dan harga
yang terjangkau rakyat banyak.
Ironisnya, jalan keluarnya adalah
impor pangan. Kebijakan tersebut melupakan produsen dan kemampuan produksi
dalam negeri beserta nilai tambahnya, termasuk sisi peningkatan kapasitas
riset dan inovasi produksi pangan segar dan hasil olahannya. Belum lagi jika
membahas soal ketahanan dan kedaulatan pangan.
Berbagai forum ekonomi
internasional di mana Indonesia mengikatkan diri, Indonesia didorong untuk
”melupakan” sektor pangan. Forum seperti Organisasi Perdagangan Dunia juga
mendorong terbukanya pasar 240 juta orang di Indonesia bagi produk pertanian
dunia. Dengan 40 persen dari penduduk masih prasejahtera, harga pangan yang
mahal sama saja dengan menihilkan hak asasi rakyat.
Dengan alasan tidak memiliki
anggaran, pemerintah bukan hanya melepaskan kewajiban kepada swasta asing,
melainkan juga kepada swasta nasional. Contohnya, penyediaan rumah bagi
rakyat. Harga rumah terus naik, tidak seimbang dengan kenaikan pendapatan.
Tanah pun dibiarkan menjadi barang spekulasi sehingga harganya naik terus.
Penciptaan lapangan kerja juga
tidak dirancang mengatasi persoalan ketenagakerjaan. Dengan lebih dari
separuh pendidikan angkatan kerja hanya SMP ke bawah, mereka tidak mungkin
didorong bersaing di dalam pasar kerja. Meskipun demikian, tidak ada program
khusus untuk meningkatkan keterampilan mereka. Di sisi lain, jumlah sarjana
yang menganggur terus meningkat. Di sini, peran pendidikan dalam arti luas
menjadi penting selain industrialisasi dan penanaman modal.
Daftar di atas bisa diperpanjang,
mulai dari tidak terpenuhinya kebutuhan dasar seperti air bersih untuk
seluruh rakyat (bukan dengan menjual mata air untuk industri air kemasan),
kepemilikan asing di bank yang diizinkan pemerintah menjadi 99 persen, hingga
liberalisasi sektor sumber daya alam.
Ironisnya, dalam kompetisi di
tengah globalisasi dengan membuka pasar bagi produk dan investasi asing,
Indonesia berada pada posisi semakin tersisih.
Keterbukaan pasar telah merasuk
hingga ke desa-desa dan kaki lima di hampir semua sektor kehidupan. Indonesia
tidak mampu mengambil nilai lebih pembangunan dan terbebani dampak
pembangunan saat ini.
Dengan kata lain, kedaulatan
sebagai bangsa saat ini melemah bukan karena peperangan fisik, melainkan
karena tidak memiliki visi pembangunan yang berpihak pada kepentingan rakyat
banyak.
Transformasi dan kepemimpinan
Pemilu 2014 akan sangat penting
bagi Indonesia karena merupakan kesempatan untuk memilih pemimpin yang mampu
mentransformasi kelembagaan untuk membawa Indonesia bersaing di percaturan
global. Apalagi pada akhir 2015 akan dimulai perdagangan bebas dan lalu
lintas orang tanpa pembatasan di ASEAN melalui Masyarakat Ekonomi ASEAN.
Pemimpin mendatang harus memiliki
visi dan garis ideologi dalam pembangunan ekonomi berdasarkan UUD 1945 dan
bekerja untuk kepentingan nasional. Juga wajib memiliki kemauan politik untuk
membangun sistem, mendorong perencanaan pembangunan yang komprehensif, dan
melaksanakannya dengan konsisten.
Masyarakat harus berani menuntut
kepada para calon pemimpin visi dan strategi yang dituangkan ke dalam rencana
kerja jangka menengah dan panjang dan tidak dapat diubah begitu saja di
tengah jalan.
Kesepakatan bahwa tujuan akhir
menjadi Indonesia adalah memenangi kompetisi global agar sederajat dengan
negara-negara makmur lainnya memerlukan transformasi kelembagaan. Kebijakan
yang diambil harus terintegrasi untuk menopang pemenangan kompetisi tersebut.
Hulunya adalah birokrasi yang memiliki kompetensi, direkrut berdasarkan
kemampuan, dan berpihak pada kepentingan nasional. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar