NELSON Mandela membuat Afrika
berduka. Dunia juga berduka. Hampir 100 tokoh dan pemimpin negara hadir
saat tokoh Afrika Selatan
itu dilepas ke peristirahatan terakhir. Bahkan, pemimpin negara yang
bermusuhan pun, seperti Amerika Serikat dan Kuba, sejenak melupakan
perbedaan politik mereka. Inilah warisan Mandela: mengajarkan dan
menjunjung nilai-nilai kemanusiaan, mengalahkan syahwat politik dan
kekuasaan. Begitulah layaknya figur seorang pemimpin.
Namun, terkadang seorang pemimpin diukur
dari kemampuan berbicara atau menuangkan ide-idenya. Kemampuan itu
terkadang dianggap sebagai ciri-ciri hakiki demokrasi. Di Inggris, sejak
abad ke-19, seorang pemimpin haruslah orator ulung. Perdana Menteri (PM)
Inggris William Gladstone punya ”sihir” kuat saat berpidato. Ia memimpin
kabinet sampai empat kali, yaitu 1868-1874, 1880-1885, 1886
(Februari-Juli), dan 1892-1894.
Di Perancis, Georges Clemenceau menjadi
PM dua periode, yakni pada 1906-1909 dan 1917-1920. Clemenceau yang
berprofesi wartawan itu punya garis politik radikal. Filsuf dan sejarawan
Thomas Carlyle (1795-1881) bilang, tidak seorang Inggris pun akan dapat
menjadi seorang pemimpin sampai ia membuktikan dirinya mempunyai kemampuan
berbicara.
Para politisi berkeyakinan kemahiran
berpidato menjadi jimat untuk menapaki jenjang karier mereka. Sampai-sampai
sekelompok mahasiswa sosialis di Ruskin College, Oxford, menggelar aksi
mogok pada Maret 1909 sebagai bentuk protes terhadap kebijakan kampus.
Dalam kurikulum, sosiologi dan ilmu logika dianggap lebih penting ketimbang
berpidato. Padahal, sejak kuliah mereka sudah mengincar panggung politik.
Terbayang Soekarno atau HOS Tjokroaminoto, sedikit contoh ”singa podium”
dari negeri ini. Pada masa revolusi, massa terbuai dengan kata-kata
agitatif dan provokatif. Figur menjadi mesin perubahan politik.
Politik hari ini juga panggung ”figur”.
Politik menjadi etalase besar membangun pencitraan. Namun, kata-kata
berapi-api dan bombastis mungkin bukan lagi zamannya ketika revolusi
berakhir dan demokrasi tersemai. Rakyat akan terpikat dengan kata-kata
politisi yang berbahasa baik, kata-kata yang berbunga-bunga, berintonasi
sedemikian teratur, piawai mengontrol emosi, dan mungkin diselingi kelakar.
Ramai-ramai politisi mencitrakan diri
sebagai figur baik, ideal, penyayang keluarga, humanis, populis, dan
religius. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono jika berbicara selalu terukur
dan terkontrol. Prabowo Subianto, Aburizal Bakrie, Hatta Rajasa, dan Gita
Wirjawan juga muncul di mana-mana. Pemimpin yang menjaga citra, banyak
bergerilya di tataran wacana.
Sebaliknya, pemimpin yang bekerja di
tengah-tengah rakyat tapi jauh dari pencitraan justru kurang diapresiasi.
Demokrasi kita terlalu sesak pencitraan. Memang, kata Harold Lasswell
(1902-1978), kemampuan seorang pemimpin politik adalah meyakinkan (persuasion)
dan memanipulasi (manipulation).
Tak heran, banyak politisi lebih senang memermak diri, ber-make
up tebal, bertopeng.
Soal isi pidatonya, siapa yang mau hirau. Perang gagasan tidak lagi
tersemai konstruktif karena transaksional lebih ”bermakna” dan ”bergizi”.
Maka, hasilnya politisi busuk dan korup yang sekarang berurusan dengan
Komisi Pemberantasan Korupsi.
Padahal, suksesi tak lama lagi. Pemilu
2014 menjadi pertanda berakhirnya euforia reformasi jika setiap perubahan
politik terpola dalam dua dekade. Tahun 2019 benar-benar menjadi babak baru
bangsa ini. Maka, Pemilu 2014 semestinya menghasilkan pemimpin yang bisa
membangun babak baru itu. Tak bisa dicegah ketika gaya pemimpin yang lebih
orisinil justru menjadi magnet baru. Figur bergaya cuek menjadi antitesa
bagi figur yang suka pencitraan.
Prabowo kerap dianggap antitesa dari
kepemimpinan SBY. Prabowo dipersepsikan tegas dan keras, yang dipercaya pas
untuk menjawab kondisi sekarang ketika banyak konflik komunal atau
intoleransi. Dia juga dianggap bisa mengangkat bangsa di depan
bangsa-bangsa lain, seperti dalam kasus-kasus sengketa dengan negara
tetangga atau persoalan TKI.
Namun, Joko Widodo (Jokowi) menumbangkan
semua analisis politik. Popularitas dan elektabilitas Jokowi selalu
meroket, mengalahkan tokoh-tokoh nasional yang lama malang melintang di
politik. Banyak kawan terperanjat, di setiap survei, mengapa Jokowi selalu
teratas? Mungkin saja ia adalah ”pesan sejarah” dan sintesa dari gaya
pencitraan. Pencitraan dalam dirinya adalah prestasi kerja yang
dilakukannya dalam senyap sejak menjadi wali kota di Solo.
Dia tak peduli
pencitraan, tetap blusukan,
dan ora
mikir untuk bursa
calon presiden.
Banyak tokoh berhasrat ingin jadi
presiden. Ada Wiranto, Endriartono Sutarto, Marzuki Alie, Irman Gusman, Pramono
Edhie Wibowo, Dahlan Iskan, Anies Baswedan, Jusuf Kalla, Mahfud MD, Yusril
Ihza Mahendra, Rhoma Irama, Suryadharma Ali, mungkin Megawati. Namun,
jangan lupakan tokoh daerah yang mungkin bisa dikader. Misalnya Tri
Rismaharini, Wali Kota Surabaya yang memilih bekerja daripada berwacana
untuk pencitraan.
Dalam suksesi 2014, peran parpol sangat
strategis. Tetap memaksakan kader atau menemukan tokoh terbaik di luar
parpol? Figur pencitraan sudah tamat. Tafsir baru figur adalah mereka yang
bekerja walau dalam sepi. Kita tak ingin politik terus-menerus gelap, yang
kata Peter Merkl (kelahiran 1932) hanya akan menjadi rebutan kuasa, takhta,
dan harta demi kepentingan sendiri (a
selfish grab for power, glory, and riches). Tak sulit bagi parpol
mendengarkan suara rakyat mengenai figur pemimpin masa depan mereka. Parpol
yang menutup telinga, mata, pikiran, dan hati, sesungguhnya mereka adalah
pengkhianat rakyat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar