Politik Kaum
Herodian
Peter Lewuk ; Peneliti
Senior The Adam Malik Center
|
SINAR
HARAPAN, 26 Desember 2013
Mengakhiri tahun politik 2013 dan memasuki
tahun pemilu 2014, ada dua tokoh sejarah dengan dua model kepemimpinan saling
bertolak belakang, yang patut dijadikan bahan refleksi kritis guna menarik
pelajaran, baik oleh para politikus maupun calon anggota legislatif serta
calon presiden, juga oleh rakyat yang akan menggunakan hak demokrasinya pada
pemilu legislatif dan pemilu presiden.
Refleksi kritis tentang politik nasional
Indonesia menjadi amat penting guna memilih pemimpin nasional yang tepat dan
mampu menentukan nasib Indonesia ke depan yang lebih berdaulat, berwibawa,
berharkat dan bermartabat, sejahtera, adil dan makmur sesuai dengan cita-cita
yang dirumuskan para founding fathers dalam Pancasila dan Pembukaan UUD 1945.
Politik Kekuasaan
Kedua tokoh sejarah yang dimaksud itu adalah
Raja Herodes dan Yesus atau Nabi Isa as. Sejarah mencatat bahwa kurang lebih
tahun 37 sebelum Masehi, bangsa kolonial Roma memilih Herodes, seorang Yahudi
dari daerah Idumea, untuk menduduki takhta Raja Daud dan memimpin bangsa
Israel. Ini dilakukan Roma demi melanggengkan kekuasaannya atas Israel.
Dari tokoh Herodes inilah, muncul terminologi
pencitraan negatif “kaum herodian” bagi para tokoh politik, yang selalu
berorientasi kekuasaan dan harta ketika mereka dipilih atau menang dan
memerintah rakyat. Untuk bangsa Israel zaman itu, para tokoh herodian itu
antara lain Pontius Pilatus, seorang prokurator atau gubernur yang ditunjuk
pemerintah kolonial Roma.
Herodes adalah pemimpin Israel pada zamannya
yang bertindak selaku komprador bangsa kolonial Roma. Dengan menyandang gelar
Herodes Agung, dia adalah raja yang hebat dalam hal melakukan pembangunan
Israel, tetapi itu didasarkan pada penggabungan antara kelicikan politik dan
teror yang menakutkan rakyat.
Raja Herodes Agung – juga kemudian para
putranya – mengumpulkan kekuasaan dan kekayaan melalui praktik KKN (kolusi,
korupsi, dan nepotisme) dengan penguasa kolonial Roma. KKN para herodian itu,
di satu sisi jelas-jelas lebih memperkaya keluarga kerajaan dan para
kroninya, serta menguntungkan kolonial Roma, terutama dalam pengumpulan
pajak. Tetapi, di sisi lain praktik KKN menimbulkan ketidakadilan
sosial-ekonomi dalam masyarakat Yahudi dan bangsa Israel.
Sebagai penguasa yang haus kekuasaan, Herodes
tidak segan-segan mencabut nyawa siapa pun yang bakal menjadi pesaingnya.
Itulah sebabnya ketika Yesus lahir (antara 37 sebelum Masehi hingga 4
Masehi), Herodes merencanakan pembunuhan atas diri Yesus.
Secara licik Herodes mengajak kerja sama
dengan orang-orang majus dari Timur, agar setelah mengunjungi Yesus, sang
raja Yahudi yang baru lahir di Betlehem, mereka memberi kabar kepada Herodes
agar dia juga dapat mengunjungi Yesus. Beruntunglah Tuhan mengetahui rencana jahat
Herodes, dan atas petunjuk Tuhan, orang-orang majus itu pulang ke negeri
asalnya melalui jalan lain.
Merasa diperdaya para majus dari Timur,
Herodes melampiaskan kemarahannya dengan menyuruh membunuh semua anak
laki-laki Betlehem yang berusia di bawah dua tahun dengan harapan Yesus ikut
terbunuh.
Beruntunglah, Tuhan menyuruh orang tua Yesus,
Maria dan Yusuf, mengungsikan Yesus ke Mesir, Afrika, hingga waktunya Herodes
Agung meninggal dunia (sekitar 4 Masehi), barulah Yesus dibawa pulang dari
Mesir ke Galilea dan tinggal di kampung-Nya, Nazaret.
Sebagai raja yang haus kekuasaan, harta dan
wanita, Herodes Antipas – putra Herodes Agung – dikritik habis oleh Yohanes
Pembaptis, karena sang raja selingkuh dan menikahi istri saudaranya sendiri.
Kritik tersebut terpaksa dibayar dengan pemenggalan kepala Yohanes Pembaptis.
Bahkan, Yesus hendak dibunuh oleh Herodes Antipas.
Politik Pelayanan
Bertolak belakang dengan politik kekuasaan
yang dipraktikkan kaum herodian, Yesus justru memperlihatkan “politik
pelayanan”. Dengan kritis Yesus menjawab permintaan ibunda dari kedua murid
Yesus, Yohanes dan Yakobus, agar Yesus mengikutsertakan kedua murid tersebut
dalam “kabinet-Nya” bila kelak Ia berkuasa sebagai raja Yahudi.
Akan tetapi, Yesus mengatakan,
”Pemerintah-pemerintah bangsa-bangsa memerintah rakyatnya dengan tangan besi
dan pembesar-pembesar menjalankan kekuasaannya dengan keras atas mereka.
Tidaklah demikian di antara kamu.
Barang siapa yang ingin menjadi besar di
antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barang siapa yang ingin
menjadi terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hambamu; sama seperti
Anak Manusia datang bukan untuk dilayani melainkan untuk melayani …”
Berbicara tentang politik dan kekuasaan
berarti berbicara antara lain tentang konstituen, yaitu rakyat pendukung dan
pemilih. Zaman itu, sekiranya digelar pemilu untuk memilih pemimpin Israel,
sudah pasti Yesus akan menang telak, karena citra dan kinerja-Nya selalu
memperlihatkan komitmen kerakyatan melalui politik pelayanan.
Meski tanpa pemilu, rakyat Israel mendesak Dia
menjadi Mesias Politik untuk membebaskan mereka dari kungkungan bangsa
kolonial Romawi. Desakan ini rasional justru karena citra dan kinerja positif
yang diperlihatkan Yesus.
Cita-cita politik pelayanan Yesus adalah
terciptanya suatu kondisi bonum commune, yaitu kemaslahatan publik sebagai
tanda yang menghadirkan kerajaan Allah, yaitu kerajaan kasih, damai,
sejahtera, dan persaudaraan di antara sesama manusia, yang harus sudah mulai
dirasakan secara konkret selama masih hidup di dunia ini menuju kepenuhan
dalam kerajaan Allah yang sesungguhnya di akhir zaman.
Komitmen kerakyatan melalui politik pelayanan
dibuktikan melalui option to the poor, yaitu keberpihakan yang memperjuangkan
hak-hak rakyat kecil dalam masyarakat Yahudi, yang saat itu sangat didominasi
kekuasaan para elite agama Yahudi dan kekuasaan para herodian komprador
kolonial Roma.
Komitmen kerakyatan dan politik pelayanan,
yang dipraktikkan secara konsisten dan konsekuen itu, menyebabkan Yesus
sering berkonflik dengan para elite agama dan elite politik. Yesus menentang
kesalehan religius para elite agama Yahudi yang bersifat hipokrit. Ia
mengkritik praktik agama yang hanya menjadi beban bagi umat.
Yesus juga mengkritik para penguasa yang hanya
ingin dilayani dan tidak mau melayani rakyat, serta memerintah rakyatnya
dengan keras dan tangan besi. Dengan tegas Yesus meminta para murid-Nya untuk
memperhatikan kehidupan sosial-ekonomi rakyat, juga meminta kaum kaya untuk
berbagi dengan sesama anggota masyarakat yang kurang beruntung nasibnya.
Masih banyak lagi nilai moral sosial-politik-keagamaan yang diajarkan Yesus
yang dapat ditarik signifikansi dan relevansinya.
Harapan
Mengakhiri refleksi singkat dan sederhana
menyambut Natal 2013 dan Tahun Baru 2014, kita sangat berharap Pemilu 2014
dapat menghasilkan para pemimpin di legislatif, eksekutif, dan yudikatif,
yang menghayati dan melaksanakan nilai-nilai politik pelayanan dan komitmen
politik kerakyatan, serta membuang jauh-jauh perilaku politik
herodian-koruptif yang hanya mementingkan kuasa, harta, dan wanita.
Last but not least, untuk pemimpin puncak di
Republik ini, saya masih berharap akan lahir seorang tokoh “Mesias Politik”
Indonesia pilihan rakyat atas rida dan kehendak Tuhan Yang Maha Esa. Pemilu
2014 adalah momentum krusial dan kritis bagi bangsa dan negara ini. Karena
itu, jangan salah memilih presiden dan jangan salah pula memilih para wakil
rakyat. Selamat Natal dan Tahun Baru. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar