Kamis, 05 Desember 2013

Korupsi Kejahatan Manusia

Korupsi Kejahatan Manusia
Benny Susetyo  ;   Sekretaris Dewan Nasional Setara
KORAN SINDO,  05 Desember 2013

  

Sejak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dibentuk atau selama 2004– 2013 ini banyak kasus kejahatan tindak pidana korupsi telah ditangani. 

Sedangkan jumlah perkara yang telah ditangani pada 2013 sebanyak 48 kasus. Itu disampaikan Direktur Penelitian dan Pengembangan KPK Roni Dwi Susanto dalam acara semiloka “Koordinasi dan Supervisi Pencegahan Korupsi” di Kantor Gubernur Sulawesi Barat, Kamis (26/9/13). Menurutnya, dari 385 kasus yang ditangani KPK tersebut, masingmasing melibatkan anggota DPR dan DPRD sebanyak 72 kasus, kepala lembaga/kementerian 9 kasus, duta besar 4 kasus, dan komisioner 7 kasus. 

Sementara yang melibatkan gubernur terdapat sembilan kasus dan pada 2013 ini ada satu gubernur harus berurusan dengan KPK. Bukan hanya itu, kasus kejahatan korupsi yang melibatkan wali kota/bupati dan wakil bupati juga terdapat 34 kasus dan tahun ini setidaknya terdapat dua kepala daerah harus menjalani proses hukuman.” Khusus pejabat eselon I, II, dan III juga terlihat dominan dengan jumlah 114 kasus, hakim 8 kasus, swasta 87 kasus, dan lainnya 41 kasus. Praktis, jumlah kasus yang ditangani menembus angka 385. 

Korupsi telah merusak keadaban kemanusiaan karena tindakan korupsi menghancurkan nilai-nilai kejujuran serta menyalahgunakan kekuasaan untuk memperkaya diri sendiri yang mengakibatkan kemiskinan. Penderitan bagi kehidupan masyarakat. Ini membuat pemimpin umat Katolik sedunia, Paus Fransiskus, mengeluarkan peringatan keras pada para koruptor. Mengutip Injil, dia mengatakan bahwa koruptor seharusnya diikat di sebuah batu lalu dilemparkan ke laut, diberitakan Telegraph, Senin 11 November 2013. 

Dalam khotbahnya di Casa Santa Marta, Vatikan, Fransiskus juga mengatakan bahwa umat Kristen memiliki “kehidupan ganda” jika memberikan sumbangan ke Gereja, sementara mencuri dari negara. Mereka pantas dihukum. Yesus berkata: “Lebih baik baginya jika batu giling diikatkan ke lehernya dan dia dilemparkan ke laut,” kata Fransiskus, mengutip Injil Lukas di Perjanjian Baru. Fransiskus mengibaratkan para koruptor yang munafik seperti nisan yang putih bersih. 

“Mereka terlihat cantik dari luarnya, tapi di dalamnya, banyak mayat-mayat yang membusuk.” Pemberantasan korupsi harusnya menjadi kesadaran bersama bangsa ini karena perilaku korup membawah bangsa kehilangan keadabannya. Bangsa tidak memiliki keadaban cenderung bangsa tanpa pengharapan sehingga dibutuhkan sebuah budaya alternatif. Ini ditegaskan Romo Franz Magiz Suseno SJ bahwa salah satu penyebab korupsi adalah gagalnya pendidikan etika dan agama. 

Pendidikan agama dinilai masih terlalu formal, belum membentuk moral positif siswa serta cenderung mengajarkan seputar agama dan tempat ibadahnya. Jarang menyentuh peran sosial ini membuat agama hanya bersifat ritual dan tidak dibatinkan dalam nilai kehidupan yang nyata sehingga ada kesenjangan antara kata dan perbuatan. Lemahnya sanksi sosial masyarakat terhadap pelaku korupsi karena rendahnya sanksi sosial dan moral terhadap para pelaku korupsi. 

Setidaknya ini signifikan sebagai alasan susahnya memberantas korupsi hingga akar-akarnya di negeri ini. Sebagian besar masyarakat jengah dengan perilaku korupsi ini, tetapi sebagian kecil lainnya, khususnya mereka yang berada di area rawan korupsi, justru bepersepsi sebaliknya. Itulah ironisme tatkala melihat seorang koruptor justru diperlakukan seperti pahlawan. Mereka yang tertangkap karena kasus korupsi sering dianggap sebagai mereka yang “sial”. Apa artinya? Artinya perilaku korupsi lain yang tidak terungkap, yang sistemik, yang tidak terpublikasi di media masih begitu banyak dan besar. 

Saat korupsi masih membudaya seperti ini, sulit bagi kita untuk lepas 100% dan menghilangkan korupsi sampai akarakarnya dalam waktu cepat. Para politikus dan birokrat yang dekat dengan arena korupsi kerap melihat mereka yang ditangkap adalah contoh kecil dari korupsi sesungguhnya. Asumsi seperti ini justru merupakan tantangan bagi pihak berwenang untuk membongkar setuntas-tuntasnya berbagai tindakan, kecil atau besar, korupsi di negeri ini. Apalagi bila sudah menyangkut sistem, dapat dikatakan korupsi sudah demikian sistemik dalam sistem birokrasi kita. 

Susah dideteksi dengan perangkat hukum tetapi mudah dirasakan dengan mudah bahwa telah terjadi korupsi. Itulah kenyataan yang terjadi di sekitar kita. Situasi ini diperparah dengan banyaknya hak istimewa yang didapat para koruptor. Masyarakat bertambah yakin bahwa pelaku korupsi tidak selalu mendapatkan hukuman berat. Ada pula anggapan kalau koruptor dihukum 1–2 tahun, lepas dari penjara dia masih bisa berfoya-foya dengan uang hasil korupsinya. Pandangan-pandangan negatif yang bersifat melemahkan ini banyak beredar di sekitar kita. Korupsi yang menjadi musuh bersama itu sering masih berhenti hanya dalam ucapan. 

Dalam tindakan amat sulit menegakkan hukum untuk memberi sanksi seberat-beratnya terhadap koruptor. Itu juga yang kerap membuat koruptor sering merasa tidak berdosa dengan tindakannya merampok uang negara (uang rakyat). Gejala ini terjadi karena sebagian budaya kita masih melihat pelaku korupsi yang menyalahgunakan jabatan dan kekuasaan itu seolah ”dibenarkan” dalam kacamata politik kekuasaan. 

Menjadi penguasa, dengan begitu, adalah justifikasi untuk melakukan tindakan korupsi, besar atau kecil, terlihat atau tidak. Akibatnya, semakin berkembang modus dan cara-cara merampok uang negara dalam tindakan yang sulit dideteksi publik. Ada banyak cara dilakukan seperti pemeo yang beredar di masyarakat: maling selalu lebih pintar daripada polisi. Begitu pula dengan koruptor. 

Ada keyakinan kuat bahwa kasus-kasus korupsi yang muncul akhir-akhir ini adalah sebagian kecil, atau hanya puncak dari gunung es korupsi. Bila itu benar, celakalah kita sebagai bangsa yang ”mencintai” korupsi sebagai tindakan instan untuk memperkaya diri sendiri. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar