Sabtu, 14 Desember 2013

Tiarap Koruptor karena Samad

Tiarap Koruptor karena Samad
Prija Djatmika  ;   Doktor Hukum Pidana dan Kriminologi, Dosen FH UB Malang
JAWA POS,  14 Desember 2013
  


''DI JAWA Timur itu perampoknya kelas wahid. Cara mereka merampok sangat canggih. Pejabat di Jatim juga sudah sangat berpengalaman. Sebelum beraksi, si koruptor selalu memikirkan cara terbaik untuk tidak meninggalkan jejak,'' ujar Abraham Samad, ketua KPK, menjawab pertanyaan dalam refleksi akhir tahun Pekan Politik Kebangsaan di Jakarta (Jawa Pos, 13/12).

Samad mengibaratkan pejabat koruptor kelas wahid itu seperti seorang pembunuh berpengalaman. ''Dia sudah pakai sarung tangan. Jadi, tidak tertinggal lagi jejaknya,'' tegasnya. Meski demikian, lanjut Samad, KPK tetap menyimpan keyakinan bahwa suatu saat akan menemukan celah untuk menyeret pejabat tersebut.

Namun, bisakah? Rasanya pernyataan Samad itu hanya akan menyulitkan petugas KPK sendiri. Gara-gara ''warning'' Samad yang kebablasan tersebut, barisan ''perampok kelas wahid'' di Jatim itu sekarang berbenah diri dan tiarap (tidak yakin mereka akan tobat).

Kejahatan korupsi, selain kejahatan yang luar biasa (extra-ordinary crime), dalam konteks kriminologi dikenal sebagai kejahatan elite atau white collar crime (kejahatan kerah putih). 

Ciri-ciri lain kejahatan elite tersebut adalah dilakukan secara sistematis, berjangka waktu lama, berkaitan dengan profesi atau kekuasaan, serta pelaku dan korbannya banyak (masal). Dalam kejahatan penggelapan pajak, misalnya, pelakunya selalu pegawai pajak atau pemilik perusahaan. Didukung keahlian akuntannya, mereka memainkan angka-angka untuk menggelapkan kewajiban pajaknya. 

Tanpa peringatan Samad tersebut saja, korupsi para pejabat publik (di Jatim atau di mana pun) sudah sulit dibuktikan. Apalagi dengan adanya ''warning'' Samad seperti itu. Lihatlah, berapa lama waktu yang sudah dihabiskan untuk mengusut kasus Bank Century. Setelah menghabiskan waktu bertahun-tahun, hingga hari ini hanya dua yang sudah dinyatakan sebagai tersangka. Itu pun hanya seorang tersangka yang bisa ditahan karena seorang tersangka lainnya terserang stroke parah.

Tidak hanya dengan ''keyakinan'' seperti kata Samad, penyidik KPK harus mengumpulkan minimal dua alat bukti yang kuat sebelum menjadikan seseorang sebagai tersangka korupsi. Setiap perkara yang disidik KPK pun harus terus berlanjut ke pengadilan tipikor sampai ada putusan yang tetap dan pasti (final and binding, inkracht van gewijsde). Demikian pula kesulitan-kesulitan yang dialami dalam pengusutan kasus Hambalang, kasus Banten, serta kasus-kasus lain yang sekarang masih di tingkat penyelidikan KPK.

Dalam perspektif ini, semestinya Samad tidak perlu banyak omong yang akan menyulitkan petugas KPK dan menguntungkan para koruptor kelas wahid di Jawa Timur. Terus lakukan penyadapan atau model pengintaian lainnya hingga kasus korupsi yang dilakukan pejabat di Jatim itu terungkap dan pelakunya tertangkap.

Kita ingat, terungkapnya kasus korupsi bercabang-cabang oleh M. Nazaruddin dan komplotannya berasal dari penyadapan terhadap orang-orang di Jatim. Yakni, ketika ramainya kasus pembahasan tol tengah Kota Surabaya, perusahaan Nazaruddin ikut getol mendapatkan megaproyek tersebut. Ternyata, dari penyadapan, terkuak kasus besar korupsi Nazaruddin saat masih menjadi bendahara umum Partai Demokrat itu.

Selain itu, pengungkapan ''jubah kelam'' Akil Mochtar layak dicontoh. Tidak ada yang bocor ke pers, namun tiba-tiba rakyat dikagetkan oleh tertangkap tangannya si mantan ketua MK tersebut. Itu bukan hanya tangkapan kelas kakap, tetapi kelas paus. Sebab, MK adalah lembaga yang sangat penting dalam menjaga kemurnian pelaksanaan konstitusi di negeri ini, namun ternyata ketuanya ditangkap sebagai penjahat jual beli perkara.

Menurut kabar tepercaya, Hambit Bintih, bupati Gunung Mas, Kalteng, yang tertangkap basah menyuap Akil Mochtar itu, disadap KPK sejak 26 September 2013. Semua pembicaraannya dengan orang-orang dekat Akil sudah terekam. Termasuk, pembicaraan orang dekat Akil yang bersikukuh pada harga Rp 3 miliar untuk memenangkan Hambit sebagai bupati periode kedua dan tidak boleh ditawar. Informasi transaksi penyuapan yang akan dilaksanakan pada 2 Oktober 2013 malam di rumah dinas Akil Mochtar juga diperoleh dari penyadapan itu dan ternyata memang benar. Pengungkapan KPK merembet ke kasus daerah lain seperti Lebak dan Palembang. Hebat, bukan?

Mengapa praktik serupa tidak diterapkan KPK untuk pejabat publik di Jatim yang sudah diketahui sebagai perampok kelas wahid? Mungkin sudah dilakukan penyadapan-penyadapan oleh KPK. Namun, setelah warning Samad, sangat masuk akal bila bukti-bukti korupsi mereka yang bisa dibakar ya akan dibakar. Data-data di komputer akan dihapus atau direkayasa untuk menutupi kejahatan mereka, nomor telepon diganti semua, serta perilaku penyelamatan diri lainnya. 

Padahal, rakyat menunggu temuan perkara korupsi kelas paus untuk pejabat korup. Minimal saya sebagai warga Jatim.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar