Dalam pandangan para
teoretikus politik Barat, partai politik merupakan salah satu dari beberapa
pilar utama dan bahkan kemudian disebut yang paling penting dalam sistem
demokrasi.
Mereka bahkan mengonseptualisasikan secara
lebih konkret bahwa sebuah negara bisa disebut demokratis ”jika dan hanya
jika” di dalamnya terdapat partai-partai politik yang menjadi kontestan
pemilu yang diselenggarakan secara periodik dan berkala. Pandangan ini
dimasukkan dalam kategori teori demokrasi modern, karena dalam tradisi
politik klasik di era Yunani Kuno, demokrasi tidak meniscayakan—dan dalam
praktik politik saat itu sama sekali tidak ada—partai politik. Baru setelah
demokrasi menjadi semakin kompleks, dalam negara yang lebih luas, dipandang
perlu adanya institusionalitas politik yang salah satu bentuknya adalah
partai politik.
Partai politik dijadikan sebagai institusi
legal untuk memperebutkan kekuasaan. Dalam konteks negara Indonesia yang
sudah memilih demokrasi sebagai sistem politik dengan konsepsi tersebut di
atas, maka yang kemudian menjadi keniscayaan adalah mengisi partai-partai
politik dengan orang-orang baik. Memang ada kemungkinan juga untuk
menggunakan jalur independen. Namun, untuk mengoptimalkan hasil maka
seluruh jalan yang bisa dijadikan untuk merebut kekuasaan harus diisi oleh
mereka yang memiliki idealisme.
Tidak hanya dengan jumlah yang cukup, tetapi
juga dengan kemampuan politik yang memadai. Pasalnya, dalam konteks
demokrasi Indonesia yang kian liberal, voting menjadi salah satu mekanisme
untuk menyelesaikan perbedaan pendapat yang sudah tidak lagi bisa dicari
titik temunya. Dalam konteks menentukan sebuah keputusan yang berkaitan
dengan baik dan buruk, tentu saja diperlukan jumlah orang baik dalam jumlah
tertentu yang bisa membuat keputusan yang baik mampu dimenangkan dalam
perjuangan pembuatan kebijakan politik.
Jika jumlah tersebut tidak terpenuhi, kebaikan
hanya akan menjadi cita-cita dalam politik. Keburukanlah yang akan
merajalela. Gambaran sederhana dalam konteks ini adalah apabila ada voting
untuk menentukan mana yang benar, apakah bumi ini datar ataukah bulat, maka
tidak ada jaminan bahwa pemenangnya adalah keputusan bahwa bumi ini bulat.
Tidak menutup kemungkinan disebabkan oleh faktor tingkat pendidikan dan
akses informasi ilmiah, terdapat lebih banyak orang yang masih berpandangan
bahwa bumi ini datar.
Dalam demokrasi, setiap orang memiliki hak
politik yang sama. Tidak ada perbedaan antara yang berpendidikan dan yang
tidak berpendidikan, orang yang baik dan yang jahat, bahkan yang waras
dengan yang setengah gila. Semuanya memiliki hak politik yang sama di bilik
suara, sehingga mereka semua memiliki kekuatan yang sama untuk menentukan
siapa yang akan mengisi jabatan-jabatan politik tertentu yang sangat
strategis.
Dalam konteks Indonesia saat ini, merekalah yang
menentukan pengisi jabatan-jabatan presiden dan wakil presiden, para
anggota legislatif, dan pemimpin-pemimpin daerah, baik di level kabupaten/kota
maupun provinsi melalui mekanisme Pemilu yang diselenggarakan secara
langsung. Di antara fungsi partai politik adalah rekrutmen politik untuk
mengisi jabatan-jabatan politik di atas. Dan, penentuan tentang siapa yang
akan menjadi nominator yang diajukan dalam pemilu dilakukan oleh yang
memiliki kekuasaan di dalam partai politik. Dalam proses rekrutmen politik
inilah, partai politik memegang peranan yang sangat penting.
Dalam proses ini bisa ditentukan apakah yang
maju adalah orang-orang baik atau sebaliknya orang-orang jahat. Dalam
konteks ini juga berlaku prinsip ”man behind the gun”. Tidak ada sistem
yang sempurna. Karena itu, yang paling diperlukan adalah pelaku yang baik.
Makin banyak orang baik masuk ke dalam institusi, maka akan menjadi semakin
baik. Demikian pula sebaliknya. Sederhananya, baik buruk sebuah institusi,
sangat ditentukan oleh karakter orang-orang yang ada di dalamnya.
Karena itu, politisi yang baik sangat
diperlukan untuk memperjuangkan dan memastikan bahwa yang dinominasikan
adalah juga orang-orang yang baik dan telah dinilai secara objektif mampu
memperjuangkan nilai-nilai kebaikan dalam produk kebijakan politik jika
kemudian benar-benar mendapatkan amanah rakyat untuk memimpin (baca:
berkuasa). Jika partai politik diisi dan dikuasai oleh para penjahat, tentu
saja yang akan dinominasikan adalah juga para penjahat yang ketika berkuasa
akan menyebabkan berbagai kerusakan negara.
Partai politik yang baik, dan itu hanya akan
terjadi apabila diisi—atau setidaknya didominasi— oleh orang-orang baik,
harus memastikan bahwa yang diajukan dalam proses rekrutmen politik adalah
orang-orang yang baik dan bahkan terbaik, sehingga rakyat akan selalu
mendapatkan pejabat-pejabat politik yang baik. Namun, jika tanpa desain
ini, bisa saja yang terpilih kemudian adalah yang buruk di antara yang
terburuk, atau bahkan yang terburuk. Orang-orang baik yang diperlukan
adalah yang memiliki daya tahan terkuat untuk mengisi struktur-struktur
yang korup.
Mereka harus menjadi ibarat ikan yang berada
di dalam air yang asin tetapi tidak turut menjadi asin. Juga menjadi ibarat
orang berada di bengkel, tetapi tidak minum oli yang sangat membahayakan.
Dalam sistem yang korup sekalipun, orang-orang baik harus tetap bertahan.
Dan justru di dalam sistem tersebutlah mereka diuji. Apakah akan tetap
menjadi orang baik, ataukah akan berubah menjadi orang-orang yang juga
larut dalam situasi korup dan kemudian menjadi benarbenar korup. Jika mampu
membuktikan tetap bertahan sebagai orang baik, mereka memang adalah orang
baik.
Namun jika tidak mampu bertahan, sesungguhnya
mereka bukanlah orangorang baik, melainkan orangorang yang kelihatan baik
karena belum mendapatkan kesempatan. Dan ketika mendapatkan kesempatan
untuk menyelewengkan kekuasaan, mereka juga turut menjadi bagian
orang-orang yang menyeleweng tersebut.
Dalam konteks inilah, partai politik
memerlukan orang-orang yang telah memiliki rekam jejak panjang dalam
memperjuangkan perbaikan. Rekam jejak panjang itu bisa digunakan sebagai
penentu apakah mereka adalah benarbenar pejuang kebaikan, ataukah
orang-orang yang sedang menunggu kesempatan untuk bisa berbuat menyeleweng.
Indonesia memiliki pengalaman yang sangat
berharga dari realitas kepartaian di Indonesia. Hanya dalam waktu separuh
masa kekuasaan rezim Orde Baru, partai-partai politik yang lahir di masa
reformasi, sudah menunjukkan perilaku Partai Golkar di masa itu. Hampir
semua partai politik telah menampilkan perilaku oligarkis elite-elitenya
karena mereka menjalankan sistem yang korup dan ditambah lagi dengan fakta
membangun partai berdasarkan ”asas kekeluargaan”. Politik dinasti terjadi
di mana-mana. Bukan prinsip kekeluargaan yang orang lain dianggap sebagai
keluarga jika telah berada dalam satu organisasi, melainkan juga menjadikan
hubungan kekeluargaan sebagai prasyarat untuk menjadi penguasa.
Karena itu, terbangunlah politik dinasti dalam
partai politik. Tidak heran jika ketua dijabat oleh bapak, sekretaris
dijabat oleh anak, istri, dan sebagainya orangorang yang masih memiliki
hubungan kekerabatan. Dulu, Presiden Soeharto mendapatkan kritik keras
telah mempraktikkan nepotisme karena menjadikan salah seorang putrinya
sebagai salah seorang menteri.
Namun, dalam masa reformasi yang melancarkan
kritikan praktik tersebut, justru terjadi dengan lebih tanpa tedeng
aling-aling. Inilah yang menyebabkan praktik KKN menjadi semakin
merajalela. Wallahu a’lam bi
al-shawab.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar