Potret Hitam
Kekerasan Anak
Sutrisno ; Mahasiswa
Pascasarjana (S2) Universitas Muhammadiyah Surakarta
|
KORAN
JAKARTA, 26 Desember 2013
Potret hitam situasi dan ragam
kekerasan serta pelanggaran hak anak-anak di Indonesia semakin
memprihatinkan. Di pengujung tahun 2013 ini, Komisi Nasional Perlindungan
Anak Indonesia (Komnas Anak) membeberkan laporan kasus pelanggaran yang
melibatkan anak.
Menurut data
Komnas Anak, ada 1.620 kasus dengan perincian kekerasan fisik 490 kasus (30
persen), psikis 313 kasus (19 persen), dan paling banyak kekerasan seksual
817 kasus (51 persen).
Ironisnya, kasus-kasus kekerasan terhadap anak tersebut terjadi di lingkungan
terdekat anak, yakni rumah tangga, sekolah, lembaga pendidikan, dan
lingkungan sosial anak. Sedangkan pelakunya adalah orang-orang yang
seharusnya melindungi anak seperti orang tua, paman, guru, orang tua angkat
ataupun tiri.
Peristiwa
teraktual adalah di Batam. Rizky, 3 tahun, tewas di tangan orang tuanya
sendiri. Di Riau, Adit, 6 tahun, ditemukan penjual sayur di kebun sawit.
Bocah itu mengaku dibuang ibu dan pamannya. Sekujur tubuhnya penuh bekas
luka. Alat kelaminnya juga ada bekas luka yang menurutnya digunting oleh sang
ibu.
Fakta tersebut
mengungkap gagalnya negara, pemerintah, masyarakat, dan orang tua melindungi
serta menghormati hak anak di Indonesia. Kita sebagai masyarakat terlalu
sibuk dengan urusan sendiri.
Kendaraan yang
mempercepat kita melaju seolah-olah tidak memberikan waktu sedikit pun untuk
sekadar merenungi nasib anak-anak ini. Sepulang dari masjid, gereja, atau
rumah ibadah lainnya, para pemeluk agama kembali berurusan dengan hal-hal
rutin. Padahal jelas agama memerintahkan umatnya untuk melindungi anak-anak.
Negara yang
seharusnya melindungi dan memelihara mereka terlalu sibuk mengurusi hal-hal
besar, seperti urusan politik, skandal korupsi, dan ekonomi bangsa. Negara
belum maksimal melindungi anak dari berbagai bentuk kekerasan. Fakta ini juga
bertentangan dengan program Kabupaten/Kota Layak
Anak yang sering
didengungkan pemerintah. Pemerintah dianggap tidak terbuka dan tidak
merespons secara proporsional kasus-kasus pelanggaran hak anak.
Sebenarnya
pemerintah telah mengeluarkan produk hukum untuk melindungi anak. UU No 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak mengamanatkan bahwa pemerintah dan
lembaga lain berkewajiban dan bertanggung jawab memberikan perlindungan
khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum,
anak dari kelompok minoritas yang terisolasi, anak yang tereksploitasi secara
ekonomi dan atau seksual, serta anak yang diperdagangkan.
Perlindungan
juga wajib diberikan kepada anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotik,
alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban
penculikan, penjualan, dan perdagangan, anak yang menyandang cacat, serta
anak korban perlakuan salah dan penelantaran.
Penyair
Lebanon, Kahlil Gibran, mengingatkan kita bahwa "anakmu bukanlah anakmu".
Anak memiliki dunianya sendiri. Kita bisa memberikan kasih sayang, tetapi
tidak dapat memberikan pikiran kita karena mereka memiliki pikiran sendiri.
Kita tidak dapat mengurung jiwa mereka karena jiwa mereka tinggal di
"rumah masa depan" yang tidak bisa kita kunjungi. Kita juga dapat
menyerupai mereka, tetapi jangan coba-coba memaksa mereka menyerupai kita.
Karena, waktu tidak berjalan mundur dan merekalah yang akan menggenggam dunia
setelah kita tiada.
Ungkapan
Gibran di atas sebenarnya adalah untuk menyadarkan kita betapa penting
peranan anak di masa depan.
Masa depan anak erat kaitannya dengan perlindungan anak. Artinya perlindungan
anak menjamin anak berkembang secara optimal sehingga secara otomatis masa
depan anak menjadi terjamin.
Perlindungan anak
adalah segala kegiatan untuk menjamin, melindungi, dan memenuhi hak anak agar
hidup dan tumbuh berkembang secara optimal, berpartisipasi, serta mendapatkan
perlindungan dari bermacam bentuk kekerasan dan penelantaran.
Saat ini
terdapat sekitar 84 juta anak-anak Indonesia, dan setiap tahunnya lahir
sekitar 4 juta–5 juta anak. Mengingat jumlahnya yang sangat besar dan
merupakan generasi penerus bangsa, perhatian dan perlindungan terhadap anak
Indonesia mutlak harus dilakukan. Perlindungan anak tentu menjadi tanggung
jawab orang tua, masyarakat, dan negara.
Potret hitam
kasus kekerasan anak tentu mengusik kita semua. Perlindungan anak tentu
menjadi tanggung jawab orang tua, masyarakat, dan negara. Adapun tanggung
jawab pemerintah dapat diwujudkan dalam bentuk perlindungan hukum dan
pemenuhan hak-hak anak sebagai bagian dari warga negara. Sebagai bentuk
tanggung jawab pemerintah untuk melindungi anak, pemerintah memang sudah
membentuk UU No 23/2002 tentang Perlindungan Anak.
Pemerintah,
dalam hal ini Departemen (Kementerian) Sosial serta Kementerian Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak mestinya berada di barisan terdepan dalam
menyelamatkan mereka. Kementerian Kesehatan dan Kementerian Pendidikan
Nasional harus dilibatkan.
Pemerintah
perlu mengeluarkan kebijakan negara yang bersifat teknis dalam melindungi
anak dari segala bentuk tindak pelanggaran hak anak seperti tindak kekerasan
(child abuse), diskriminasi, trafficking, dan perlakuan salah
lainnya. Karena pembiaran dan impunity atas pelanggaran hak-hak anak adalah
refleksi rendahnya derajat keberadaan dan lemahnya empati kemanusiaan oleh
negara.
Terpenting,
hak-hak dasar anak sebagaimana amanat konstitusi harus dipernuhi negara. Ada
empat jenis hak dasar anak, meliputi hak hidup, hak untuk tumbuh dan kembang
secara optimal, hak untuk berpartisipasi, dan hak untuk mendapatkan
perlindungan dari bermacam bentuk kekerasan dan penelantaran.
Bentuk
tanggung jawab orang tua terhadap anak dapat diwujudkan dengan pemenuhan
kebutuhan dasar, pemberian pendidikan, pengenalan etika dan sopan santun,
pemberian bekal agama yang baik, dan perlindungan jiwa raganya. Tanggung
jawab masyarakat adalah menciptakan lingkungan interaksi sosial yang positif
sehingga anak bisa bersosialisasi dengan baik bersama dengan teman-temannya
maupun lingkungan sekitarnya.
Selanjutnya,
mengeluarkan kebijakan negara yang bersifat teknis dalam melindungi anak dari
segala bentuk tindak pelanggaran hak anak, seperti bunuh diri, penyiksaan
anak berujung maut, tindak kekerasan (child
abuse), kekerasan seksual, diskriminasi, trafficking, dan perlakuan salah lainnya. Pembiaran dan impunity
atas pelanggaran hak-hak anak adalah refleksi rendahnya derajat keberadaan dan lemahnya empati
kemanusiaan oleh negara.
Sinergi antara
orang tua, masyarakat, LSM, dan pemerintah harus terus dilakukan dalam
melindungi anak. Pemerintah bersama masyarakat luas harus kerja ekstra dalam
upaya penyediaan dana, kepedulian, masalah keamanan, perbaikan nasib
(perekonomian, pendidikan, kesehatan rakyat) merupakan faktor penting
mengatasi persoalan potret hitam kekerasan anak di atas.
Dunia semakin
liberal, anak-anak yang tidak terlindungi akan semakin terpuruk. Perlakuan
negara dan masyarakat dewasa terhadap anak-anaknya adalah cerminan masa depan
suatu bangsa. Saatnya kita semua peduli pada nasib anak. Sebab, anak adalah
penerus perjuangan bangsa, yang menentukan nasib dan arah bangsa di masa akan
datang. Maju dan mundurnya suatu bangsa sangat bergantung pada kualitas anak
saat ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar