Sabtu, 24 November 2012

U P E T I


U P E T I
Syafiq Basri Assegaff ;  Konsultan Komunikasi, Salah seorang Ketua BPP Perhumas
INILAH.COM, 22 November 2012


Upeti. Tiba-tiba kata itu jadi mengingatkan kita kepada dua peristiwa yang terjadi belakangan ini. Pertama, cerita Menteri BUMN Dahlan Iskan tentang sinyalemen adanya upeti dari direksi BUMN tertentu kepada anggota DPR.
Kedua, adalah pernyataan Menteri ESDM Jero Wacik mengenai upeti dari Humas BP Migas kepada wartawan.

Cerita Dahlan dan ribut-ribut soal upeti, atau 'pemerasan', oleh anggota DPR itu, hingga hari ini masih terus ramai diperbincangkan, antara lain karena Dahlan diharapkan memberikan bukti tuduhannya itu.

Sesungguhnya, korupsi di proyek Hambalang atau lainnya bisa juga disamakan dengan itu. Atas jasa menggolkan proyek tertentu, seseorang atau beberapa orang anggota DPR meminta upeti dari yang mendapat proyek atau kontraktor. Pada prakteknya kita melihat upeti bahkan kadang diberikan di depan, bahkan jauh sebelum proyek digarap.

Upeti. U-p-e-t-i. Itu sebuah harta yang biasanya diberikan suatu pihak sebagai tanda ketundukan dan kesetiaan, atau hormat kepada pihak lainnya. Sejarah mencatat bahwa dahulu upeti biasanya diminta oleh negara yang kuat dari negara yang lebih lemah, atau wilayah yang berhasil ditaklukkan.

Sering pula upeti diberikan warga sebuah keraton kepada sang penguasa. Boleh raja atau ratu, sang penguasa merasa bahwa semua hamba di wilayahnya adalah 'budak' yang memerlukan perlindungannya.

Kalau tidak memberi upeti, bupati atau kepala desa di kerajaan dianggap tidak loyal, sehingga bisa dilengserkan sewaktu-waktu, sehingga kekuatannya bisa dipelorotkan seperti celana kolor, dan dia jadi telanjang tidak punya kekuatan atau suara lagi.

Banyak istilah lain menggantikan upeti sekarang ini. Bisa berupa 'success fee', komisi, atau lainnya. Yang jelas intinya sama bermakna sebagai tindakan korupsi.
Kita belum tahu apakah memang benar ada upeti yang diberikan oleh sementara direksi BUMN terhadap anggota DPR, sebagaimana dilaporkan Menteri BUMN Dahlan Iskan kepada Badan Kehormatan DPR.

Tetapi, terlepas dari kasus hukum dan pembuktian-pembuktian terhadap yang disampaikan Dahlan Iskan itu, sesungguhnya kita juga berhadapan dengan etika. Etika bagi semua orang, dan berlaku baik bagi anggota DPR, direksi BUMN, bahkan menteri sendiri sekali pun.

Adapun peristiwa yang kedua, menyangkut keterangan Jero Wacik. Menteri ESDM itu dianggap melecehkan wartawan yang seolah-olah bisa diatur dengan pemberian 'upeti'.

Dalam sambutannya di acara tatap muka dengan seluruh pekerja dan tenaga penunjang sektor Migas di Jakarta, Senin (19/11) lalu, Jero menegur Humas BP Migas yang dianggapnya tidak bisa mendekati wartawan sehingga berita-berita tentang BP Migas yang beredar di masyarakat menjadi buruk.

Jero meminta Humas BP Migas untuk 'mengendalikan' pers. "...ajak makan siang wartawan, kumpulkan sepuluh orang. Kalau mau, kasih hadiah. Masa' segede BP Migas nggak pernah mau kasih hadiah," kata Jero Wacik saat itu.

Karena dinilai melecehkan profesi wartawan, Jero Wacik buru-buru minta maaf. "Tidak ada niat saya melecehkan wartawan. Tapi kalau ada salah tangkap, salah menerjemahkan, saya minta maaf," ujar Jero di kantornya, Rabu lalu.

Jero mengakui pernyataannya yang menyebut seharusnya Humas BP Migas bisa lebih merangkul wartawan, bertujuan agar kinerja lembaga itu -- yang pemahaman permasalahan di dalamnya tidak semudah sektor lain -- kerap diberitakan secara baik sehingga tidak dibubarkan seperti saat ini.

"Sektor migas ini kan beda dengan kebudayaan dan pariwisata. Saya saja yang insinyur kadang bingung," tambah mantan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata itu.
Kita memahami bahwa pernyataan Jero bukan tanpa dasar. Tak dapat dipungkiri bahwa di Indonesia ini masih ada wartawan yang meminta upeti kepada nara sumber -- tapi itu biasanya datang dari wartawan yang tidak profesional atau media yang kurang berbobot dan tidak menjunjung etika jurnalistik.

Tetapi Jero harusnya paham. Jangankan meminta, bahkan menerima pemberian upeti dari sumber berita pun sudah menjadi sebuah pelanggaran kode etik jurnalistik.
Bagi tenaga Humas atau Public Relations (PR) sendiri, apakah dia bekerja di BP Migas atau lainnya, seharusnya menghargai etika wartawan itu. Sebab penghormatan kepada etika orang lain, menunjukkan bahwa kita sendiri juga punya dan menjunjung etika.

Dan penghormatan itu , khususnya dalam hubungan antara tenaga PR dan wartawan, adalah tidak menawarkan atau memberikan upeti, dalam bentuk apapun.

"Upeti" -- yang merupakan kata serapan dari bahasa Sanskerta ‘utpatti’ -- dikuatirkan menjurus menjadi suap dan bisa menjebak - bahkan ketika dilakukan pabrik obat kepada seorang dokter, umpamanya.

Itu sebabnya semua profesi terhormat (termasuk dokter, pengacara, public relations, dan wartawan profesional di dunia) anti pada segala bentuk upeti. Lebih lagi, bagi jurnalis, sikap mereka sangat jelas menolak keras bentuk upeti dan berusaha mengungkap siapa pun pemberi atau menerima suap, apalagi bila itu dilakukan oleh pejabat publik , seperti antara direksi BUMN dan wakil rakyat.

Sebaliknya, tenaga PR yang profesional juga harus menjunjung 'PR Ethics', yang diikuti semua organisasi atau asosiasi PR di dunia, termasuk Persatuan Humas (Perhumas) Indonesia.

Tenaga PR profesional biasanya tahu, dan tidak akan menjalankan kegiatannya berdasarkan instink semata. Mereka lazimnya melakukan riset mengenai situasi yang ada, dan harus tahu apa yang bisa ‘dijual’-nya sebagai berita kepada media.

Mereka mesti punya tujuan, untuk menyediakan materi (rilis berita, atau apapun) bagi wartawan sebaik-baikya, sehingga ketika wartawan membaca atau melihatnya, mereka akan memberitakan ‘pesan-pesan’ sesuai dengan yang diharapkan sang praktisi PR.

Tenaga PR seharusnya tahu mengenai apa yang 'laku' untuk dijadikan berita. Mereka misalnya dapat mengemas segala pesannya secara baik, dan mencari anasir yang mengandung ‘news worthiness’ (nilai berita), yakni segala parameter yang menjadikan wartawan punya alasan kuat untuk mengangkat rilis tadi menjadi sebuah berita – karena yang dituju adalah publik luas, pembaca, pendengar atau pemirsa.
Ia mesti tahu bahwa teman wartawannya mempublikasikan rilis itu bukan karena upeti yang diberikan sang tenaga PR, melainkan karena memang peristiwa itu layak diberitakan. Karena wartawan yang profesional, termasuk di Indonesia, sangat menjunjung etika, dan peduli pada kepentingan masyarakat luas.

Soal yang dikemukakan Jero Wacik itu pernah terjadi dengan Disney World di AS. Untuk memperingati ulang tahunnya yang ke-15, pada tahun 1986, pemilik brand Mickey Mouse dan lain-lainnya itu mengadakan pesta besar-besaran selama tiga hari, dan mengundang sekitar 10 ribu wartawan.

Di bawah tanggungan Disney, hotel, tiket dan biro-biro perjalanan semua diatur, dengan anggaran mencapai US$7,5 juta. Undangan diberi tiga pilihan: membayar sendiri semuanya, membayar sebagian biaya sebesar US$150 perhari, atau membiarkan Disney dan sponsornya menanggung semua biaya perjalanan, makan dan tempat tinggal.

Disney World mengatakan bahwa semua tawarannya ‘tidak mengikat apa pun’ alias ‘no strings attached’, dan bahwa wartawan yang hadir di pesta itu, ‘tidak diminta atau diharapkan’ menulis apa pun mengenai pesta itu.

Tak pelak, Disney pun mendapat kritik. Harian The New York Times misalnya, menulis editorial yang mengatakan bahwa jurnalis yang menerima tawaran 'tunggangan bebas' alias upeti dari Disney itu menimbulkan kesan bahwa wartawan 'bisa dibeli'.

Walhasil, upeti dalam bentuk apa pun memang harus diharamkan, persis sebagaimana kita melarang segala bentuk korupsi, baik yang melibatkan wartawan, atau pun anggota DPR. Sebab tidak ada 'budak' lagi di Indonesia. Sebab akibat upeti itu, yang dirugikan adalah publik secara luas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar