Jumat, 27 Desember 2013

Potret Hitam Kekerasan Anak

Potret Hitam Kekerasan Anak
Sutrisno  ;    Mahasiswa Pascasarjana (S2) Universitas Muhammadiyah Surakarta
KORAN JAKARTA,  26 Desember 2013


  
Potret hitam situasi dan ragam kekerasan serta pelanggaran hak anak-anak di Indonesia semakin memprihatinkan. Di pengujung tahun 2013 ini, Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia (Komnas Anak) membeberkan laporan kasus pelanggaran yang melibatkan anak.

Menurut data Komnas Anak, ada 1.620 kasus dengan perincian kekerasan fisik 490 kasus (30 persen), psikis 313 kasus (19 persen), dan paling banyak kekerasan seksual 817 kasus (51 persen). 

Ironisnya, kasus-kasus kekerasan terhadap anak tersebut terjadi di lingkungan terdekat anak, yakni rumah tangga, sekolah, lembaga pendidikan, dan lingkungan sosial anak. Sedangkan pelakunya adalah orang-orang yang seharusnya melindungi anak seperti orang tua, paman, guru, orang tua angkat ataupun tiri.

Peristiwa teraktual adalah di Batam. Rizky, 3 tahun, tewas di tangan orang tuanya sendiri. Di Riau, Adit, 6 tahun, ditemukan penjual sayur di kebun sawit. Bocah itu mengaku dibuang ibu dan pamannya. Sekujur tubuhnya penuh bekas luka. Alat kelaminnya juga ada bekas luka yang menurutnya digunting oleh sang ibu.

Fakta tersebut mengungkap gagalnya negara, pemerintah, masyarakat, dan orang tua melindungi serta menghormati hak anak di Indonesia. Kita sebagai masyarakat terlalu sibuk dengan urusan sendiri.

Kendaraan yang mempercepat kita melaju seolah-olah tidak memberikan waktu sedikit pun untuk sekadar merenungi nasib anak-anak ini. Sepulang dari masjid, gereja, atau rumah ibadah lainnya, para pemeluk agama kembali berurusan dengan hal-hal rutin. Padahal jelas agama memerintahkan umatnya untuk melindungi anak-anak. 

Negara yang seharusnya melindungi dan memelihara mereka terlalu sibuk mengurusi hal-hal besar, seperti urusan politik, skandal korupsi, dan ekonomi bangsa. Negara belum maksimal melindungi anak dari berbagai bentuk kekerasan. Fakta ini juga bertentangan dengan program Kabupaten/Kota Layak 
Anak yang sering didengungkan pemerintah. Pemerintah dianggap tidak terbuka dan tidak merespons secara proporsional kasus-kasus pelanggaran hak anak. 

Sebenarnya pemerintah telah mengeluarkan produk hukum untuk melindungi anak. UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak mengamanatkan bahwa pemerintah dan lembaga lain berkewajiban dan bertanggung jawab memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas yang terisolasi, anak yang tereksploitasi secara ekonomi dan atau seksual, serta anak yang diperdagangkan.

Perlindungan juga wajib diberikan kepada anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotik, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan, dan perdagangan, anak yang menyandang cacat, serta anak korban perlakuan salah dan penelantaran. 

Penyair Lebanon, Kahlil Gibran, mengingatkan kita bahwa "anakmu bukanlah anakmu". Anak memiliki dunianya sendiri. Kita bisa memberikan kasih sayang, tetapi tidak dapat memberikan pikiran kita karena mereka memiliki pikiran sendiri. Kita tidak dapat mengurung jiwa mereka karena jiwa mereka tinggal di "rumah masa depan" yang tidak bisa kita kunjungi. Kita juga dapat menyerupai mereka, tetapi jangan coba-coba memaksa mereka menyerupai kita. Karena, waktu tidak berjalan mundur dan merekalah yang akan menggenggam dunia setelah kita tiada.

Ungkapan Gibran di atas sebenarnya adalah untuk menyadarkan kita betapa penting peranan anak di masa depan.

Masa depan anak erat kaitannya dengan perlindungan anak. Artinya perlindungan anak menjamin anak berkembang secara optimal sehingga secara otomatis masa depan anak menjadi terjamin.

Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin, melindungi, dan memenuhi hak anak agar hidup dan tumbuh berkembang secara optimal, berpartisipasi, serta mendapatkan perlindungan dari bermacam bentuk kekerasan dan penelantaran.

Saat ini terdapat sekitar 84 juta anak-anak Indonesia, dan setiap tahunnya lahir sekitar 4 juta–5 juta anak. Mengingat jumlahnya yang sangat besar dan merupakan generasi penerus bangsa, perhatian dan perlindungan terhadap anak Indonesia mutlak harus dilakukan. Perlindungan anak tentu menjadi tanggung jawab orang tua, masyarakat, dan negara.

Potret hitam kasus kekerasan anak tentu mengusik kita semua. Perlindungan anak tentu menjadi tanggung jawab orang tua, masyarakat, dan negara. Adapun tanggung jawab pemerintah dapat diwujudkan dalam bentuk perlindungan hukum dan pemenuhan hak-hak anak sebagai bagian dari warga negara. Sebagai bentuk tanggung jawab pemerintah untuk melindungi anak, pemerintah memang sudah membentuk UU No 23/2002 tentang Perlindungan Anak.

Pemerintah, dalam hal ini Departemen (Kementerian) Sosial serta Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mestinya berada di barisan terdepan dalam menyelamatkan mereka. Kementerian Kesehatan dan Kementerian Pendidikan Nasional harus dilibatkan. 

Pemerintah perlu mengeluarkan kebijakan negara yang bersifat teknis dalam melindungi anak dari segala bentuk tindak pelanggaran hak anak seperti tindak kekerasan (child abuse), diskriminasi, trafficking, dan perlakuan salah lainnya. Karena pembiaran dan impunity atas pelanggaran hak-hak anak adalah refleksi rendahnya derajat keberadaan dan lemahnya empati kemanusiaan oleh negara.
Terpenting, hak-hak dasar anak sebagaimana amanat konstitusi harus dipernuhi negara. Ada empat jenis hak dasar anak, meliputi hak hidup, hak untuk tumbuh dan kembang secara optimal, hak untuk berpartisipasi, dan hak untuk mendapatkan perlindungan dari bermacam bentuk kekerasan dan penelantaran.

Bentuk tanggung jawab orang tua terhadap anak dapat diwujudkan dengan pemenuhan kebutuhan dasar, pemberian pendidikan, pengenalan etika dan sopan santun, pemberian bekal agama yang baik, dan perlindungan jiwa raganya. Tanggung jawab masyarakat adalah menciptakan lingkungan interaksi sosial yang positif sehingga anak bisa bersosialisasi dengan baik bersama dengan teman-temannya maupun lingkungan sekitarnya.

Selanjutnya, mengeluarkan kebijakan negara yang bersifat teknis dalam melindungi anak dari segala bentuk tindak pelanggaran hak anak, seperti bunuh diri, penyiksaan anak berujung maut, tindak kekerasan (child abuse), kekerasan seksual, diskriminasi, trafficking, dan perlakuan salah lainnya. Pembiaran dan impunity atas pelanggaran hak-hak anak adalah refleksi rendahnya derajat keberadaan dan lemahnya empati kemanusiaan oleh negara.

Sinergi antara orang tua, masyarakat, LSM, dan pemerintah harus terus dilakukan dalam melindungi anak. Pemerintah bersama masyarakat luas harus kerja ekstra dalam upaya penyediaan dana, kepedulian, masalah keamanan, perbaikan nasib (perekonomian, pendidikan, kesehatan rakyat) merupakan faktor penting mengatasi persoalan potret hitam kekerasan anak di atas.

Dunia semakin liberal, anak-anak yang tidak terlindungi akan semakin terpuruk. Perlakuan negara dan masyarakat dewasa terhadap anak-anaknya adalah cerminan masa depan suatu bangsa. Saatnya kita semua peduli pada nasib anak. Sebab, anak adalah penerus perjuangan bangsa, yang menentukan nasib dan arah bangsa di masa akan datang. Maju dan mundurnya suatu bangsa sangat bergantung pada kualitas anak saat ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar