Seorang Pengamat
Ekonomi seperti dikutip majalah Forbes Edisi 20 November 2013 menyebut,
kandidat presiden (capres) harus menyediakan dana 600 juta dollar
Amerika atau setara dengan 7 triliun rupiah.
Menyimak angka
tersebut memang sangat fantastis. Tapi memang begitulah adanya. Tiket
untuk masuk istana presiden dan menjadi orang nomor satu di sana, memang
terlalu mahal bila dikalkulasi secara nominal. Kisaran dana yang tidak
sedikit ini bisa dimaklumi. Pasalnya, pemilihan langsung memang
berkorelasi erat dengan biaya tinggi (high
cost). Salah satunya, untuk biaya kampanye dan pencitraan di
media massa. Atau, kita lebih mengenalnya dengan sebutan iklan atau
advertorial.
Seperti yang kita
saksikan hari ini! Kurang lebih empat bulan jelang suksesi 2014, eskalasi
politik nasional semakin “membara”. Perang popularitas dan adu argumentasi
di media massa – terutama televisi – kian menjadi-jadi antar kandidat
capres dan cawapres. Bahkan tak sedikit yang melakukan kecurangan
dengan curi start jauh-jauh hari. Para kandidat yang berambisi menjadi
pemimpin negeri ini larut dalam euphoria mengkatrol popularitas lewat
jalan instan bernama iklan, aneka kuis, liputan kegiatan dan lain
sebagainya.
Sebagai
masyarakat awam, kadang kita – termasuk saya – dibuat gerah oleh para ulah
politisi – yang sebagian diantaranya lebih tepat disebut politisi dadakan
alias politisi latah. Saya sebut dadakan, karena memang selama ini tidak
terdengar kiprahnya di dunia politik, tahu-tahu mentasbihkan diri sebagai
tokoh politik nasional dengan menjadi capres atau cawapres dan juga caleg.
Kembali pada
pencitraan meraih popularitas, hampir setiap hari kita melihat tayangan di
media elektronik khususnya televisi yang menampilkan figur capres dan
cawapres. Bukan sekali dua, tapi hampir sepanjang hari. Dari pagi hingga
malam dan kembali pagi lagi. Tak hanya muncul di acara bertemakan politik
atau berita (news) tapi juga sejumlah acara hiburan seperti musik yang
sebagian besar pemirsanya adalah kalangan remaja.
Media online?
Justru lebih parah lagi. Saya sampai terheran-heran ketika berselancar di
ranah maya, menemukan media online yang habis dikapling-kapling oleh
sejumlah politisi dengan iklan politik plus pencitraannya. Belum lagi blog dan
website yang bertebaran di mana- mana. Maka, saban hari, mau lihat
chanel tv apapun atau media online manapun, semua isinya tentang iklan dan
pencitraan orang-orang yang ingin menjadi presiden dan wakil presiden ini.
Pencitraan dengan
memakai media apapun, tentu sah-sah saja, sepanjang dilakukan dengan cara
dan prosedur yang wajar. Masalahnya sekarang, hampir semua big
bos media massa
di negeri ini – khususnya media televisi – sedang asyik masyuk berburu
ambisi menjadi presiden dan wakil presiden.
Lihatlah, hampir
bisa dikatakan tidak ada pemilik (owner)
televisi swasta yang tidak nyapres. Mulai dari
ARB, Surya Paloh, Harry Tanoe, Chairul Tanjung dan juga Dahlan Iskan.
Mereka adalah para pemilik stasiun televisi sekaligus media cetak – juga
radio – yang tersebar di berbagai daerah.
Selain bos media
massa, sebagian diantaranya juga menjadi petinggi partai politik, yang
seharusnya memberikan edukasi berpolitik yang sehat dan fairkepada
masyarakat luas.
Pasalnya yang
kini terjadi dan menjadi trend adalah orang-orang ini menggunakan media
milik mereka sebagai ajang kampanye plus pencitraan diri. Dampaknya?
Pemberitaan media massa menjadi tidak berimbang dan mengabaikan
prinsip jurnalistik. Dan itu terlihat sangat kentara dalam pemberitaan
(news) mereka selama ini.
Beberapa waktu
terakhir, yang muncul justru perang tanding antar sesama capres melalui
media masing-masing. Terlihat sekali bagaimana capres dan
cawapres yang bersangkutan “menyelamatkan diri” atau melakukan pencitraan
untuk kepentingan pribadinya. Dalam berbagai kesempatan, pemberitaan atau
liputan mereka diarahkan untuk menggiring opini publik pada partai politik
tertentu. Ini tentu sudah tidak sehat lagi.
Padahal,
sejatinya sebagai lembaga penyiaran publik, televisi harus lebih
mengetengahkan peran dan kepentingan publik daripada segelintir orang
atau golongan. Tapi apa boleh buat! Para pemilik media justru sedang
memacu adrenaline untuk segara masuk istana negara.
Bila ditelisik
lebih jauh, sebagai salah satu penggerak dan pendukung demokrasi, pers
memegang peranan yang sangat penting. Bukan hanya menjalankan fungsi
industrialisasi untuk menghasilkan uang (mencetak untung), tapi juga
sosial edukasi. Artinya, pers harus menempatkan diri sebagai lembaga yang
memberikan pencerahan atau edukasi kepada publik sekaligus lembaga sosial
kontrol terhadap jalannya pemerintahan dan kehidupan sosial secara
berimbang dan bertanggungjawab.
Tapi fungsi itu
akan tereliminasi seiring meningkatnya dominasi dan power para owner yang memperalat media untuk kepentingan
politik tertentu, bahkan dengan over dosis. Fenomena ini merupakan preseden
buruk bagi pers dan dunia pertelevisian di negeri ini, karena pers tidak
lagi dipercaya sebagai lembaga independen yang menjalankan fungsi sosial
kontrolnya. Dengan kata lain, independensi media televisi dan juga cetak
kita semakin dipertanyakan, khususnya jelang suksesi 2014 pada April
mendatang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar