Rabu, 18 Desember 2013

Independensi Media Jelang 2014

Independensi Media Jelang 2014
Mirawati Uniang  ;    Mahasiswa Universitas Eka Sakti
HALUAN,  17 Desember 2013

  

Seorang Penga­mat Ekonomi seperti dikutip majalah For­bes Edisi 20 Novem­ber 2013 menyebut, kandi­dat presiden (capres) harus menyediakan dana 600 juta dollar Amerika  atau setara dengan 7 triliun rupiah.

Menyimak angka terse­but memang sangat fantas­tis. Tapi memang begitulah adanya. Tiket untuk masuk istana presiden dan menjadi orang nomor satu di sana, memang terlalu mahal bila dikalkulasi secara nominal. Kisaran dana yang tidak sedikit ini bisa dimaklumi. Pasalnya, pemilihan lang­sung memang berkorelasi erat dengan biaya tinggi (high cost). Salah satunya, untuk biaya kampanye dan pencitraan di media massa. Atau, kita lebih menge­nalnya dengan sebutan iklan atau advertorial.

Seperti yang kita saksi­kan hari ini! Kurang lebih empat bulan jelang suksesi 2014, eskalasi politik nasional semakin “membara”. Perang popularitas dan adu argu­mentasi di media massa – terutama televisi – kian menjadi-jadi antar kandidat capres dan cawapres.  Bah­kan tak sedikit yang mela­kukan kecurangan dengan curi start jauh-jauh hari. Para kandidat yang beram­bisi menjadi pemimpin negeri ini larut dalam euphoria mengkatrol popula­ritas lewat jalan instan bernama iklan, aneka kuis, liputan kegiatan dan lain sebagainya.

Sebagai masyarakat awam, kadang kita – terma­suk saya – dibuat gerah oleh para ulah politisi – yang sebagian diantaranya lebih tepat disebut politisi dadakan alias politisi latah. Saya sebut dadakan, karena memang selama ini tidak terdengar kiprahnya di dunia politik, tahu-tahu mentas­bihkan diri sebagai tokoh politik nasional dengan menjadi capres atau cawa­pres dan juga caleg.

Kembali pada pencitraan meraih popularitas, hampir setiap hari kita melihat tayangan di media elektronik khususnya televisi yang menampilkan figur capres dan cawapres. Bukan sekali dua, tapi hampir sepanjang hari. Dari pagi hingga malam dan kembali pagi lagi. Tak hanya muncul di acara bertemakan politik atau berita (news) tapi juga sejumlah acara hiburan seperti musik yang sebagian besar pemirsanya adalah kalangan remaja.

Media online? Justru lebih parah lagi. Saya sampai terheran-heran ketika berselancar di ranah maya, menemukan media online yang habis dikapling-kapling oleh sejumlah politisi dengan iklan politik plus pencitraannya. Belum lagi blog dan website yang bertebaran di mana- mana.  Maka, saban hari, mau lihat chanel tv apapun atau media online manapun, semua isinya tentang iklan dan pencitraan orang-orang yang ingin menjadi presiden dan wakil presiden ini.

Pencitraan dengan me­ma­kai media apapun, tentu sah-sah saja, sepanjang dilakukan dengan cara dan prosedur yang wajar. Masa­lahnya sekarang, hampir semua big bos media massa di negeri ini – khususnya media televisi – sedang asyik masyuk berburu ambisi menjadi presiden dan wakil presiden.

Lihatlah, hampir bisa dikatakan tidak ada pemilik (owner) televisi swasta yang tidak nyapres. Mulai dari ARB, Surya Paloh, Harry Tanoe, Chairul Tanjung dan juga Dahlan Iskan. Mereka adalah para pemilik stasiun televisi sekaligus media cetak – juga radio – yang tersebar di berbagai daerah.

Selain bos media massa, sebagian diantaranya juga menjadi petinggi partai politik, yang seharusnya memberikan edukasi berpo­litik yang sehat dan fairkepada masyarakat luas.

Pasalnya yang kini terja­di dan menjadi trend adalah orang-orang ini menggu­nakan media milik mereka sebagai ajang kampanye plus pencitraan diri. Dampaknya? Pemberitaan media massa  menjadi tidak berimbang dan mengabaikan prinsip jurnalistik. Dan itu terlihat sangat kentara dalam pem­be­ritaan (news) mereka selama ini.

Beberapa waktu terakhir, yang muncul justru perang tanding antar sesama capres melalui media masing-masing.  Terlihat sekali  bagaimana capres dan cawapres yang bersangkutan “menyelamatkan diri” atau melakukan pencitraan untuk kepentingan pribadinya. Dalam berbagai kesempatan, pemberitaan atau liputan mereka diarahkan untuk menggiring opini publik pada partai politik tertentu. Ini tentu sudah tidak sehat lagi.

Padahal, sejatinya seba­gai lembaga penyiaran publik, televisi harus  lebih menge­tengahkan peran dan kepen­tingan publik daripada sege­lintir orang atau golo­ngan. Tapi apa boleh buat! Para pemilik media justru sedang memacu adrenaline untuk segara masuk istana negara.

Bila ditelisik lebih jauh, sebagai salah satu peng­gerak dan pendukung demo­krasi, pers memegang pera­nan yang sangat penting. Bukan hanya menjalankan fungsi industrialisasi untuk menghasilkan uang (men­cetak untung), tapi juga sosial edukasi. Artinya, pers harus menempatkan diri sebagai lembaga yang mem­berikan pencerahan atau edukasi kepada publik sekaligus lembaga sosial kontrol terhadap jalannya pemerintahan dan kehidupan sosial secara berimbang dan bertanggungjawab.

Tapi fungsi itu akan tereliminasi seiring  mening­katnya dominasi dan power para owner yang mempe­ralat media untuk kepen­tingan politik tertentu, bahkan dengan over dosis. Fenomena ini merupakan preseden buruk bagi pers dan dunia pertelevisian di negeri ini, karena pers tidak lagi dipercaya sebagai lembaga independen yang menjalankan fungsi sosial kontrolnya. Dengan kata lain, independensi media televisi dan juga cetak kita semakin dipertanyakan, khususnya jelang suksesi 2014 pada April mendatang. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar