Jumat, 27 Desember 2013

Pemuda dan Partisipasi Politik

Pemuda dan Partisipasi Politik
Andryka Syayed Achmad Assagaf  ;    Alumnus Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia, Makassar; Mahasiswa Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
KOMPAS,  26 Desember 2013

  

SOEKARNO dalam setiap pidatonya sering berucap, ”Gantungkan cita-citamu setinggi langit, hai pemuda-pemuda Indonesia,” karena ia sadar betul, pemuda adalah garda terdepan suatu perubahan.

Namun, zaman berubah. Pemuda sekarang memiliki karakteristik yang berbeda. Beberapa sikap yang tampak justru ketidakpekaan terhadap masalah-masalah nasional (57,4 persen), berorientasi pada materi/ kekayaan, dan hanya 20 persen dari pemuda yang menganggap kepentingan nasional sebagai salah satu agenda mereka. Total ada 63 persen pemuda Indonesia yang hanya berorientasi pada kepentingan sendiri (Kompas, 18/11).

Kondisi tersebut terjadi akibat berinteraksinya berbagai faktor yang sekaligus menciptakan apatisme di kalangan pemuda. Dominasi cita akan kekuasaan, materi, dan popularitas yang termanifestasi dalam hasrat politik para elite membunuh jiwa politik yang mempunyai cita-cita suci.

Hal ini membuat para pemuda tak memiliki ketertarikan terhadap politik walaupun seperti yang dikatakan Peter Merlk (2008), politik dalam bentuk yang paling baik merupakan usaha mencapai tatanan sosial yang baik dan berkeadilan.

Pemimpin masa depan

Menurut data Badan Pusat Statistik dan perkiraan Center for Election and Political Party, pemilih muda pada Pemilu 2014 mencapai 50 juta orang.
Ketika diasumsikan para pemilih yang berusia 17-30 tahun menggunakan seluruh hak suaranya, itu akan melebihi dua kali lipat total perolehan suara Partai Golkar sebagai pemenang Pemilu 2004 dan Partai Demokrat sebagai pemenang Pemilu 2009. Karena itu, pemuda merupakan salah satu bagian yang tak dapat dielakkan terkait dengan masa depan Republik Indonesia.

Partisipasi politik pemuda merupakan cerminan Indonesia masa mendatang : apakah negara akan berjaya atau hancur berkeping-keping akibat dari realitas politik yang ada. Dua skenario inilah yang akan menjadi pilihan saat partisipasi politik pemuda rendah dan tidak menimbulkan rotasi atau regenerasi elite.

Perlu pula diingat sekaligus menjadi cerminan para pemuda, dalam pandangan Soe Hok Gie (1959), pemuda ditugaskan untuk memberantas generasi tua yang mengacau, menjadi hakim atas mereka yang dituduh koruptor, dan mewujudkan kemakmuran Indonesia. Hal ini menjadi tugas pemuda Indonesia masa kini dan yang akan datang.

Kiprah pemuda dalam dunia perpolitikan seyogianya dapat memberikan stimulus dalam realitas politik yang cenderung dimonopoli oleh ”politik instan” yang tidak kompeten dan hanya bermodalkan popularitas semata.

Ditambah sentuhan idealisme dan pemikiran kritis yang kebanyakan dimiliki kaum muda, kita berharap ada angin segar yang sekaligus mengawal Indonesia menuju arah yang lebih baik dalam proses demokratisasi.

Membangun partisipasi

Secara faktual terjadi penurunan partisipasi masyarakat dalam setiap pemilu. Pada tahun 1999, partisipasi masyarakat dalam pemilu sebesar 99,33 persen, tahun 2004 sebesar 84,9 persen, dan tahun 2009 sebesar 70,99 persen.
Penurunan partisipasi masyarakat, terutama para pemuda, dalam pemilu ataupun dunia politik, salah satunya, adalah akibat rentang jarak antara partai politik dan konstituen.

Parpol hidup hanya saat momen pemilihan umum, baik pemilihan umum legislatif, pemilihan umum presiden, maupun pemilihan umum kepala daerah untuk meraup suara pemilih.

Beberapa rumusan pasal dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Parpol sebenarnya telah membuka ruang agar tercipta kedekatan jarak parpol dengan para pemuda dan konstituen pada umumnya melalui pendidikan politik.
Ini yang seharusnya dilakukan oleh parpol kepada masyarakat luas, sebagaimana terkandung dalam Pasal 11 Ayat (1). Namun, pendidikan tersebut terasa hanya sampai pada anggota parpol.

Untuk meretas kesenjangan antara parpol dan para pemuda, setidaknya ada dua langkah yang harus dilakukan oleh parpol sebagai salah satu ”kendaraan” demokrasi, yang telah tertuang dalam peraturan dasar (konstitusi).

Langkah pertama, membangun kedekatan jarak politik antara partai dan para pemuda Indonesia. Hal ini diperlukan agar politik dan parpol merupakan bagian dari napas kehidupan para pemuda sehingga parpol tidak hanya hidup saat datangnya momentum politik. Kedekatan ini pun dapat mengartikulasikan sekaligus menjadi bagian agregasi dari kepentingan politik pemuda.

Langkah kedua, penyertaan keterwakilan pemuda baik dalam kepengurusan parpol maupun organisasi sayap parpol. Hal ini dapat memangkas jarak antara elite dan pemuda yang telah terpolarisasi.

Keterwakilan pemuda dalam kepengurusan ataupun sayap parpol dengan sendirinya dapat memberikan pendidikan politik bagi pemuda sekaligus menciptakan rotasi dalam dunia perpolitikan Indonesia.

Namun, hal yang paling utama dari kedua langkah tersebut bukanlah semata-mata mengubah undang-undang atau anggaran dasar/anggaran rumah tangga parpol, melainkan dorongan kuat dan sikap tegas para pemuda untuk menciptakan Indonesia yang lebih baik.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar