Sabtu, 28 Desember 2013

Supaya Tidak Makin Dangkal

Transformasi Sistemik Indonesia 2014

Supaya Tidak Makin Dangkal

Wisnu Nugroho  ;   Wartawan Kompas
KOMPAS,  27 Desember 2013
  


APA yang salah dengan rangkaian pemilihan umum dan proses demokrasi kita? Mengapa yang mendapat mandat politik kini satu per satu terbukti berkhianat terhadap rakyat? Apakah Pemilu 2014 yang ada di depan mata cukup menjanjikan untuk suatu transformasi menuju demokrasi substansial yang terkonsolidasi bisa mewujud? Apakah semua proses demokrasi ini akan berujung pada kekecewaan juga?

Gugatan ini mengemuka saat mengambil jeda atas jalannya demokrasi di Indonesia, terutama sejak Reformasi 1998 mempercepat lajunya. Menjelang Pemilu 2014, gugatan itu makin lantang disuarakan dengan pijakan kekecewaan yang nyata.

Pemilu relatif bebas, adil, dan demokratis sejak 1999. Tahun 2004, pemilu presiden langsung bahkan disusul dengan pemilu kepala daerah. Meskipun demikian, kualitas dan efektivitas pemerintahan hasil pemilu nyata-nyata mengecewakan publik.

Kini kita mendapati korupsi meluas dan menjangkau aras tertinggi di negeri ini. Kita tidak terlalu yakin kapan korupsi akan berhenti. Tertangkapnya Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena dugaan suap merupakan puncak dari kekecewaan.

Apabila mau lebih optimistis, langkah tegas KPK sebenarnya menghadirkan harapan membaiknya Indonesia. Korupsi tidak akan mendapat tempat karena siapa saja bisa di penjara. Namun, kondisi lain membuat kita harus realistis meletakkan harapan itu.

Berakar panjang

Tumpukan kekecewaan ini tidak datang tiba-tiba. Melihat lebih jauh, terpetakan lima akar persoalan, yaitu warisan struktural ekonomi-politik-kultural kolonialisme; sistem otoriter yang panjang (Demokrasi Terpimpin Soekarno dan Orde Baru era Soeharto); pola transisi demokrasi tidak menjanjikan demokrasi substansial yang terkonsolidasi; reformasi institusional tambal sulam berdampak pada pilihan-pilihan politik serba ambigu; serta pendangkalan pemahaman politik yang bermuara pada absennya etika dan moralitas para aktor demokrasi dan penyelenggara negara.

Dalam perspektif teoretis Alfred Stepen (1993), transisi demokrasi setelah Orde Baru terjadi karena tekanan dan desakan kekuatan oposisi yang tidak terlembaga. Karena tidak muncul dari dalam, perubahan mendasar tidak hadir.

Ada kesepakatan memperkuat sistem demokrasi presidensial. Namun, tidak ada diskusi dan argumen mengapa hal itu disepakati, kecuali stigma negatif terhadap demokrasi parlementer. Tidak ada upaya serius membangun skema presidensial yang koheren dan konsisten dengan pilihan sistem perwakilan, sistem pemilu, dan sistem kepartaian.

Inkonsistensi itu tampak dalam perluasan otoritas DPR dan pelemahan otoritas presiden. Pada saat bersamaan, politik tidak dilihat sebagai kebebasan memproduksi kebajikan dan keutamaan bagi kehidupan kolektif. Politik menjadi sangat konkret: hanya soal kekuasaan yang terdiri atas bagaimana merebut dan kemudian mempertahankan. Tidak penting apakah kekuasaan itu bermanfaat atau justru menjadi monster penghancur kolektivitas bangsa.

Pendangkalan pemahaman yang sama berlaku atas partai politik, pemilu, dan demokrasi. Tidak heran jika para elite parpol setelah Soeharto tidak punya proposal genuine mengenai reformasi. Tidak juga memiliki visi bagaimana seharusnya bangsa ini ditata ulang untuk mewujudkan cita-cita keadilan, demokrasi, dan kesejahteraan. Akibatnya, parpol yang seharusnya menjadi tempat mengabdi, mendidik, dan mencerdaskan bangsa justru menjadi tempat mencari nafkah dalam pengertian sepenuh-penuhnya. Dalam ungkapan Bung Hatta, ”Partai dijadikan tujuan dan negara sebagai alatnya.” Pendangkalan terjadi dalam kancah politik kita.

Bola liar

Menghadapi pendangkalan ini, apa yang bisa dilakukan? Sebelum menjawab, perlu dipetakan masalah yang nyata di depan mata dan dianggap seolah-olah tidak ada. Format pemilu presiden tidak menjanjikan presiden yang mumpuni kemampuannya dan akuntabel. Format pemilu legislatif demikian juga karena bertumpu pada popularitas, kemampuan finansial, dan hubungan nepotis. Tradisi seleksi kepemimpinan belum melembaga.

Dalam kondisi ini, penataan menyeluruh diperlukan agar pilihan atas skema sistem demokrasi presidensial koheren dan konsisten dengan pilihan sistem perwakilan, skema dan format pemilu, serta sistem kepartaian. Jika amandemen kelima konstitusi diniscayakan, perlu kesepakatan nasional agar tak menjadi ”bola liar” mengarah pada tambal sulam baru hasil amandemen.

Perlu ditata skema pemilu yang mengarah pada penyelenggaraan pemilu presiden dan pemilu legislatif secara simultan/serentak agar format pemilu presiden dan koalisi tidak ”didikte” hasil pemilu legislatif. Pemilu presiden dan pemilu legislatif serentak menjadi ”pemilu nasional” yang diselenggarakan 2,5 tahun mendahului ”pemilu lokal” untuk memilih kepala daerah dan anggota DPRD.

Perubahan ini tidak bisa diharapkan semata-mata dari elite parpol. Rakyat selaku pemilik kedaulatan dan pemberi mandat politik dalam pemilu harus terus meneriakkan ketidakadilan, kebusukan, ketakpedulian, dan sikap mati rasa para elite penyelenggara negara atas nasib dan masa depan bangsa.

Kerja sama dan konsolidasi sejumlah elemen masyarakat sipil diperlukan. Perlu kerja besar pencerdasan dan penyadaran rakyat sebagai ”warga negara”, bukan sekadar ”massa” yang mudah diprovokasi dan dimanipulasi oleh mereka yang ”mengail di air politik yang keruh” untuk kepentingan mereka masing-masing.
Tanpa mengupayakan langkah-langkah ini, kancah politik kita akan semakin dangkal dan akan segera tiba saatnya karam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar