Rabu, 18 Desember 2013

Potensi Partai buat Cuci Uang

Potensi Partai buat Cuci Uang
Ahan Syahrul Arifin  ;    Mahasiswa Pascasarjana Universitas Indonesia,
Ketua PB HMI
KORAN JAKARTA,  17 Desember 2013

  

Pemilihan langsung membawa konsekuensi yang cukup pelik bagi para politisi maupun partai politik (parpol). Di satu sisi, membawa aspek partisipatif dan legitimasi yang kuat atas terpilihnya seorang kandidat/parpol untuk duduk di kursi kekuasaan.

Di sisi lain, banyak aspek negatifnya juga, seperti politik uang dan korupsi. Pemilih dipaksa, bukan karena kesadaran. Pilihan juga tidak terkait dengan substansi pemilihan, menyalurkan hak dan aspirasi yang sesuai dengan kebutuhan, visi, maupun program. Terlalu jauh pula bicara ideologi.

Pemilih menggunakan hak suaranya lebih banyak karena iming-iming uang, santunan, dan utang budi pembangunan jalan. Pola-pola seperti itu dicatat ICW selama pemilu legislatif 2009.

Modus-modus transaksi politik yang dilakukan para kandidat beraneka macam, di antaranya pemberian uang tunai secara langsung (113 kasus), sembako (16), kartu HP (5), bazar murah (3), barang elektronik (8), dan perbaikan jalan (5). 

Model transaksi politik lain, yang secara kreatif dibangun para kandidat untuk menarik simpati dengan membantu lembaga sosial keagamaan dan bakti sosial, meliputi pelayanan kesehatan gratis hingga seragam sekolah.

Intinya, dengan "kedermaawan", diharapkan ada simpati dari masyarakat. Ini yang membuat proses politik membutuhkan biaya sangat besar. Kondisi itu, tak bisa dimungkiri, membuat para politisi mencari sumber-sumber pembiayaan. Partai-partai minta setoran kader di legislatif dan yudikatif.

Pemotongan gaji hingga pengaturan proyek diatur secara rapi. Sebenarnya ini tak jadi soal. Apalagi operasional partai membutuhkan dana tak sedikit.
Very Junaidi dkk, dalam Anomali Keuangan Partai Politik: Pengaturan dan Praktek, dengan menggunakan lima parameter (operasional kesekretariatan, konsolidasi organisasi, pendidikan politik dan kaderisasi, iklan dan perjalanan dinas) memperkirakan setahun anggaran partai 51,2 miliar rupiah. Lalu, lahirlah koruptor-koruptor dari rahim parpol.

Apalagi subsidi negara untuk pendanaan juga sangat kecil. Merunut Keputusan Menteri Dalam Negeri No 212/2009, subsidi untuk partai per tahun hanya 108 rupiah per suara. Walhasil, sebagai pemenang pemilu 2009, Partai Demokrat hanya mendapat bantuan negara 2,3 miliar rupiah, jauh dari 51,2 miliar rupiah.

Kesenjangan pendapatan dan pengeluaran membuat parpol memanfaatkan kader-kader di lembaga-lembaga pemerintahan untuk pendanaan. Kondisi itu terjadi seiring dengan realitas parpol yang tidak memiliki kekebalan terhadap politisi hitam. Potensi partai dijadikan wadah pencucian uang sangat terbuka.

Apalagi partai politik tidak didukung dengan akuntabilitas dan transparansi pendanaan. Dalam UU No 2/2011, juga dinyatakan tidak ada batasan anggota partai untuk menyumbang. Dengan asumsi kebutuhan anggaran mencapai 50 miliar per tahun, dibutuhkan cukup tujuh perusahaan untuk menyelesaikan anggaran sebesar itu.

Bagi pengusaha, yang berkepentingan dengan kekuasaan anggaran sebesar itu, tentu tidak masalah. Bahkan, seorang pengusaha bisa menitipkan uangnya atas nama kader. Dalam UU No 2/2011, dinyatakan untuk satu tahun anggaran donasi hanya dibatasi 1 miliar per orang dan 7,5 miliar untuk badan usaha.

Biaya politik tinggi antara lain karena sistem pemilihan proporsional terbuka. Model ini membuat seorang kandidat harus berkampanye dan bersosialisasi. Caranya bisa dengan iklan, spanduk, baliho, pamflet, kartu nama, hingga membentuk tim sukses (timses) di setiap dapil. Philips J Vermonte menyebut sistem pemilihan langsung di Indonesia mengalami the presidentialization of politics.

Pemilihan umum mirip dengan model pemilihan presiden, tiap kandidat harus bersosialisasi menyentuh seluruh akar rumput agar mendapat banyak suara. Eksesnya, biaya yang dikeluarkan menjadi sangat besar. Keadaan ini sinergis dengan kualitas hubungan antara kandidat caleg dan partai yang tidak mesra dengan rakyat.

Hubungan yang terbangun tidak secara kontinu terpelihara sehingga tidak timbul basis politik konstituen yang mengakar, solid, dan ideologis. Masa pemilih menjadi mengambang karena jalinan interaksi pragmatis dan transaksional. Kandidat hanya menyapa ketika menjelang pemilu, selebihnya dilupakan.
Kalaupun mengingat, hanya tim suksesnya yang diperhatikan. Politik uang akhirnya dipilih kandidat untuk mengambil suara rakyat. Dua aspek itu di lapangan kerap kali membuat kandidat terlibat perebutan basis suara yang sama meski satu partai. Faktor lain yang membuat biaya politik membengkak adalah wilayah dan medan kampanye yang luas.

Kondisi ini juga didukung dengan penyelenggara pemilu yang tak jujur. Di daerah yang luas dan terpencil, politik uang sangat mudah terjadi antara kandidat dan penyelenggara pemilu. Faktor lain yang juga membuat biaya mahal adalah tidak adanya pembatasan ongkos kampanye. Aktivitas sosialisasi dan kampanye sangat bergantung pada kantong tiap kandidat/partai.

Mesin 

Ada juga karena kondisi partai itu sendiri. Basis-basis ideologis partai telah hilang. Partai telah berubah hanya menjadi mesin penggalangan suara belaka. Partai tidak lagi memiliki garis basis massa yang jelas dan tegas.

Karakter lintas kelompok lebih mengemuka. Dalam konteks Indonesia, hampir semua partai memiliki badan/lembaga untuk menggaet massa. PDIP, misalnya, yang basisnya ideologis nasionalis, memiliki Baitul Muslimin untuk menggaet massa dari kalangan Islam.

Nyatanya pula, koalisi juga tidak terbangun atas basis ideologis tertentu, bahkan platform visi dan misi tidak menjadi bahan pertimbangan utama. Fakta koalisi yang dibangun berdasarkan kepentingan pengamanan kekuasaan menunjukkan partai hanya mengejar angka elektoral.

Ini menegaskan partai hanya mengejar suara sehingga perlu dana sangat besar untuk menggaet simpati pemilih. Menghadapi persoalan ini, proses pengaturan sistem politik menjadi kunci awal mengatasi biaya tinggi politik. Rekayasa sistem pemilihan hingga pembatasan biaya kampanye harus dilakukan.

Pembenahan kelembagaan penyelenggaran pemilu juga sangat urgen. Tren yang berkembang, kecurangan dan politik uang tidak hanya terjadi di tengah masyarakat, melainkan berpindah pada perangkat-perangkat penyelenggara, termasuk wasit sengketa pemilu, seperti kasus mantan Ketua MK, Akil Mochtar. 

Perlu juga meningkatkan wawasan politik masyarakat soal hak dan kewajiban.
Penyadaran dan pemahaman makna-makna hak suara mereka menjadi sangat krusial untuk melawan politik uang. Penting juga meningkatkan pengawasan aliran uang yang beredar bekerja sama dengan Bank, PPATK, akuntan, dan LSM.

Pengawasan terhadap aliran uang kandidat menjadi sangat penting untuk menciptakan transparansi dan akuntabilitas. Parpol harus berbenah agar memiliki karakter sendiri. Bukan partai lintas karakter yang bergerak untuk semua jenis pemilih, tapi berusaha memperjuangkan seluruh karakter masyarakat. Hanya, realitasnya, sama sekali tidak ada yang diperjuangkan.  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar