Transformasi
Sistemik Indonesia 2014
Sistem,
Birokrasi, dan Regulasi
Mohamad Subhan SD ; Wartawan Kompas
|
KOMPAS,
27 Desember 2013
PEMBENAHAN
sistem seharusnya menjadi pekerjaan penting untuk menata ulang pengelolaan
negara. Penyelenggaraan negara yang lebih mengandalkan figur pemimpin hanya
menjadi ”obat sakit kepala” yang mampu bertahan sesaat. Tak pernah
menyembuhkan untuk jangka waktu panjang. Contohnya, banyak inisiatif bagus
yang bermunculan di sejumlah daerah sejak era otonomi daerah kini mungkin
tinggal kenangan. Mengapa?
Masalahnya adalah sejumlah best
practices yang dihasilkan dengan pendekatan inkremental tersebut lebih
mengandalkan pada inisiatif pemimpin setempat. Ada beberapa daerah di tingkat
kabupaten/kota yang memperlihatkan prestasi baik. Sebut saja Kabupaten
Jembrana, Kabupaten Lamongan, Kota Blitar, Kota Solo, atau yang sekarang ini
tengah naik daun, semisal Provinsi DKI Jakarta dan Kota Surabaya.
Itulah pelajaran berharga dan
penting dalam sejarah tata kelola pemerintahan. Namun, contoh baik dari
daerah yang sempat memperlihatkan prestasi tersebut memang tidak lepas dari
figur pemimpinnya.
Terlalu bersandar pada figur
bukanlah solusi tepat untuk mengelola pemerintahan, baik di tingkat daerah
maupun di tingkat nasional. Bahkan, sebaliknya mengandung sejumlah kerawanan.
Kerawanan paling jelas adalah hilangnya praktik pemerintahan yang baik.
Peran birokrasi
Hal itu seperti nasib daerah-daerah
di atas yang kini barangkali tidak ”segemerlap” sebelumnya. Begitu kepala
daerahnya berhenti atau diganti, langsung segala praktik pemerintahan yang
baik itu menguap pula. Seperti Jembrana pada lima tahun pertama sangat
mengesankan, tetapi habis setelah itu.
Karena itu, sangat penting
mewujudkan pencapaian praktik pemerintahan dalam kerangka sistem, bukan
bergantung pada faktor orang. Pengabaian selama ini dalam membangun sistem
itu melemahkan daya saing Indonesia memenangi kompetisi global.
Padahal, reformasi politik telah
memberi modal awal untuk konsolidasi energi bangsa, terutama penyebaran
kekuasaan, rotasi kepemimpinan, legitimasi politik, dan hak politik warga
negara. Tidak diperdebatkan lagi pemimpin ke depan, baik di tingkat pusat
maupun daerah, harus memiliki kemauan politik membangun sistem, mendorong
perencanaan pembangunan komprehensif dan melaksanakannya secara konsisten.
Tidak mudah membangun sistem di
tengah karakter elite yang lebih memilih demokrasi prosedural ketimbang
demokrasi substantif karena lebih mudah menjalaninya.
Birokrasi yang merupakan salah
satu lokomotif tata kelola penyelenggaraan negara sampai sekarang masih
terasa berat untuk melaju cepat. Semua lembaga pemerintahan harus melakukan
reformasi, antara lain perampingan kelembagaan untuk efisiensi dan
efektivitas. Selama ini birokrasi terlalu tambun, terlalu banyak lembaga
baru, termasuk berbagai komisi negara.
Lembaga-lembaga baru (auxiliary
state institution) itu justru menjadi mainan baru, termasuk mengooptasi para
aktivis. Terjadi absorbsi aktivis masyarakat sipil ke dalam berbagai elemen
lembaga baru berupa komisi negara. Seperti memberi gula-gula, dengan
konsekuensi beban negara makin luas.
Reformasi birokrasi pemerintahan
pun lalu dimaknai secara sempit berupa peningkatan remunerasi sebagai upaya
peningkatan kinerja pegawai sekaligus tindakan untuk mencegah korupsi. Namun,
cara itu bukan resep mujarab karena setiap kali ada saja penyelenggara negara
tersangkut kasus korupsi.
Karena itu perlu untuk memahami
bahwa birokrasi bukan melulu bermakna pegawai negara. Secara filosofis,
birokrasi berarti suatu tatanan kewenangan. Birokrasi tidak berfungsi dan
tidak bergerak ke mana-mana tanpa ada manusia yang melaksanakan.
Kualitas birokrasi
Seperti pernah dikatakan Menteri
Sekretaris Negara Moerdiono, di tangan pelaksana yang tidak cakap, birokrasi
menjadi tidak efektif. Di tangan pelaksana yang korup, birokrasi akan memakan
misi organisasi yang diembannya.
Di tangan pelaksana yang bengis,
beroperasi pula birokrasi penindas. Dengan lingkungan seperti itu, birokrasi
memang sangat rentan dihadapkan pada kualitas pelaksana dan kultur yang
melingkupinya yang kemudian terlihat sebagai kultur birokrasi.
Reformasi birokrasi memang butuh
tenaga ekstra yang tidak kenal lelah. Sambil terus melakukan
pembenahan-pembenahan birokrasi, penataan regulasi juga tidak kalah
pentingnya. Bukan hanya banyak regulasi tumpang tindih, tetapi juga
penegakannya masih menjadi persoalan hingga kini.
Regulasi sejatinya memberikan
jaminan dan perlindungan. Tanpa itu, sistem yang dibangun dan birokrasi yang
dibenahi mungkin tidak akan berarti apa-apa. Dan, Pemilihan Umum 2014 sebagai
penanda mandat baru bisa menjadi momentum melakukan penataan-penataan
tersebut sehingga praktik baik yang telah dicapai menjadi warisan penting
bagi penyelenggara negara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar