Sejak Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) dibentuk atau selama 2004– 2013 ini banyak
kasus kejahatan tindak pidana korupsi telah ditangani.
Sedangkan jumlah perkara yang telah ditangani
pada 2013 sebanyak 48 kasus. Itu disampaikan Direktur Penelitian dan
Pengembangan KPK Roni Dwi Susanto dalam acara semiloka “Koordinasi dan
Supervisi Pencegahan Korupsi” di Kantor Gubernur Sulawesi Barat, Kamis
(26/9/13). Menurutnya, dari 385 kasus yang ditangani KPK tersebut,
masingmasing melibatkan anggota DPR dan DPRD sebanyak 72 kasus, kepala
lembaga/kementerian 9 kasus, duta besar 4 kasus, dan komisioner 7 kasus.
Sementara yang melibatkan gubernur terdapat
sembilan kasus dan pada 2013 ini ada satu gubernur harus berurusan dengan
KPK. Bukan hanya itu, kasus kejahatan korupsi yang melibatkan wali
kota/bupati dan wakil bupati juga terdapat 34 kasus dan tahun ini
setidaknya terdapat dua kepala daerah harus menjalani proses hukuman.”
Khusus pejabat eselon I, II, dan III juga terlihat dominan dengan jumlah
114 kasus, hakim 8 kasus, swasta 87 kasus, dan lainnya 41 kasus. Praktis,
jumlah kasus yang ditangani menembus angka 385.
Korupsi telah merusak keadaban kemanusiaan
karena tindakan korupsi menghancurkan nilai-nilai kejujuran serta
menyalahgunakan kekuasaan untuk memperkaya diri sendiri yang mengakibatkan
kemiskinan. Penderitan bagi kehidupan masyarakat. Ini membuat pemimpin umat
Katolik sedunia, Paus Fransiskus, mengeluarkan peringatan keras pada para
koruptor. Mengutip Injil, dia mengatakan bahwa koruptor seharusnya diikat
di sebuah batu lalu dilemparkan ke laut, diberitakan Telegraph, Senin 11
November 2013.
Dalam khotbahnya di Casa Santa Marta, Vatikan,
Fransiskus juga mengatakan bahwa umat Kristen memiliki “kehidupan ganda”
jika memberikan sumbangan ke Gereja, sementara mencuri dari negara. Mereka
pantas dihukum. Yesus berkata: “Lebih baik baginya jika batu giling
diikatkan ke lehernya dan dia dilemparkan ke laut,” kata Fransiskus,
mengutip Injil Lukas di Perjanjian Baru. Fransiskus mengibaratkan para
koruptor yang munafik seperti nisan yang putih bersih.
“Mereka terlihat cantik dari luarnya, tapi di
dalamnya, banyak mayat-mayat yang membusuk.” Pemberantasan korupsi harusnya
menjadi kesadaran bersama bangsa ini karena perilaku korup membawah bangsa
kehilangan keadabannya. Bangsa tidak memiliki keadaban cenderung bangsa
tanpa pengharapan sehingga dibutuhkan sebuah budaya alternatif. Ini
ditegaskan Romo Franz Magiz Suseno SJ bahwa salah satu penyebab korupsi
adalah gagalnya pendidikan etika dan agama.
Pendidikan agama dinilai masih terlalu formal,
belum membentuk moral positif siswa serta cenderung mengajarkan seputar
agama dan tempat ibadahnya. Jarang menyentuh peran sosial ini membuat agama
hanya bersifat ritual dan tidak dibatinkan dalam nilai kehidupan yang nyata
sehingga ada kesenjangan antara kata dan perbuatan. Lemahnya sanksi sosial
masyarakat terhadap pelaku korupsi karena rendahnya sanksi sosial dan moral
terhadap para pelaku korupsi.
Setidaknya ini signifikan sebagai alasan
susahnya memberantas korupsi hingga akar-akarnya di negeri ini. Sebagian besar
masyarakat jengah dengan perilaku korupsi ini, tetapi sebagian kecil
lainnya, khususnya mereka yang berada di area rawan korupsi, justru
bepersepsi sebaliknya. Itulah ironisme tatkala melihat seorang koruptor
justru diperlakukan seperti pahlawan. Mereka yang tertangkap karena kasus
korupsi sering dianggap sebagai mereka yang “sial”. Apa artinya? Artinya
perilaku korupsi lain yang tidak terungkap, yang sistemik, yang tidak
terpublikasi di media masih begitu banyak dan besar.
Saat korupsi masih membudaya seperti ini,
sulit bagi kita untuk lepas 100% dan menghilangkan korupsi sampai
akarakarnya dalam waktu cepat. Para politikus dan birokrat yang dekat
dengan arena korupsi kerap melihat mereka yang ditangkap adalah contoh
kecil dari korupsi sesungguhnya. Asumsi seperti ini justru merupakan
tantangan bagi pihak berwenang untuk membongkar setuntas-tuntasnya berbagai
tindakan, kecil atau besar, korupsi di negeri ini. Apalagi bila sudah
menyangkut sistem, dapat dikatakan korupsi sudah demikian sistemik dalam
sistem birokrasi kita.
Susah dideteksi dengan perangkat hukum tetapi
mudah dirasakan dengan mudah bahwa telah terjadi korupsi. Itulah kenyataan
yang terjadi di sekitar kita. Situasi ini diperparah dengan banyaknya hak
istimewa yang didapat para koruptor. Masyarakat bertambah yakin bahwa
pelaku korupsi tidak selalu mendapatkan hukuman berat. Ada pula anggapan
kalau koruptor dihukum 1–2 tahun, lepas dari penjara dia masih bisa
berfoya-foya dengan uang hasil korupsinya. Pandangan-pandangan negatif yang
bersifat melemahkan ini banyak beredar di sekitar kita. Korupsi yang
menjadi musuh bersama itu sering masih berhenti hanya dalam ucapan.
Dalam tindakan amat sulit menegakkan hukum
untuk memberi sanksi seberat-beratnya terhadap koruptor. Itu juga yang kerap
membuat koruptor sering merasa tidak berdosa dengan tindakannya merampok
uang negara (uang rakyat). Gejala ini terjadi karena sebagian budaya kita
masih melihat pelaku korupsi yang menyalahgunakan jabatan dan kekuasaan itu
seolah ”dibenarkan” dalam kacamata politik kekuasaan.
Menjadi penguasa, dengan begitu, adalah
justifikasi untuk melakukan tindakan korupsi, besar atau kecil, terlihat
atau tidak. Akibatnya, semakin berkembang modus dan cara-cara merampok uang
negara dalam tindakan yang sulit dideteksi publik. Ada banyak cara
dilakukan seperti pemeo yang beredar di masyarakat: maling selalu lebih
pintar daripada polisi. Begitu pula dengan koruptor.
Ada keyakinan kuat bahwa kasus-kasus korupsi
yang muncul akhir-akhir ini adalah sebagian kecil, atau hanya puncak dari
gunung es korupsi. Bila itu benar, celakalah kita sebagai bangsa yang
”mencintai” korupsi sebagai tindakan instan untuk memperkaya diri sendiri.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar