Pemilihan langsung membawa konsekuensi
yang cukup pelik bagi para politisi maupun partai politik (parpol). Di satu
sisi, membawa aspek partisipatif dan legitimasi yang kuat atas terpilihnya
seorang kandidat/parpol untuk duduk di kursi kekuasaan.
Di
sisi lain, banyak aspek negatifnya juga, seperti politik uang dan korupsi.
Pemilih dipaksa, bukan karena kesadaran. Pilihan juga tidak terkait dengan
substansi pemilihan, menyalurkan hak dan aspirasi yang sesuai dengan
kebutuhan, visi, maupun program. Terlalu jauh pula bicara ideologi.
Pemilih
menggunakan hak suaranya lebih banyak karena iming-iming uang, santunan,
dan utang budi pembangunan jalan. Pola-pola seperti itu dicatat ICW selama
pemilu legislatif 2009.
Modus-modus
transaksi politik yang dilakukan para kandidat beraneka macam, di antaranya
pemberian uang tunai secara langsung (113 kasus), sembako (16), kartu HP
(5), bazar murah (3), barang elektronik (8), dan perbaikan jalan (5).
Model
transaksi politik lain, yang secara kreatif dibangun para kandidat untuk
menarik simpati dengan membantu lembaga sosial keagamaan dan bakti sosial,
meliputi pelayanan kesehatan gratis hingga seragam sekolah.
Intinya,
dengan "kedermaawan", diharapkan ada simpati dari masyarakat. Ini
yang membuat proses politik membutuhkan biaya sangat besar. Kondisi itu,
tak bisa dimungkiri, membuat para politisi mencari sumber-sumber
pembiayaan. Partai-partai minta setoran kader di legislatif dan yudikatif.
Pemotongan
gaji hingga pengaturan proyek diatur secara rapi. Sebenarnya ini tak jadi
soal. Apalagi operasional partai membutuhkan dana tak sedikit.
Very
Junaidi dkk, dalam Anomali Keuangan Partai Politik: Pengaturan dan Praktek,
dengan menggunakan lima parameter (operasional kesekretariatan, konsolidasi
organisasi, pendidikan politik dan kaderisasi, iklan dan perjalanan dinas)
memperkirakan setahun anggaran partai 51,2 miliar rupiah. Lalu, lahirlah
koruptor-koruptor dari rahim parpol.
Apalagi
subsidi negara untuk pendanaan juga sangat kecil. Merunut Keputusan Menteri
Dalam Negeri No 212/2009, subsidi untuk partai per tahun hanya 108 rupiah
per suara. Walhasil, sebagai pemenang pemilu 2009, Partai Demokrat hanya
mendapat bantuan negara 2,3 miliar rupiah, jauh dari 51,2 miliar rupiah.
Kesenjangan
pendapatan dan pengeluaran membuat parpol memanfaatkan kader-kader di
lembaga-lembaga pemerintahan untuk pendanaan. Kondisi itu terjadi seiring
dengan realitas parpol yang tidak memiliki kekebalan terhadap politisi
hitam. Potensi partai dijadikan wadah pencucian uang sangat terbuka.
Apalagi
partai politik tidak didukung dengan akuntabilitas dan transparansi
pendanaan. Dalam UU No 2/2011, juga dinyatakan tidak ada batasan anggota
partai untuk menyumbang. Dengan asumsi kebutuhan anggaran mencapai 50
miliar per tahun, dibutuhkan cukup tujuh perusahaan untuk menyelesaikan
anggaran sebesar itu.
Bagi
pengusaha, yang berkepentingan dengan kekuasaan anggaran sebesar itu, tentu
tidak masalah. Bahkan, seorang pengusaha bisa menitipkan uangnya atas nama
kader. Dalam UU No 2/2011, dinyatakan untuk satu tahun anggaran donasi
hanya dibatasi 1 miliar per orang dan 7,5 miliar untuk badan usaha.
Biaya
politik tinggi antara lain karena sistem pemilihan proporsional terbuka.
Model ini membuat seorang kandidat harus berkampanye dan bersosialisasi.
Caranya bisa dengan iklan, spanduk, baliho, pamflet, kartu nama, hingga
membentuk tim sukses (timses) di setiap dapil. Philips J Vermonte menyebut
sistem pemilihan langsung di Indonesia mengalami the presidentialization of
politics.
Pemilihan
umum mirip dengan model pemilihan presiden, tiap kandidat harus
bersosialisasi menyentuh seluruh akar rumput agar mendapat banyak suara.
Eksesnya, biaya yang dikeluarkan menjadi sangat besar. Keadaan ini sinergis
dengan kualitas hubungan antara kandidat caleg dan partai yang tidak mesra
dengan rakyat.
Hubungan
yang terbangun tidak secara kontinu terpelihara sehingga tidak timbul basis
politik konstituen yang mengakar, solid, dan ideologis. Masa pemilih
menjadi mengambang karena jalinan interaksi pragmatis dan transaksional.
Kandidat hanya menyapa ketika menjelang pemilu, selebihnya dilupakan.
Kalaupun
mengingat, hanya tim suksesnya yang diperhatikan. Politik uang akhirnya
dipilih kandidat untuk mengambil suara rakyat. Dua aspek itu di lapangan
kerap kali membuat kandidat terlibat perebutan basis suara yang sama meski
satu partai. Faktor lain yang membuat biaya politik membengkak adalah
wilayah dan medan kampanye yang luas.
Kondisi
ini juga didukung dengan penyelenggara pemilu yang tak jujur. Di daerah
yang luas dan terpencil, politik uang sangat mudah terjadi antara kandidat
dan penyelenggara pemilu. Faktor lain yang juga membuat biaya mahal adalah
tidak adanya pembatasan ongkos kampanye. Aktivitas sosialisasi dan kampanye
sangat bergantung pada kantong tiap kandidat/partai.
Mesin
Ada
juga karena kondisi partai itu sendiri. Basis-basis ideologis partai telah
hilang. Partai telah berubah hanya menjadi mesin penggalangan suara belaka.
Partai tidak lagi memiliki garis basis massa yang jelas dan tegas.
Karakter
lintas kelompok lebih mengemuka. Dalam konteks Indonesia, hampir semua
partai memiliki badan/lembaga untuk menggaet massa. PDIP, misalnya, yang
basisnya ideologis nasionalis, memiliki Baitul Muslimin untuk menggaet
massa dari kalangan Islam.
Nyatanya
pula, koalisi juga tidak terbangun atas basis ideologis tertentu, bahkan
platform visi dan misi tidak menjadi bahan pertimbangan utama. Fakta
koalisi yang dibangun berdasarkan kepentingan pengamanan kekuasaan
menunjukkan partai hanya mengejar angka elektoral.
Ini
menegaskan partai hanya mengejar suara sehingga perlu dana sangat besar
untuk menggaet simpati pemilih. Menghadapi persoalan ini, proses pengaturan
sistem politik menjadi kunci awal mengatasi biaya tinggi politik. Rekayasa
sistem pemilihan hingga pembatasan biaya kampanye harus dilakukan.
Pembenahan
kelembagaan penyelenggaran pemilu juga sangat urgen. Tren yang berkembang,
kecurangan dan politik uang tidak hanya terjadi di tengah masyarakat,
melainkan berpindah pada perangkat-perangkat penyelenggara, termasuk wasit
sengketa pemilu, seperti kasus mantan Ketua MK, Akil Mochtar.
Perlu juga
meningkatkan wawasan politik masyarakat soal hak dan kewajiban.
Penyadaran
dan pemahaman makna-makna hak suara mereka menjadi sangat krusial untuk
melawan politik uang. Penting juga meningkatkan pengawasan aliran uang yang
beredar bekerja sama dengan Bank, PPATK, akuntan, dan LSM.
Pengawasan
terhadap aliran uang kandidat menjadi sangat penting untuk menciptakan
transparansi dan akuntabilitas. Parpol harus berbenah agar memiliki
karakter sendiri. Bukan partai lintas karakter yang bergerak untuk semua
jenis pemilih, tapi berusaha memperjuangkan seluruh karakter masyarakat.
Hanya, realitasnya, sama sekali tidak ada yang diperjuangkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar