Transformasi
Sistemik Indonesia 2014
Supaya
Tidak Makin Dangkal
Wisnu Nugroho ; Wartawan Kompas
|
KOMPAS,
27 Desember 2013
APA yang salah dengan rangkaian pemilihan umum dan proses
demokrasi kita? Mengapa yang mendapat mandat politik kini satu per satu
terbukti berkhianat terhadap rakyat? Apakah Pemilu 2014 yang ada di depan
mata cukup menjanjikan untuk suatu transformasi menuju demokrasi substansial
yang terkonsolidasi bisa mewujud? Apakah semua proses demokrasi ini akan
berujung pada kekecewaan juga?
Gugatan ini mengemuka saat
mengambil jeda atas jalannya demokrasi di Indonesia, terutama sejak Reformasi
1998 mempercepat lajunya. Menjelang Pemilu 2014, gugatan itu makin lantang
disuarakan dengan pijakan kekecewaan yang nyata.
Pemilu relatif bebas, adil, dan
demokratis sejak 1999. Tahun 2004, pemilu presiden langsung bahkan disusul
dengan pemilu kepala daerah. Meskipun demikian, kualitas dan efektivitas
pemerintahan hasil pemilu nyata-nyata mengecewakan publik.
Kini kita mendapati korupsi meluas
dan menjangkau aras tertinggi di negeri ini. Kita tidak terlalu yakin kapan
korupsi akan berhenti. Tertangkapnya Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil
Mochtar oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena dugaan suap merupakan
puncak dari kekecewaan.
Apabila mau lebih optimistis,
langkah tegas KPK sebenarnya menghadirkan harapan membaiknya Indonesia.
Korupsi tidak akan mendapat tempat karena siapa saja bisa di penjara. Namun,
kondisi lain membuat kita harus realistis meletakkan harapan itu.
Berakar panjang
Tumpukan kekecewaan ini tidak
datang tiba-tiba. Melihat lebih jauh, terpetakan lima akar persoalan, yaitu
warisan struktural ekonomi-politik-kultural kolonialisme; sistem otoriter
yang panjang (Demokrasi Terpimpin Soekarno dan Orde Baru era Soeharto); pola
transisi demokrasi tidak menjanjikan demokrasi substansial yang
terkonsolidasi; reformasi institusional tambal sulam berdampak pada
pilihan-pilihan politik serba ambigu; serta pendangkalan pemahaman politik
yang bermuara pada absennya etika dan moralitas para aktor demokrasi dan
penyelenggara negara.
Dalam perspektif teoretis Alfred
Stepen (1993), transisi demokrasi setelah Orde Baru terjadi karena tekanan
dan desakan kekuatan oposisi yang tidak terlembaga. Karena tidak muncul dari
dalam, perubahan mendasar tidak hadir.
Ada kesepakatan memperkuat sistem
demokrasi presidensial. Namun, tidak ada diskusi dan argumen mengapa hal itu
disepakati, kecuali stigma negatif terhadap demokrasi parlementer. Tidak ada
upaya serius membangun skema presidensial yang koheren dan konsisten dengan
pilihan sistem perwakilan, sistem pemilu, dan sistem kepartaian.
Inkonsistensi itu tampak dalam
perluasan otoritas DPR dan pelemahan otoritas presiden. Pada saat bersamaan,
politik tidak dilihat sebagai kebebasan memproduksi kebajikan dan keutamaan
bagi kehidupan kolektif. Politik menjadi sangat konkret: hanya soal kekuasaan
yang terdiri atas bagaimana merebut dan kemudian mempertahankan. Tidak
penting apakah kekuasaan itu bermanfaat atau justru menjadi monster
penghancur kolektivitas bangsa.
Pendangkalan pemahaman yang sama
berlaku atas partai politik, pemilu, dan demokrasi. Tidak heran jika para
elite parpol setelah Soeharto tidak punya proposal genuine mengenai
reformasi. Tidak juga memiliki visi bagaimana seharusnya bangsa ini ditata
ulang untuk mewujudkan cita-cita keadilan, demokrasi, dan kesejahteraan.
Akibatnya, parpol yang seharusnya menjadi tempat mengabdi, mendidik, dan
mencerdaskan bangsa justru menjadi tempat mencari nafkah dalam pengertian
sepenuh-penuhnya. Dalam ungkapan Bung Hatta, ”Partai dijadikan tujuan dan
negara sebagai alatnya.” Pendangkalan terjadi dalam kancah politik kita.
Bola liar
Menghadapi pendangkalan ini, apa
yang bisa dilakukan? Sebelum menjawab, perlu dipetakan masalah yang nyata di
depan mata dan dianggap seolah-olah tidak ada. Format pemilu presiden tidak
menjanjikan presiden yang mumpuni kemampuannya dan akuntabel. Format pemilu
legislatif demikian juga karena bertumpu pada popularitas, kemampuan
finansial, dan hubungan nepotis. Tradisi seleksi kepemimpinan belum
melembaga.
Dalam kondisi ini, penataan
menyeluruh diperlukan agar pilihan atas skema sistem demokrasi presidensial
koheren dan konsisten dengan pilihan sistem perwakilan, skema dan format
pemilu, serta sistem kepartaian. Jika amandemen kelima konstitusi diniscayakan,
perlu kesepakatan nasional agar tak menjadi ”bola liar” mengarah pada tambal
sulam baru hasil amandemen.
Perlu ditata skema pemilu yang
mengarah pada penyelenggaraan pemilu presiden dan pemilu legislatif secara
simultan/serentak agar format pemilu presiden dan koalisi tidak ”didikte”
hasil pemilu legislatif. Pemilu presiden dan pemilu legislatif serentak
menjadi ”pemilu nasional” yang diselenggarakan 2,5 tahun mendahului ”pemilu
lokal” untuk memilih kepala daerah dan anggota DPRD.
Perubahan ini tidak bisa
diharapkan semata-mata dari elite parpol. Rakyat selaku pemilik kedaulatan
dan pemberi mandat politik dalam pemilu harus terus meneriakkan
ketidakadilan, kebusukan, ketakpedulian, dan sikap mati rasa para elite
penyelenggara negara atas nasib dan masa depan bangsa.
Kerja sama dan konsolidasi
sejumlah elemen masyarakat sipil diperlukan. Perlu kerja besar pencerdasan
dan penyadaran rakyat sebagai ”warga negara”, bukan sekadar ”massa” yang
mudah diprovokasi dan dimanipulasi oleh mereka yang ”mengail di air politik
yang keruh” untuk kepentingan mereka masing-masing.
Tanpa mengupayakan langkah-langkah
ini, kancah politik kita akan semakin dangkal dan akan segera tiba saatnya
karam.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar