U P E T I
Syafiq Basri Assegaff ; Konsultan Komunikasi, Salah seorang Ketua BPP Perhumas
|
INILAH.COM,
22 November 2012
Upeti. Tiba-tiba kata itu
jadi mengingatkan kita kepada dua peristiwa yang terjadi belakangan ini. Pertama, cerita Menteri BUMN
Dahlan Iskan tentang sinyalemen adanya upeti dari direksi BUMN tertentu
kepada anggota DPR.
Kedua, adalah pernyataan
Menteri ESDM Jero Wacik mengenai upeti dari Humas BP Migas kepada wartawan.
Cerita Dahlan dan ribut-ribut
soal upeti, atau 'pemerasan', oleh anggota DPR itu, hingga hari ini masih
terus ramai diperbincangkan, antara lain karena Dahlan diharapkan memberikan
bukti tuduhannya itu.
Sesungguhnya, korupsi di proyek
Hambalang atau lainnya bisa juga disamakan dengan itu. Atas jasa menggolkan
proyek tertentu, seseorang atau beberapa orang anggota DPR meminta upeti dari
yang mendapat proyek atau kontraktor. Pada prakteknya kita melihat upeti
bahkan kadang diberikan di depan, bahkan jauh sebelum proyek digarap.
Upeti. U-p-e-t-i. Itu sebuah
harta yang biasanya diberikan suatu pihak sebagai tanda ketundukan dan
kesetiaan, atau hormat kepada pihak lainnya. Sejarah mencatat bahwa dahulu
upeti biasanya diminta oleh negara yang kuat dari negara yang lebih lemah,
atau wilayah yang berhasil ditaklukkan.
Sering pula upeti diberikan
warga sebuah keraton kepada sang penguasa. Boleh raja atau ratu, sang
penguasa merasa bahwa semua hamba di wilayahnya adalah 'budak' yang
memerlukan perlindungannya.
Kalau tidak memberi upeti,
bupati atau kepala desa di kerajaan dianggap tidak loyal, sehingga bisa
dilengserkan sewaktu-waktu, sehingga kekuatannya bisa dipelorotkan seperti
celana kolor, dan dia jadi telanjang tidak punya kekuatan atau suara lagi.
Banyak istilah lain
menggantikan upeti sekarang ini. Bisa berupa 'success fee', komisi, atau lainnya. Yang jelas intinya sama
bermakna sebagai tindakan korupsi.
Kita belum tahu apakah memang
benar ada upeti yang diberikan oleh sementara direksi BUMN terhadap anggota
DPR, sebagaimana dilaporkan Menteri BUMN Dahlan Iskan kepada Badan Kehormatan
DPR.
Tetapi, terlepas dari kasus
hukum dan pembuktian-pembuktian terhadap yang disampaikan Dahlan Iskan itu,
sesungguhnya kita juga berhadapan dengan etika. Etika bagi semua orang, dan
berlaku baik bagi anggota DPR, direksi BUMN, bahkan menteri sendiri sekali
pun.
Adapun peristiwa yang kedua,
menyangkut keterangan Jero Wacik. Menteri ESDM itu dianggap melecehkan
wartawan yang seolah-olah bisa diatur dengan pemberian 'upeti'.
Dalam sambutannya di acara
tatap muka dengan seluruh pekerja dan tenaga penunjang sektor Migas di
Jakarta, Senin (19/11) lalu, Jero menegur Humas BP Migas yang dianggapnya
tidak bisa mendekati wartawan sehingga berita-berita tentang BP Migas yang
beredar di masyarakat menjadi buruk.
Jero meminta Humas BP Migas
untuk 'mengendalikan' pers. "...ajak makan siang wartawan, kumpulkan
sepuluh orang. Kalau mau, kasih hadiah. Masa' segede BP Migas nggak pernah
mau kasih hadiah," kata Jero Wacik saat itu.
Karena dinilai melecehkan
profesi wartawan, Jero Wacik buru-buru minta maaf. "Tidak ada niat saya
melecehkan wartawan. Tapi kalau ada salah tangkap, salah menerjemahkan, saya
minta maaf," ujar Jero di kantornya, Rabu lalu.
Jero mengakui pernyataannya
yang menyebut seharusnya Humas BP Migas bisa lebih merangkul wartawan,
bertujuan agar kinerja lembaga itu -- yang pemahaman permasalahan di dalamnya
tidak semudah sektor lain -- kerap diberitakan secara baik sehingga tidak
dibubarkan seperti saat ini.
"Sektor migas ini kan beda
dengan kebudayaan dan pariwisata. Saya saja yang insinyur kadang
bingung," tambah mantan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata itu.
Kita memahami bahwa pernyataan
Jero bukan tanpa dasar. Tak dapat dipungkiri bahwa di Indonesia ini masih ada
wartawan yang meminta upeti kepada nara sumber -- tapi itu biasanya datang
dari wartawan yang tidak profesional atau media yang kurang berbobot dan
tidak menjunjung etika jurnalistik.
Tetapi Jero harusnya paham.
Jangankan meminta, bahkan menerima pemberian upeti dari sumber berita pun
sudah menjadi sebuah pelanggaran kode etik jurnalistik.
Bagi tenaga Humas atau Public
Relations (PR) sendiri, apakah dia bekerja di BP Migas atau lainnya,
seharusnya menghargai etika wartawan itu. Sebab penghormatan kepada etika
orang lain, menunjukkan bahwa kita sendiri juga punya dan menjunjung etika.
Dan penghormatan itu ,
khususnya dalam hubungan antara tenaga PR dan wartawan, adalah tidak
menawarkan atau memberikan upeti, dalam bentuk apapun.
"Upeti" -- yang
merupakan kata serapan dari bahasa Sanskerta ‘utpatti’ -- dikuatirkan
menjurus menjadi suap dan bisa menjebak - bahkan ketika dilakukan pabrik obat
kepada seorang dokter, umpamanya.
Itu sebabnya semua profesi
terhormat (termasuk dokter, pengacara, public
relations, dan wartawan profesional di dunia) anti pada segala bentuk
upeti. Lebih lagi, bagi jurnalis, sikap mereka sangat jelas menolak keras
bentuk upeti dan berusaha mengungkap siapa pun pemberi atau menerima suap,
apalagi bila itu dilakukan oleh pejabat publik , seperti antara direksi BUMN
dan wakil rakyat.
Sebaliknya, tenaga PR yang
profesional juga harus menjunjung 'PR Ethics', yang diikuti semua organisasi
atau asosiasi PR di dunia, termasuk Persatuan Humas (Perhumas) Indonesia.
Tenaga PR profesional biasanya
tahu, dan tidak akan menjalankan kegiatannya berdasarkan instink semata.
Mereka lazimnya melakukan riset mengenai situasi yang ada, dan harus tahu apa
yang bisa ‘dijual’-nya sebagai berita kepada media.
Mereka mesti punya tujuan,
untuk menyediakan materi (rilis berita, atau apapun) bagi wartawan
sebaik-baikya, sehingga ketika wartawan membaca atau melihatnya, mereka akan
memberitakan ‘pesan-pesan’ sesuai dengan yang diharapkan sang praktisi PR.
Tenaga PR seharusnya tahu
mengenai apa yang 'laku' untuk dijadikan berita. Mereka misalnya dapat
mengemas segala pesannya secara baik, dan mencari anasir yang mengandung ‘news worthiness’ (nilai berita),
yakni segala parameter yang menjadikan wartawan punya alasan kuat untuk
mengangkat rilis tadi menjadi sebuah berita – karena yang dituju adalah
publik luas, pembaca, pendengar atau pemirsa.
Ia mesti tahu bahwa teman
wartawannya mempublikasikan rilis itu bukan karena upeti yang diberikan sang
tenaga PR, melainkan karena memang peristiwa itu layak diberitakan. Karena
wartawan yang profesional, termasuk di Indonesia, sangat menjunjung etika,
dan peduli pada kepentingan masyarakat luas.
Soal yang dikemukakan Jero
Wacik itu pernah terjadi dengan Disney
World di AS. Untuk memperingati ulang tahunnya yang ke-15, pada tahun
1986, pemilik brand Mickey Mouse
dan lain-lainnya itu mengadakan pesta besar-besaran selama tiga hari, dan
mengundang sekitar 10 ribu wartawan.
Di bawah tanggungan Disney,
hotel, tiket dan biro-biro perjalanan semua diatur, dengan anggaran mencapai
US$7,5 juta. Undangan diberi tiga pilihan: membayar sendiri semuanya,
membayar sebagian biaya sebesar US$150 perhari, atau membiarkan Disney dan
sponsornya menanggung semua biaya perjalanan, makan dan tempat tinggal.
Disney World mengatakan bahwa
semua tawarannya ‘tidak mengikat apa pun’ alias ‘no strings attached’, dan bahwa wartawan yang hadir di pesta
itu, ‘tidak diminta atau diharapkan’
menulis apa pun mengenai pesta itu.
Tak pelak, Disney pun mendapat
kritik. Harian The New York Times misalnya, menulis editorial yang mengatakan
bahwa jurnalis yang menerima tawaran 'tunggangan
bebas' alias upeti dari Disney itu menimbulkan kesan bahwa wartawan 'bisa dibeli'.
Walhasil, upeti dalam bentuk
apa pun memang harus diharamkan, persis sebagaimana kita melarang segala
bentuk korupsi, baik yang melibatkan wartawan, atau pun anggota DPR. Sebab
tidak ada 'budak' lagi di
Indonesia. Sebab akibat upeti itu, yang dirugikan adalah publik secara luas. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar