Seorang politisi sebuah
partai politik meluncurkan sebuah buku karyanya. Dalam buku itu diungkapkan
bahwa untuk menjadi wakil rakyat di DPR diperlukan biaya dari Rp300 juta
hingga Rp1 miliar, Rp6 miliar, bahkan hingga Rp22 miliar. Dilihat dari
biaya yang dikeluarkan itu bisa disimpulkan bahwa menjadi anggota DPR tak murah.
Dan dari melihat biaya yang harus disediakan bisa disimpulkan orang miskin
jangan menjadi wakil rakyat. Ini bukan diskriminatif namun mana bisa orang
miskin menyediakan dana hingga Rp1 miliar? Yang bisa menjadi wakil rakyat
ya kalau tidak pengusaha besar, ya mereka yang minimal bisa menyediakan
uang Rp1 miliar.
Dari buku itu
juga diungkap bahwa calon wakil rakyat bisa berbiaya murah bila ia sudah
popular namun untuk membangun popularitas itu tidak gampang, diperlukan
waktu puluhan tahun. Bila popularitasnya ingin cepat naik maka calon wakil
rakyat harus melakukan pencitraan namun untuk membangun citra tentunya juga
tidak gratis tetap membutuhkan biaya. Jadi semua gerak-gerik untuk menjadi
wakil rakyat tetap membutuhkan duit.
Ketika biaya
tinggi diperlukan maka semua calon wakil rakyat akan menggunakan cara untuk
bisa membiayai misinya. Mulai dari menjual tanah, utang di bank, bahkan ada
yang perilakunya aneh-aneh. Menjelang Pemilu 2009 disebut ada calon wakil
rakyat yang rela menjual istrinya untuk kepentingan kampanyenya. Itu salah
satu contoh pada tahun itu. Menjelang Pemilu 2014, ada pula seorang calon
wakil rakyat merampok bank dan uang itu direncanakan untuk membiayai
kampanyenya. Tergila-gilanya orang menjadi wakil rakyat sampai-sampai
banyak orang kehilangan akal sehat dan berpikiran pendek. Penulis pikir
dalam beberapa hari ini akan terjadi hal-hal yang aneh terkait perilaku
calon wakil rakyat.
Besarnya biaya
tersebut bagi calon wakil rakyat akan bisa terlunasi atau balik modal bila
dirinya terpilih, meskipun secara itung-itungan tak semua modalnya bisa
balik penuh apalagi untung. Tentunya gaji yang diperoleh itu akan diputar
lagi untuk kampanye wakil rakyat periode yang akan datang.
Seiring
perjalanan hari, biaya hidup dan kebutuhan untuk pemilu yang akan datang
melonjak. Bila hanya mengandalkan gaji yang diterima, amunisi untuk pemilu
yang akan datang pastinya kurang. Untuk mensiasati yang demikian maka
banyak anggota DPR melakukan tindakan melanggar hukum yakni korupsi.
Korupsi yang dilakukan seperti menjadi makelar anggaran, makelar kasus,
menyalahgunakan anggaran, dan minta THR kepada mitra kerja komisi.
Semua wakil
rakyat akan berlomba-lomba menggunakan cara agar uang yang dikeluarkan saat
kampanye bisa balik modal dan bisa mengumpulkan dana ekstra untuk
kepentingan pemilu yang akan datang. Masalahnya bila mereka kejeblos atau
kasusnya terungkap, mereka tak hanya ditangkap oleh KPK namun harkat dan
martabatnya jatuh dan keinginan menjadi orang yang terhormat akan musnah.
Dan hal yang demikian banyak yang dialami oleh anggota DPR. Satu persatu
mereka mulai dicokok oleh KPK.
Orang yang
terpilih menjadi wakil rakyat mungkin masih mending daripada yang tidak.
Orang yang tidak terpilih pastinya akan lebih jauh menderita sebab uang
yang hilang tak mungkin bisa kembali lagi, darimana bisa membalikan modal
bila tidak ada sumber yang bisa memberinya uang. Dengan demikian mereka
bisa jatuh miskin, tanah dan atau rumah yang digadaikan kemungkinan akan
disita oleh bank sebab mereka tidak bisa menebus kembali. Dalam kondisi
yang demikian maka akan banyak calon wakil rakyat yang mengalami gangguan
jiwa.
Mengapa biaya
politik demikian besarnya? Pastinya biaya itu digunakan untuk melakukan
sosialisasi diri baik lewat pertemuan massa; memasang baliho, spanduk,
sticker, kaos, bendera, memasang iklan di televisi, koran, dan radio;
mengaji tim sukses; konsumsi, dan lain sebagainya.
Bila biaya itu
dikeluarkan hanya untuk kepentingan di atas maka biaya itu tidak terlalu
tinggi. Membuat biaya membumbung tinggi sebab banyak calon wakil rakyat
menganggarkan pembiayaan untuk money politic. Dan di lapangan banyak bahkan
bisa dibilang semua calon wakil rakyat melakukan yang demikian. Money
politic itu dikeluarkan tidak hanya saat menjelang fajar, bahkan saat malam
sebelum pemilihan sudah ada yang menyebar, namun juga untuk dalih membantu
pembiayaan pembangunan masjid, jalan, irigasi. Tak hanya itu, calon wakil
rakyat juga sudah mempersiapkan money politic untuk menyuap oknum-oknum
penyelenggara pemilu dan aparat hukum untuk menjaga atau melipatgandakan
suara yang diperolehnya. Hal demikian bukan omong kosong sebab biasanya
selepas pemilu ada gugatan soal suara di MK.
Proses tidak
sehatnya proses pemilu di Indonesia bukan hanya disebabkan satu orang yakni
calon wakil rakyat yang menyuap pemilih dan oknum pelaksana pemilu namun
juga diakibatkan mental rakyat dan oknum pelaksana pemilu yang mau disuap.
Rakyat sekarang memilih orang bukan berdasarkan program atau idealismenya
namun sejauh mana orang itu mampu memberi ‘kesejahteraan’ kepada mereka.
Sikap matre kepada calon wakil rakyat terutama calon wakil rakyat DPR ini
sekarang sudah demikian vulgarnya, mereka bahkan meminta-minta dengan
mengajukan proposal alasan kemiskinan, biaya sekolah, dan mendirikan tempat
usaha.
Jadi proses
mahalnya biaya politik bukan disebabkan oleh satu pihak namun oleh banyak
pihak, ya dari calon, pemilihan, dan oknum penyelenggara pemilu dan aparat
hukumnya. Jadi demokrasi yang tidak sehat ini dibangun secara gotong royong.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar