”Indonesia perlu merumuskan
teologi yang dapat menegosiasikan antara Islam dan negara secara tepat dan
bijaksana, bukan dikotomik sebagai sebuah negara bukan sekuler, melainkan
bukan pula negara agama.”
(Abdulahi Ahmed An Naim, 2009)
TAHUN
2013 hampir kita tinggalkan. Masa depan bangsa ini tak bisa dibiarkan dalam
karut-marut karena persoalan keagamaan. Intoleransi dan kekerasan atas nama
agama harus dicegah.
Salah satu umat yang diharapkan
adalah umat Islam. Penganut Islam Indonesia yang mencapai 88,7 persen
merupakan potensi yang sangat besar dalam peran yang dapat dilakukan,
khususnya dalam perdamaian dan penyebaran Islam yang berkultur Indonesia,
sebuah gagasan tentang Islam yang ramah, toleran, dan tak gampang marah
sebagai Islam pascanegara-bangsa.
Itu sebabnya, Islam seperti kita
pahami sudah seharusnya dihadirkan untuk umat manusia, bukan agama untuk
Tuhan. Dalam banyak literatur dikemukakan bahwa Tuhan tidak perlu dibela,
apalagi disodori dengan segala macam pembelaan yang tak jarang menohok umat
Islam sendiri karena cara-cara dan perilaku yang mendistorsi, bertentangan
dengan misi profetik agama-agama.
Islam harus dihadirkan untuk
menjawab problem kemanusiaan yang riil. Problem kemanusiaan adalah musuh
utama misi agama-agama. Islam jangan sampai dikonstruksikan sebagai agama
”preman berjubah” yang sangat mengerikan dalam tindakan di masyarakat.
Islam harus dihadirkan dengan santun, ramah, dan kasih sayang sebab Islam
memang memiliki makna keselamatan dan keramahan, bukan konflik kekerasan.
Tatkala berhadapan dengan rezim
yang zalim, otoriter, dan tak adil, para nabi menyebarkan ajaran tentang
kesalehan sosial sekaligus kesalehan struktural. Nabi melawan kemungkaran
dengan segala metode agar ketidakadilan lenyap di muka bumi. Otoritarianisme
dilawan dengan toleransi dan tabayun (islah) mencari kebaikan
dengan konsultasi, bukan menang sendiri. Dalam kisah, para nabi selalu
bertentangan dengan penguasa yang zalim, otoriter, dan tidak adil.
Di situlah peran Islam Indonesia
saat ini diharapkan dengan sangat nyata. Kehadiran Islam dengan misi
profetik harus dihadirkan sebagai bagian dari perlawanan atas perilaku
tidak manusiawi. Kita berharap bahwa keislaman dapat menyapa mereka
yang mustadafin, secara ekonomi, politik, kultur, dan ilmu pengetahuan
sehingga keislaman kita sekurang-kurangnya akan menuju pada keislaman yang
rahmatan lil alamin.
Kita harus yakin akan janji
Tuhan bahwa yang akan menjadi pertimbangan umat beragama (termasuk umat
Islam) adalah amal saleh yang kita kerjakan, sebagai amal yang akan
menyelamatkan, termasuk amal jariah kita. Segala kejahatan akan menuntun
kita sebagai umat beragama pada jurang kenistaan.
Apakah kita akan masuk surga
dengan amal soleh yang kita kerjakan, itu adalah otoritas Tuhan atas
pengadilan yang nanti dilakukan saat Hari Kebangkitan. Karena itu, doktrin fastabiqul
khairat sejatinya mengajarkan kepada umat Islam hanya untuk
berlomba-lomba dalam kebajikan, bukan dalam kejahatan.
Berlomba-lomba dalam
kebajikan tentu saja dengan cara yang bajik pula, santun, ramah dan tidak
melakukan pengadilan atas pihak lain. Perilaku kebajikan akan terdistorsi
ketika dikerjakan dengan cara-cara kejahatan.
Tidak dikotomis
Kita tahu bahwa di negeri ini
orang menjalankan perintah Islam tidak ada larangan sekalipun negara ini
tidak berdasarkan Islam. Tak perlu mendikotomikan secara tajam antara
negara Islam dan negara sekuler sebab ini keliru dan tak perlu. Dalam kasus
Islam Indonesia, Islam sesungguhnya tidak dipinggirkan dalam percaturan
politik, ekonomi, atau budaya. Kita dapat saksikan betapa Islam mendapat
ruang dalam politik (kebolehan partai Islam berdiri tak pernah ditolak/
dilarang oleh rezim politik) yang tidak berdasarkan Islam.
Demikian pula dengan percaturan
ekonomi nasional, berdirinya usaha ekonomi perbankan bahkan telah secara
resmi dengan nama bank syariah (Syariah Mandiri, Syariah BNI, Shar-E PT Pos
Indonesia, dan tentu saja Bank Muamalat Indonesia). Kita juga mudah
mendapatkan Islam Indonesia penuh dengan kultur keislaman, misalnya
penyelenggaraan Festival Kesenian Islam, Musabaqah Tilawatil Quran,
didirikannya Museum Al Quran, dan peringatan hari besar Islam, merupakan
bukti bahwa kultur Islam telah mewarnai Indonesia yang berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945.
Konsep sekularisasi di Indonesia
adalah gagasan perlunya pemisahan kelembagaan Islam dari negara dengan
tetap mengatur peran politik Islam dalam negara sehingga umat Islam mampu
memberikan sumbangan maksimal dalam percaturan politik, ekonomi, dan budaya
dengan mengadopsi prinsip syariah, bukan formalisasi syariah untuk
pembuatan kebijakan publik di Indonesia.
Mengikuti Abdullahi Ahmed An
Naim, sebenarnya negara Islam bukanlah gagasan yang tepat untuk Indonesia
sebab sering kali prinsip negara Islam hanyalah representasi elite politik,
bukan representasi jemaah. Apalagi jelas bahwa di Indonesia tak dengan
tegas ditolak prinsip etika Islam masuk dalam konstitusi dan bagian dari
perimbangan serta pertimbangan dalam pengambilan kebijakan publik.
Karena itu, dengan tegas dapat
dikatakan di Indonesia, untuk merespons perubahan besar karena globalisasi
tidak dengan menghadirkan formalisasi syariah (negara Islam) sebagai
alternatif, tetapi menghadirkan Islam dalam domain etika Islam yang
universal (An Naim, 2007).
Apakah kita akan mengikuti saran
An Naim dalam bernegara: melakukan negosiasi antara syariah dan negara,
yakni antara doktrin, hukum Islam, dan prinsip negara modern yang dianut
sistem demokrasi; ataukah kita umat Islam akan paksakan agar Indonesia
berganti negara menjadi negara Islam dimulai dengan perda-perda syariah
yang telah terjadi di beberapa provinsi di Indonesia? Mari kita renungkan
kembali dengan cermat!
Yang lebih penting dilakukan
agaknya merumuskan bagaimana teologi Islam untuk sebuah negara sekuler atau
negara bukan berdasarkan agama tertentu sebab jika kita berkutat pada dogma
teologi, kita tak akan mendapat secara jelas tentang posisi negara dalam
Islam sebagai bentuk formalisasi. Kita harus berani merumuskan
karakteristik Islam yang khas Indonesia sebagai Islam pascanegara-bangsa:
toleran, ramah, bijak memperhatikan demokrasi di ruang publik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar