Jumat, 27 Desember 2013

Politik Kaum Herodian

Politik Kaum Herodian
Peter Lewuk  ;    Peneliti Senior The Adam Malik Center
SINAR HARAPAN,  26 Desember 2013
  


Mengakhiri tahun politik 2013 dan memasuki tahun pemilu 2014, ada dua tokoh sejarah dengan dua model kepemimpinan saling bertolak belakang, yang patut dijadikan bahan refleksi kritis guna menarik pelajaran, baik oleh para politikus maupun calon anggota legislatif serta calon presiden, juga oleh rakyat yang akan menggunakan hak demokrasinya pada pemilu legislatif dan pemilu presiden.

Refleksi kritis tentang politik nasional Indonesia menjadi amat penting guna memilih pemimpin nasional yang tepat dan mampu menentukan nasib Indonesia ke depan yang lebih berdaulat, berwibawa, berharkat dan bermartabat, sejahtera, adil dan makmur sesuai dengan cita-cita yang dirumuskan para founding fathers dalam Pancasila dan Pembukaan UUD 1945.

Politik Kekuasaan

Kedua tokoh sejarah yang dimaksud itu adalah Raja Herodes dan Yesus atau Nabi Isa as. Sejarah mencatat bahwa kurang lebih tahun 37 sebelum Masehi, bangsa kolonial Roma memilih Herodes, seorang Yahudi dari daerah Idumea, untuk menduduki takhta Raja Daud dan memimpin bangsa Israel. Ini dilakukan Roma demi melanggengkan kekuasaannya atas Israel.

Dari tokoh Herodes inilah, muncul terminologi pencitraan negatif “kaum herodian” bagi para tokoh politik, yang selalu berorientasi kekuasaan dan harta ketika mereka dipilih atau menang dan memerintah rakyat. Untuk bangsa Israel zaman itu, para tokoh herodian itu antara lain Pontius Pilatus, seorang prokurator atau gubernur yang ditunjuk pemerintah kolonial Roma.

Herodes adalah pemimpin Israel pada zamannya yang bertindak selaku komprador bangsa kolonial Roma. Dengan menyandang gelar Herodes Agung, dia adalah raja yang hebat dalam hal melakukan pembangunan Israel, tetapi itu didasarkan pada penggabungan antara kelicikan politik dan teror yang menakutkan rakyat.

Raja Herodes Agung – juga kemudian para putranya – mengumpulkan kekuasaan dan kekayaan melalui praktik KKN (kolusi, korupsi, dan nepotisme) dengan penguasa kolonial Roma. KKN para herodian itu, di satu sisi jelas-jelas lebih memperkaya keluarga kerajaan dan para kroninya, serta menguntungkan kolonial Roma, terutama dalam pengumpulan pajak. Tetapi, di sisi lain praktik KKN menimbulkan ketidakadilan sosial-ekonomi dalam masyarakat Yahudi dan bangsa Israel.

Sebagai penguasa yang haus kekuasaan, Herodes tidak segan-segan mencabut nyawa siapa pun yang bakal menjadi pesaingnya. Itulah sebabnya ketika Yesus lahir (antara 37 sebelum Masehi hingga 4 Masehi), Herodes merencanakan pembunuhan atas diri Yesus.

Secara licik Herodes mengajak kerja sama dengan orang-orang majus dari Timur, agar setelah mengunjungi Yesus, sang raja Yahudi yang baru lahir di Betlehem, mereka memberi kabar kepada Herodes agar dia juga dapat mengunjungi Yesus. Beruntunglah Tuhan mengetahui rencana jahat Herodes, dan atas petunjuk Tuhan, orang-orang majus itu pulang ke negeri asalnya melalui jalan lain.

Merasa diperdaya para majus dari Timur, Herodes melampiaskan kemarahannya dengan menyuruh membunuh semua anak laki-laki Betlehem yang berusia di bawah dua tahun dengan harapan Yesus ikut terbunuh.

Beruntunglah, Tuhan menyuruh orang tua Yesus, Maria dan Yusuf, mengungsikan Yesus ke Mesir, Afrika, hingga waktunya Herodes Agung meninggal dunia (sekitar 4 Masehi), barulah Yesus dibawa pulang dari Mesir ke Galilea dan tinggal di kampung-Nya, Nazaret.

Sebagai raja yang haus kekuasaan, harta dan wanita, Herodes Antipas – putra Herodes Agung – dikritik habis oleh Yohanes Pembaptis, karena sang raja selingkuh dan menikahi istri saudaranya sendiri. Kritik tersebut terpaksa dibayar dengan pemenggalan kepala Yohanes Pembaptis. Bahkan, Yesus hendak dibunuh oleh Herodes Antipas.

Politik Pelayanan

Bertolak belakang dengan politik kekuasaan yang dipraktikkan kaum herodian, Yesus justru memperlihatkan “politik pelayanan”. Dengan kritis Yesus menjawab permintaan ibunda dari kedua murid Yesus, Yohanes dan Yakobus, agar Yesus mengikutsertakan kedua murid tersebut dalam “kabinet-Nya” bila kelak Ia berkuasa sebagai raja Yahudi.

Akan tetapi, Yesus mengatakan, ”Pemerintah-pemerintah bangsa-bangsa memerintah rakyatnya dengan tangan besi dan pembesar-pembesar menjalankan kekuasaannya dengan keras atas mereka. Tidaklah demikian di antara kamu.

Barang siapa yang ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barang siapa yang ingin menjadi terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hambamu; sama seperti Anak Manusia datang bukan untuk dilayani melainkan untuk melayani …”

Berbicara tentang politik dan kekuasaan berarti berbicara antara lain tentang konstituen, yaitu rakyat pendukung dan pemilih. Zaman itu, sekiranya digelar pemilu untuk memilih pemimpin Israel, sudah pasti Yesus akan menang telak, karena citra dan kinerja-Nya selalu memperlihatkan komitmen kerakyatan melalui politik pelayanan.

Meski tanpa pemilu, rakyat Israel mendesak Dia menjadi Mesias Politik untuk membebaskan mereka dari kungkungan bangsa kolonial Romawi. Desakan ini rasional justru karena citra dan kinerja positif yang diperlihatkan Yesus.

Cita-cita politik pelayanan Yesus adalah terciptanya suatu kondisi bonum commune, yaitu kemaslahatan publik sebagai tanda yang menghadirkan kerajaan Allah, yaitu kerajaan kasih, damai, sejahtera, dan persaudaraan di antara sesama manusia, yang harus sudah mulai dirasakan secara konkret selama masih hidup di dunia ini menuju kepenuhan dalam kerajaan Allah yang sesungguhnya di akhir zaman.

Komitmen kerakyatan melalui politik pelayanan dibuktikan melalui option to the poor, yaitu keberpihakan yang memperjuangkan hak-hak rakyat kecil dalam masyarakat Yahudi, yang saat itu sangat didominasi kekuasaan para elite agama Yahudi dan kekuasaan para herodian komprador kolonial Roma.

Komitmen kerakyatan dan politik pelayanan, yang dipraktikkan secara konsisten dan konsekuen itu, menyebabkan Yesus sering berkonflik dengan para elite agama dan elite politik. Yesus menentang kesalehan religius para elite agama Yahudi yang bersifat hipokrit. Ia mengkritik praktik agama yang hanya menjadi beban bagi umat.

Yesus juga mengkritik para penguasa yang hanya ingin dilayani dan tidak mau melayani rakyat, serta memerintah rakyatnya dengan keras dan tangan besi. Dengan tegas Yesus meminta para murid-Nya untuk memperhatikan kehidupan sosial-ekonomi rakyat, juga meminta kaum kaya untuk berbagi dengan sesama anggota masyarakat yang kurang beruntung nasibnya. Masih banyak lagi nilai moral sosial-politik-keagamaan yang diajarkan Yesus yang dapat ditarik signifikansi dan relevansinya.

Harapan

Mengakhiri refleksi singkat dan sederhana menyambut Natal 2013 dan Tahun Baru 2014, kita sangat berharap Pemilu 2014 dapat menghasilkan para pemimpin di legislatif, eksekutif, dan yudikatif, yang menghayati dan melaksanakan nilai-nilai politik pelayanan dan komitmen politik kerakyatan, serta membuang jauh-jauh perilaku politik herodian-koruptif yang hanya mementingkan kuasa, harta, dan wanita.

Last but not least, untuk pemimpin puncak di Republik ini, saya masih berharap akan lahir seorang tokoh “Mesias Politik” Indonesia pilihan rakyat atas rida dan kehendak Tuhan Yang Maha Esa. Pemilu 2014 adalah momentum krusial dan kritis bagi bangsa dan negara ini. Karena itu, jangan salah memilih presiden dan jangan salah pula memilih para wakil rakyat. Selamat Natal dan Tahun Baru.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar