Sabtu, 28 Desember 2013

Sistem, Birokrasi, dan Regulasi

Transformasi Sistemik Indonesia 2014

Sistem, Birokrasi, dan Regulasi

Mohamad Subhan SD  ;   Wartawan Kompas
KOMPAS,  27 Desember 2013




PEMBENAHAN sistem seharusnya menjadi pekerjaan penting untuk menata ulang pengelolaan negara. Penyelenggaraan negara yang lebih mengandalkan figur pemimpin hanya menjadi ”obat sakit kepala” yang mampu bertahan sesaat. Tak pernah menyembuhkan untuk jangka waktu panjang. Contohnya, banyak inisiatif bagus yang bermunculan di sejumlah daerah sejak era otonomi daerah kini mungkin tinggal kenangan. Mengapa?

Masalahnya adalah sejumlah best practices yang dihasilkan dengan pendekatan inkremental tersebut lebih mengandalkan pada inisiatif pemimpin setempat. Ada beberapa daerah di tingkat kabupaten/kota yang memperlihatkan prestasi baik. Sebut saja Kabupaten Jembrana, Kabupaten Lamongan, Kota Blitar, Kota Solo, atau yang sekarang ini tengah naik daun, semisal Provinsi DKI Jakarta dan Kota Surabaya.

Itulah pelajaran berharga dan penting dalam sejarah tata kelola pemerintahan. Namun, contoh baik dari daerah yang sempat memperlihatkan prestasi tersebut memang tidak lepas dari figur pemimpinnya.

Terlalu bersandar pada figur bukanlah solusi tepat untuk mengelola pemerintahan, baik di tingkat daerah maupun di tingkat nasional. Bahkan, sebaliknya mengandung sejumlah kerawanan. Kerawanan paling jelas adalah hilangnya praktik pemerintahan yang baik.

Peran birokrasi

Hal itu seperti nasib daerah-daerah di atas yang kini barangkali tidak ”segemerlap” sebelumnya. Begitu kepala daerahnya berhenti atau diganti, langsung segala praktik pemerintahan yang baik itu menguap pula. Seperti Jembrana pada lima tahun pertama sangat mengesankan, tetapi habis setelah itu.

Karena itu, sangat penting mewujudkan pencapaian praktik pemerintahan dalam kerangka sistem, bukan bergantung pada faktor orang. Pengabaian selama ini dalam membangun sistem itu melemahkan daya saing Indonesia memenangi kompetisi global.

Padahal, reformasi politik telah memberi modal awal untuk konsolidasi energi bangsa, terutama penyebaran kekuasaan, rotasi kepemimpinan, legitimasi politik, dan hak politik warga negara. Tidak diperdebatkan lagi pemimpin ke depan, baik di tingkat pusat maupun daerah, harus memiliki kemauan politik membangun sistem, mendorong perencanaan pembangunan komprehensif dan melaksanakannya secara konsisten.

Tidak mudah membangun sistem di tengah karakter elite yang lebih memilih demokrasi prosedural ketimbang demokrasi substantif karena lebih mudah menjalaninya.

Birokrasi yang merupakan salah satu lokomotif tata kelola penyelenggaraan negara sampai sekarang masih terasa berat untuk melaju cepat. Semua lembaga pemerintahan harus melakukan reformasi, antara lain perampingan kelembagaan untuk efisiensi dan efektivitas. Selama ini birokrasi terlalu tambun, terlalu banyak lembaga baru, termasuk berbagai komisi negara.

Lembaga-lembaga baru (auxiliary state institution) itu justru menjadi mainan baru, termasuk mengooptasi para aktivis. Terjadi absorbsi aktivis masyarakat sipil ke dalam berbagai elemen lembaga baru berupa komisi negara. Seperti memberi gula-gula, dengan konsekuensi beban negara makin luas.

Reformasi birokrasi pemerintahan pun lalu dimaknai secara sempit berupa peningkatan remunerasi sebagai upaya peningkatan kinerja pegawai sekaligus tindakan untuk mencegah korupsi. Namun, cara itu bukan resep mujarab karena setiap kali ada saja penyelenggara negara tersangkut kasus korupsi.

Karena itu perlu untuk memahami bahwa birokrasi bukan melulu bermakna pegawai negara. Secara filosofis, birokrasi berarti suatu tatanan kewenangan. Birokrasi tidak berfungsi dan tidak bergerak ke mana-mana tanpa ada manusia yang melaksanakan.

Kualitas birokrasi

Seperti pernah dikatakan Menteri Sekretaris Negara Moerdiono, di tangan pelaksana yang tidak cakap, birokrasi menjadi tidak efektif. Di tangan pelaksana yang korup, birokrasi akan memakan misi organisasi yang diembannya.

Di tangan pelaksana yang bengis, beroperasi pula birokrasi penindas. Dengan lingkungan seperti itu, birokrasi memang sangat rentan dihadapkan pada kualitas pelaksana dan kultur yang melingkupinya yang kemudian terlihat sebagai kultur birokrasi.

Reformasi birokrasi memang butuh tenaga ekstra yang tidak kenal lelah. Sambil terus melakukan pembenahan-pembenahan birokrasi, penataan regulasi juga tidak kalah pentingnya. Bukan hanya banyak regulasi tumpang tindih, tetapi juga penegakannya masih menjadi persoalan hingga kini.

Regulasi sejatinya memberikan jaminan dan perlindungan. Tanpa itu, sistem yang dibangun dan birokrasi yang dibenahi mungkin tidak akan berarti apa-apa. Dan, Pemilihan Umum 2014 sebagai penanda mandat baru bisa menjadi momentum melakukan penataan-penataan tersebut sehingga praktik baik yang telah dicapai menjadi warisan penting bagi penyelenggara negara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar