Kamis, 05 Desember 2013

Mengisi Parpol dengan Orang Baik

Mengisi Parpol dengan Orang Baik
Mohamad Nasih  ;   Pengajar di Program Pascasarjana Ilmu Politik UI dan FISIP UMJ, Jakarta Pengasuh Pesantren Darul Iman wat Taqwa (PDIT), Semarang
KORAN SINDO,  04 Desember 2013

  

Dalam pandangan para teoretikus politik Barat, partai politik merupakan salah satu dari beberapa pilar utama dan bahkan kemudian disebut yang paling penting dalam sistem demokrasi. 

Mereka bahkan mengonseptualisasikan secara lebih konkret bahwa sebuah negara bisa disebut demokratis ”jika dan hanya jika” di dalamnya terdapat partai-partai politik yang menjadi kontestan pemilu yang diselenggarakan secara periodik dan berkala. Pandangan ini dimasukkan dalam kategori teori demokrasi modern, karena dalam tradisi politik klasik di era Yunani Kuno, demokrasi tidak meniscayakan—dan dalam praktik politik saat itu sama sekali tidak ada—partai politik. Baru setelah demokrasi menjadi semakin kompleks, dalam negara yang lebih luas, dipandang perlu adanya institusionalitas politik yang salah satu bentuknya adalah partai politik. 

Partai politik dijadikan sebagai institusi legal untuk memperebutkan kekuasaan. Dalam konteks negara Indonesia yang sudah memilih demokrasi sebagai sistem politik dengan konsepsi tersebut di atas, maka yang kemudian menjadi keniscayaan adalah mengisi partai-partai politik dengan orang-orang baik. Memang ada kemungkinan juga untuk menggunakan jalur independen. Namun, untuk mengoptimalkan hasil maka seluruh jalan yang bisa dijadikan untuk merebut kekuasaan harus diisi oleh mereka yang memiliki idealisme. 

Tidak hanya dengan jumlah yang cukup, tetapi juga dengan kemampuan politik yang memadai. Pasalnya, dalam konteks demokrasi Indonesia yang kian liberal, voting menjadi salah satu mekanisme untuk menyelesaikan perbedaan pendapat yang sudah tidak lagi bisa dicari titik temunya. Dalam konteks menentukan sebuah keputusan yang berkaitan dengan baik dan buruk, tentu saja diperlukan jumlah orang baik dalam jumlah tertentu yang bisa membuat keputusan yang baik mampu dimenangkan dalam perjuangan pembuatan kebijakan politik. 

Jika jumlah tersebut tidak terpenuhi, kebaikan hanya akan menjadi cita-cita dalam politik. Keburukanlah yang akan merajalela. Gambaran sederhana dalam konteks ini adalah apabila ada voting untuk menentukan mana yang benar, apakah bumi ini datar ataukah bulat, maka tidak ada jaminan bahwa pemenangnya adalah keputusan bahwa bumi ini bulat. Tidak menutup kemungkinan disebabkan oleh faktor tingkat pendidikan dan akses informasi ilmiah, terdapat lebih banyak orang yang masih berpandangan bahwa bumi ini datar. 

Dalam demokrasi, setiap orang memiliki hak politik yang sama. Tidak ada perbedaan antara yang berpendidikan dan yang tidak berpendidikan, orang yang baik dan yang jahat, bahkan yang waras dengan yang setengah gila. Semuanya memiliki hak politik yang sama di bilik suara, sehingga mereka semua memiliki kekuatan yang sama untuk menentukan siapa yang akan mengisi jabatan-jabatan politik tertentu yang sangat strategis. 

Dalam konteks Indonesia saat ini, merekalah yang menentukan pengisi jabatan-jabatan presiden dan wakil presiden, para anggota legislatif, dan pemimpin-pemimpin daerah, baik di level kabupaten/kota maupun provinsi melalui mekanisme Pemilu yang diselenggarakan secara langsung. Di antara fungsi partai politik adalah rekrutmen politik untuk mengisi jabatan-jabatan politik di atas. Dan, penentuan tentang siapa yang akan menjadi nominator yang diajukan dalam pemilu dilakukan oleh yang memiliki kekuasaan di dalam partai politik. Dalam proses rekrutmen politik inilah, partai politik memegang peranan yang sangat penting. 

Dalam proses ini bisa ditentukan apakah yang maju adalah orang-orang baik atau sebaliknya orang-orang jahat. Dalam konteks ini juga berlaku prinsip ”man behind the gun”. Tidak ada sistem yang sempurna. Karena itu, yang paling diperlukan adalah pelaku yang baik. Makin banyak orang baik masuk ke dalam institusi, maka akan menjadi semakin baik. Demikian pula sebaliknya. Sederhananya, baik buruk sebuah institusi, sangat ditentukan oleh karakter orang-orang yang ada di dalamnya. 

Karena itu, politisi yang baik sangat diperlukan untuk memperjuangkan dan memastikan bahwa yang dinominasikan adalah juga orang-orang yang baik dan telah dinilai secara objektif mampu memperjuangkan nilai-nilai kebaikan dalam produk kebijakan politik jika kemudian benar-benar mendapatkan amanah rakyat untuk memimpin (baca: berkuasa). Jika partai politik diisi dan dikuasai oleh para penjahat, tentu saja yang akan dinominasikan adalah juga para penjahat yang ketika berkuasa akan menyebabkan berbagai kerusakan negara. 

Partai politik yang baik, dan itu hanya akan terjadi apabila diisi—atau setidaknya didominasi— oleh orang-orang baik, harus memastikan bahwa yang diajukan dalam proses rekrutmen politik adalah orang-orang yang baik dan bahkan terbaik, sehingga rakyat akan selalu mendapatkan pejabat-pejabat politik yang baik. Namun, jika tanpa desain ini, bisa saja yang terpilih kemudian adalah yang buruk di antara yang terburuk, atau bahkan yang terburuk. Orang-orang baik yang diperlukan adalah yang memiliki daya tahan terkuat untuk mengisi struktur-struktur yang korup. 

Mereka harus menjadi ibarat ikan yang berada di dalam air yang asin tetapi tidak turut menjadi asin. Juga menjadi ibarat orang berada di bengkel, tetapi tidak minum oli yang sangat membahayakan. Dalam sistem yang korup sekalipun, orang-orang baik harus tetap bertahan. Dan justru di dalam sistem tersebutlah mereka diuji. Apakah akan tetap menjadi orang baik, ataukah akan berubah menjadi orang-orang yang juga larut dalam situasi korup dan kemudian menjadi benarbenar korup. Jika mampu membuktikan tetap bertahan sebagai orang baik, mereka memang adalah orang baik. 

Namun jika tidak mampu bertahan, sesungguhnya mereka bukanlah orangorang baik, melainkan orangorang yang kelihatan baik karena belum mendapatkan kesempatan. Dan ketika mendapatkan kesempatan untuk menyelewengkan kekuasaan, mereka juga turut menjadi bagian orang-orang yang menyeleweng tersebut. 

Dalam konteks inilah, partai politik memerlukan orang-orang yang telah memiliki rekam jejak panjang dalam memperjuangkan perbaikan. Rekam jejak panjang itu bisa digunakan sebagai penentu apakah mereka adalah benarbenar pejuang kebaikan, ataukah orang-orang yang sedang menunggu kesempatan untuk bisa berbuat menyeleweng. 

Indonesia memiliki pengalaman yang sangat berharga dari realitas kepartaian di Indonesia. Hanya dalam waktu separuh masa kekuasaan rezim Orde Baru, partai-partai politik yang lahir di masa reformasi, sudah menunjukkan perilaku Partai Golkar di masa itu. Hampir semua partai politik telah menampilkan perilaku oligarkis elite-elitenya karena mereka menjalankan sistem yang korup dan ditambah lagi dengan fakta membangun partai berdasarkan ”asas kekeluargaan”. Politik dinasti terjadi di mana-mana. Bukan prinsip kekeluargaan yang orang lain dianggap sebagai keluarga jika telah berada dalam satu organisasi, melainkan juga menjadikan hubungan kekeluargaan sebagai prasyarat untuk menjadi penguasa. 

Karena itu, terbangunlah politik dinasti dalam partai politik. Tidak heran jika ketua dijabat oleh bapak, sekretaris dijabat oleh anak, istri, dan sebagainya orangorang yang masih memiliki hubungan kekerabatan. Dulu, Presiden Soeharto mendapatkan kritik keras telah mempraktikkan nepotisme karena menjadikan salah seorang putrinya sebagai salah seorang menteri. 

Namun, dalam masa reformasi yang melancarkan kritikan praktik tersebut, justru terjadi dengan lebih tanpa tedeng aling-aling. Inilah yang menyebabkan praktik KKN menjadi semakin merajalela. Wallahu a’lam bi al-shawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar