Pemuda dan
Partisipasi Politik
Andryka Syayed Achmad Assagaf ; Alumnus
Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia, Makassar; Mahasiswa Program
Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
|
KOMPAS,
26 Desember 2013
SOEKARNO
dalam setiap pidatonya sering berucap, ”Gantungkan
cita-citamu setinggi langit, hai pemuda-pemuda Indonesia,” karena ia
sadar betul, pemuda adalah garda terdepan suatu perubahan.
Namun, zaman berubah. Pemuda
sekarang memiliki karakteristik yang berbeda. Beberapa sikap yang tampak
justru ketidakpekaan terhadap masalah-masalah nasional (57,4 persen),
berorientasi pada materi/ kekayaan, dan hanya 20 persen dari pemuda yang
menganggap kepentingan nasional sebagai salah satu agenda mereka. Total ada
63 persen pemuda Indonesia yang hanya berorientasi pada kepentingan sendiri
(Kompas, 18/11).
Kondisi tersebut terjadi akibat
berinteraksinya berbagai faktor yang sekaligus menciptakan apatisme di
kalangan pemuda. Dominasi cita akan kekuasaan, materi, dan popularitas yang
termanifestasi dalam hasrat politik para elite membunuh jiwa politik yang
mempunyai cita-cita suci.
Hal ini membuat para pemuda tak
memiliki ketertarikan terhadap politik walaupun seperti yang dikatakan Peter
Merlk (2008), politik dalam bentuk yang paling baik merupakan usaha mencapai
tatanan sosial yang baik dan berkeadilan.
Pemimpin masa depan
Menurut data Badan Pusat Statistik
dan perkiraan Center for Election and
Political Party, pemilih muda pada Pemilu 2014 mencapai 50 juta orang.
Ketika diasumsikan para pemilih
yang berusia 17-30 tahun menggunakan seluruh hak suaranya, itu akan melebihi
dua kali lipat total perolehan suara Partai Golkar sebagai pemenang Pemilu
2004 dan Partai Demokrat sebagai pemenang Pemilu 2009. Karena itu, pemuda
merupakan salah satu bagian yang tak dapat dielakkan terkait dengan masa
depan Republik Indonesia.
Partisipasi politik pemuda
merupakan cerminan Indonesia masa mendatang : apakah negara akan berjaya atau
hancur berkeping-keping akibat dari realitas politik yang ada. Dua skenario
inilah yang akan menjadi pilihan saat partisipasi politik pemuda rendah dan
tidak menimbulkan rotasi atau regenerasi elite.
Perlu pula diingat sekaligus
menjadi cerminan para pemuda, dalam pandangan Soe Hok Gie (1959), pemuda
ditugaskan untuk memberantas generasi tua yang mengacau, menjadi hakim atas
mereka yang dituduh koruptor, dan mewujudkan kemakmuran Indonesia. Hal ini
menjadi tugas pemuda Indonesia masa kini dan yang akan datang.
Kiprah pemuda dalam dunia
perpolitikan seyogianya dapat memberikan stimulus dalam realitas politik yang
cenderung dimonopoli oleh ”politik instan” yang tidak kompeten dan hanya
bermodalkan popularitas semata.
Ditambah sentuhan idealisme dan
pemikiran kritis yang kebanyakan dimiliki kaum muda, kita berharap ada angin
segar yang sekaligus mengawal Indonesia menuju arah yang lebih baik dalam
proses demokratisasi.
Membangun partisipasi
Secara faktual terjadi penurunan
partisipasi masyarakat dalam setiap pemilu. Pada tahun 1999, partisipasi
masyarakat dalam pemilu sebesar 99,33 persen, tahun 2004 sebesar 84,9 persen,
dan tahun 2009 sebesar 70,99 persen.
Penurunan partisipasi masyarakat,
terutama para pemuda, dalam pemilu ataupun dunia politik, salah satunya,
adalah akibat rentang jarak antara partai politik dan konstituen.
Parpol hidup hanya saat momen
pemilihan umum, baik pemilihan umum legislatif, pemilihan umum presiden,
maupun pemilihan umum kepala daerah untuk meraup suara pemilih.
Beberapa rumusan pasal dalam
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Parpol sebenarnya telah membuka
ruang agar tercipta kedekatan jarak parpol dengan para pemuda dan konstituen
pada umumnya melalui pendidikan politik.
Ini yang seharusnya dilakukan oleh
parpol kepada masyarakat luas, sebagaimana terkandung dalam Pasal 11 Ayat
(1). Namun, pendidikan tersebut terasa hanya sampai pada anggota parpol.
Untuk meretas kesenjangan antara
parpol dan para pemuda, setidaknya ada dua langkah yang harus dilakukan oleh
parpol sebagai salah satu ”kendaraan” demokrasi, yang telah tertuang dalam
peraturan dasar (konstitusi).
Langkah pertama, membangun
kedekatan jarak politik antara partai dan para pemuda Indonesia. Hal ini
diperlukan agar politik dan parpol merupakan bagian dari napas kehidupan para
pemuda sehingga parpol tidak hanya hidup saat datangnya momentum politik.
Kedekatan ini pun dapat mengartikulasikan sekaligus menjadi bagian agregasi
dari kepentingan politik pemuda.
Langkah kedua, penyertaan
keterwakilan pemuda baik dalam kepengurusan parpol maupun organisasi sayap
parpol. Hal ini dapat memangkas jarak antara elite dan pemuda yang telah
terpolarisasi.
Keterwakilan pemuda dalam
kepengurusan ataupun sayap parpol dengan sendirinya dapat memberikan
pendidikan politik bagi pemuda sekaligus menciptakan rotasi dalam dunia
perpolitikan Indonesia.
Namun, hal yang paling utama dari
kedua langkah tersebut bukanlah semata-mata mengubah undang-undang atau
anggaran dasar/anggaran rumah tangga parpol, melainkan dorongan kuat dan
sikap tegas para pemuda untuk menciptakan Indonesia yang lebih baik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar