Cahaya Terang
di Tengah Kegelapan
Benny Susetyo ; Rohaniwan
|
MEDIA
INDONESIA, 26 Desember 2013
BERAGAM keputusasaan dan tiadanya
harapan untuk bangkit seringkali disebabkan karena citra Tuhan dalam diri
manusia sudah menipis. Begitu pula dengan yang dialami oleh para elite yang
dengan gembira menipu rakyat kecil dan merampok harta kekayaan negara. Mereka
hampir kehilangan citra Tuhan dalam dirinya.
Mengutip pesan Natal bersama kali
ini, kita bisa merefleksikan dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kita juga masih merasakan adanya tindakan-tindakan intoleran yang mengancam
kerukunan, dengan dihembuskannya isu mayoritas dan minoritas di tengah-tengah
masyarakat oleh pihak-pihak yang memiliki kepentingan kekuasaan.
Tindakan itu secara sistematis
hadir dalam berbagai bentuknya. Selain itu, di depan mata kita juga tampak
perusakan alam melalui caracara hidup keseharian yang tidak mengindahkan
kelestarian lingkungan, seperti kurang peduli terhadap sampah, polusi, dan
lingkungan hijau, serta dalam bentuk eksploitasi besar-besaran terhadap alam
melalui proyek yang merusak lingkungan.
Selain itu yang paling mencemaskan
adalah kejahatan korupsi yang semakin menggurita. Usaha pemberan tasan sudah
dilakukan dengan tegas dan tak pandang bulu, tetapi tindakan korupsi yang
meliputi perputaran uang dalam jumlah yang sangat besar masih terus terjadi.
Hal lain yang juga memprihatinkan adalah lemahnya integritas para pemimpin
bangsa.
Refleksi
ketidakadilan
Berbagai peristiwa keadilan hukum
belakangan ini menjadi bukti nyata bahwa Tuhan tidak lagi dihadirkan dalam
perilaku kaum elite. Begitu banyak masalah ketaatan hukum di negeri kita
menyangkut permainan rasa keadilan ini.
Hukum hanya diperdebatkan dalam
hitam-putihnya pasal-pasal, tapi tidak mampu menjiwai perasaan publik.
Akibatnya hukum sering berat sebelah karena ia hanya mampu menghukum yang
miskin dan membebaskan yang kaya.
Hukum tanpa jiwa keadilan seperti
begitu mudah diperjualbelikan. Mafia hukum berkeliaran di sudut-sudut ruangan
penegakan hukum.
Sungguh benar bahwa sebagai negara
demokrasi kita harus bertindak untuk mengedepankan hukum dan peraturan.
Namun, dalam kenyataan di lapangan, hukum yang diberlakukan secara terpisah
dari moralitas keadilan sosial sering kali menegasikan suara hati dan nilai
ketuhanan itu sendiri.
Berbagai macam proyek pembangunan
yang dijalankan pemerintah dengan menggusur lahan-lahan rakyat kecil juga
berhadapan dengan masalah sensitif seperti ini. Para pedagang kecil digusur
dan dikucilkan atas nama keputusan pemerintah yang menyatakan demikian. Akibatnya,
keadilan yang tercipta bersifat timpang, ia lebih banyak berguna untuk
membela merekamereka yang kuat daripada yang lemah.
Rakyat miskin tiada daya untuk
menentang itu semua karena mereka terjebak dalam rasionalisasi penerapan
peraturan yang diterapkan tanpa melihat situasi dan konteks moral serta
pembelaannya terhadap kaum lemah yang sering ditindas dan dimanipulasi.
Siapa yang diuntungkan dan
dirugikan bukan hal penting lagi untuk diperbincangkan. Singkat kata, hal-hal
seperti inilah yang membuat kita terus mengkritik mengapa hukum selalu
berpihak kepada yang kuat dan bersikap tidak adil kepada yang lemah.
Keputusan menyangkut hajat hidup
orang banyak harus melalui banyak pertimbangan. Sejauh mana ia diyakini akan
menguntungkan negara dan memberi nilai tambah bagi masyarakat luas. Selain
itu, apakah kebijakan tersebut bisa dipertimbangkan secara moral bila
diperkirakan yang diuntungkan hanya beberapa orang atau kelompok saja.
Menegakkan keadilan bukan hanya
menegakkan hukum, melainkan juga bersangkut paut dengan moralitas. Hukum
harus dijalankan seiring dengan moralitas publik. Sinisme publik atas suatu
keputusan hukum dan politik me rupakan cermin dari pengabaian moralitas dalam
perilaku politik.
Orang-orang kuat juga sering
merasa bisa mengelabui moralitas publik. Orang kebanyakan dianggapnya tidak
tahu. Akibatnya, hukum tunduk di bawah perintah orang kuat. Menegak kan
peraturan memang sakit. Orang kuat tidak mau merasakan sakit tersebut.
Hukum telah sering dilumat oleh
taring-taring kekuasaan. Hukum dan moralitas ada, tapi sering dianggap tiada.
Berpuluh puluh undang-undang dan ketetapan dilahir kan untuk bisa dicari cari
sisi lemahnya, diperdayai. Masyarakat diajari hidup di alam yang amat-amat
buas, bahwa yang kuat selalu menang dan yang kecil harus kalah.
Banyak contoh dan banyak berita.
Mulai lokal hingga nasional. Sebagai rakyat kecil, kita bersedih karena apa
lagi yang mau kita harapkan dari bangsa ini atas sebuah bangunan peradaban
demokratis yang menghargai perasaan rakyatnya?
Kita makin menjauhi demokrasi
substansial dengan hanya menyodorkan demokrasi simbolistik. Perasaan rakyat
semakin hari semakin dihancurkan berbagai pola perilaku yang menusuk-nusuk
kalbu rakyat.
Kehidupan publik tidak lagi tunduk
pada moralitas. Realitas inilah yang akhirnya menghancurkan peradaban kita
sebagai bangsa. Kita menjadi bangsa yang tidak lagi perlu taat pada norma
hukum, dan boleh saja melalui logika kekuasaan dan uang mengkhianati
nilai-nilai keadilan.
Keadilan sendiri sudah dibelokkan
menjadi keadilan versi penguasa, dan keadilan sejati adalah barang klasik
yang amat langka di negeri ini.
Negeri ini hampir kehilangan suara hatinya, sebab politik masyarakat telah dihancurleburkan oleh realitas politik yang penuh kompromi dan kepentingan sesaat.
Natal kali ini menjadi momentum
untuk merasakan karut-marut kehidupan seolah Tuhan tidak lagi ada. Natal kali
ini justru menjadi momentum untuk mengingatkan warga sebangsa bahwa citra
Tuhan hendaknya menjadi acuan perilaku manusia agar ia bisa saling mengasihi
terutama kepada warga tertindas.
Natal dalam kondisi demikian
seharusnya membawa kegembiraan dan sukacita umat manusia bangsa ini karena
Dia sudah datang membawa cahaya terang di tengah kegelapan wajah masa depan
bangsa ini. Makna Natal yang demikian kita harapkan mewujud dalam tindakan
para elite bangsa ini. Selamat Natal. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar