Nasib Petani
2013
Kadir ; Bekerja di Badan Pusat Statistik
|
TEMPO.CO,
26 Desember 2013
Meski sah saja, kebijakan impor beras selalu
menuai reaksi negatif dari publik. Bagi negara agraris seperti Indonesia yang
luas lahan sawahnya mencapai 8 juta hektare, mengimpor beras sungguh
keterlaluan. Bukti bahwa pemerintah tidak mampu mewujudkan kemandirian
pangan. Karena itu, swasembada beras adalah sebuah harga mati.
Impor beras juga menggerus devisa negara. Sepanjang 2010 hingga 2012, misalnya, Indonesia telah mengimpor beras sebesar 4,4 juta ton. Beras impor sebanyak ini telah menggerus devisa lebih dari Rp 10 triliun. Tentu alangkah lebih bermanfaat jika uang sebanyak itu digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan petani, yang sebagian besar masih bergumul dengan kemiskinan. Secara faktual, 63 persen penduduk miskin tinggal di pedesaan, dan sebagian besar dari mereka adalah petani dan buruh tani. Kabar baiknya, pada tahun ini Indonesia hampir dipastikan tidak mengimpor beras. Dengan kata lain, swasembada beras bakal berhasil direngkuh. Sepanjang 2013, harga beras relatif stabil. Nyaris tak ada gejolak atau lonjakan harga yang berarti. Pada tahun ini, pengadaan beras oleh Bulog mencapai 3,45 juta ton, dan stok beras di gudang Bulog hingga akhir tahun di atas 2 juta ton. Lebih dari cukup untuk menjamin harga beras tetap stabil. Hal ini tidak terlepas dari keberhasilan pemerintah dalam menggenjot produksi padi hingga mencapai 70,87 juta ton gabah kering giling (angka ramalan II BPS) pada tahun ini. Produksi sebesar ini ditopang oleh luas panen yang mencapai 13,77 juta hektare dan produktivitas (produksi per hektare) sebesar 5,15 juta ton per hektare. Moncernya kinerja Bulog dalam menyerap gabah/beras produksi petani juga mendukung. Pada 2013, Bulog lebih agresif menjemput bola gabah/beras produksi petani, sehingga harga beras stabil dan stok beras lebih dari cukup hingga akhir tahun tanpa ada impor. Sayangnya, meski produksi beras tahun ini melimpah, kesejahteraan petani-yang merupakan aktor utama dalam menggenjot produksi-justru begitu-begitu saja. Hal itu tecermin dari perkembangan indeks Nilai Tukar Petani (NTP) subsektor tanaman pangan (padi dan palawija) yang cenderung melandai alias stagnan sepanjang 2013. Sepanjang periode Januari hingga April 2013, nilai NTP terus menurun secara konsisten. Itu artinya, tingkat kesejahteraan petani terus memburuk meski pada saat yang bersamaan produksi berlimpah. Ini memberikan konfirmasi bahwa pembangunan pertanian selama ini terlalu dititikberatkan pada peningkatan produksi secaraaggregatedan cenderung abai terhadap peningkatan kesejahteraan petani. Dengan tak kunjung dilaksanakannya reforma agraria sebagaimana yang dijanjikan, pemerintah seolah menutup mata bahwa peningkatan produksi yang terjadi sejatinya merupakan hasil perjuangan dan jerih payah para petani kecil. Secara faktual, hasil Sensus Pertanian 2013 yang dirilis BPS pada 2 Desember lalu menyebutkan bahwa sebagian besar petani kita adalah petani gurem, dan rata-rata luas lahan sawah yang dikelola petani hanya 0,2 hektare. Jadi, tidak usah heran bila kebanyakan petani tetap miskin meski pada saat yang sama produksi melimpah. Sebab, sejatinya, dampak ekonomi dari peningkatan produksi yang terjadi lebih dinikmati oleh para petani kaya. Sebaliknya, para petani kecil dan buruh tani tetap miskin. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar