''DI JAWA Timur itu perampoknya kelas wahid. Cara mereka
merampok sangat canggih. Pejabat di Jatim juga sudah sangat berpengalaman.
Sebelum beraksi, si koruptor selalu memikirkan cara terbaik untuk tidak
meninggalkan jejak,'' ujar
Abraham Samad, ketua KPK, menjawab pertanyaan dalam refleksi akhir tahun
Pekan Politik Kebangsaan di Jakarta (Jawa Pos, 13/12).
Samad
mengibaratkan pejabat koruptor kelas wahid itu seperti seorang pembunuh
berpengalaman. ''Dia sudah pakai
sarung tangan. Jadi, tidak tertinggal lagi jejaknya,'' tegasnya. Meski
demikian, lanjut Samad, KPK tetap menyimpan keyakinan bahwa suatu saat akan
menemukan celah untuk menyeret pejabat tersebut.
Namun, bisakah?
Rasanya pernyataan Samad itu hanya akan menyulitkan petugas KPK sendiri.
Gara-gara ''warning'' Samad yang
kebablasan tersebut, barisan ''perampok
kelas wahid'' di Jatim itu sekarang berbenah diri dan tiarap (tidak
yakin mereka akan tobat).
Kejahatan
korupsi, selain kejahatan yang luar biasa (extra-ordinary crime), dalam konteks kriminologi dikenal
sebagai kejahatan elite atau white
collar crime (kejahatan kerah putih).
Ciri-ciri lain
kejahatan elite tersebut adalah dilakukan secara sistematis, berjangka
waktu lama, berkaitan dengan profesi atau kekuasaan, serta pelaku dan
korbannya banyak (masal). Dalam kejahatan penggelapan pajak, misalnya,
pelakunya selalu pegawai pajak atau pemilik perusahaan. Didukung keahlian
akuntannya, mereka memainkan angka-angka untuk menggelapkan kewajiban
pajaknya.
Tanpa
peringatan Samad tersebut saja, korupsi para pejabat publik (di Jatim atau
di mana pun) sudah sulit dibuktikan. Apalagi dengan adanya ''warning'' Samad seperti itu.
Lihatlah, berapa lama waktu yang sudah dihabiskan untuk mengusut kasus Bank
Century. Setelah menghabiskan waktu bertahun-tahun, hingga hari ini hanya
dua yang sudah dinyatakan sebagai tersangka. Itu pun hanya seorang
tersangka yang bisa ditahan karena seorang tersangka lainnya terserang
stroke parah.
Tidak hanya
dengan ''keyakinan'' seperti kata Samad, penyidik KPK harus mengumpulkan
minimal dua alat bukti yang kuat sebelum menjadikan seseorang sebagai
tersangka korupsi. Setiap perkara yang disidik KPK pun harus terus
berlanjut ke pengadilan tipikor sampai ada putusan yang tetap dan pasti (final and binding, inkracht van gewijsde).
Demikian pula kesulitan-kesulitan yang dialami dalam pengusutan kasus
Hambalang, kasus Banten, serta kasus-kasus lain yang sekarang masih di
tingkat penyelidikan KPK.
Dalam
perspektif ini, semestinya Samad tidak perlu banyak omong yang akan
menyulitkan petugas KPK dan menguntungkan para koruptor kelas wahid di Jawa
Timur. Terus lakukan penyadapan atau model pengintaian lainnya hingga kasus
korupsi yang dilakukan pejabat di Jatim itu terungkap dan pelakunya
tertangkap.
Kita ingat,
terungkapnya kasus korupsi bercabang-cabang oleh M. Nazaruddin dan
komplotannya berasal dari penyadapan terhadap orang-orang di Jatim. Yakni,
ketika ramainya kasus pembahasan tol tengah Kota Surabaya, perusahaan
Nazaruddin ikut getol mendapatkan megaproyek tersebut. Ternyata, dari
penyadapan, terkuak kasus besar korupsi Nazaruddin saat masih menjadi
bendahara umum Partai Demokrat itu.
Selain itu,
pengungkapan ''jubah kelam'' Akil Mochtar layak dicontoh. Tidak ada yang
bocor ke pers, namun tiba-tiba rakyat dikagetkan oleh tertangkap tangannya
si mantan ketua MK tersebut. Itu bukan hanya tangkapan kelas kakap, tetapi
kelas paus. Sebab, MK adalah lembaga yang sangat penting dalam menjaga
kemurnian pelaksanaan konstitusi di negeri ini, namun ternyata ketuanya
ditangkap sebagai penjahat jual beli perkara.
Menurut kabar
tepercaya, Hambit Bintih, bupati Gunung Mas, Kalteng, yang tertangkap basah
menyuap Akil Mochtar itu, disadap KPK sejak 26 September 2013. Semua
pembicaraannya dengan orang-orang dekat Akil sudah terekam. Termasuk,
pembicaraan orang dekat Akil yang bersikukuh pada harga Rp 3 miliar untuk
memenangkan Hambit sebagai bupati periode kedua dan tidak boleh ditawar.
Informasi transaksi penyuapan yang akan dilaksanakan pada 2 Oktober 2013
malam di rumah dinas Akil Mochtar juga diperoleh dari penyadapan itu dan
ternyata memang benar. Pengungkapan KPK merembet ke kasus daerah lain seperti
Lebak dan Palembang. Hebat, bukan?
Mengapa praktik
serupa tidak diterapkan KPK untuk pejabat publik di Jatim yang sudah
diketahui sebagai perampok kelas wahid? Mungkin sudah dilakukan
penyadapan-penyadapan oleh KPK. Namun, setelah warning Samad, sangat masuk
akal bila bukti-bukti korupsi mereka yang bisa dibakar ya akan dibakar.
Data-data di komputer akan dihapus atau direkayasa untuk menutupi kejahatan
mereka, nomor telepon diganti semua, serta perilaku penyelamatan diri
lainnya.
Padahal, rakyat
menunggu temuan perkara korupsi kelas paus untuk pejabat korup. Minimal
saya sebagai warga Jatim. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar