Mengembalikan
Kemuliaan Politik
Komaruddin Hidayat ; Rektor
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
|
SINDO,
23 November 2012
Pada awalnya politik itu mulia.Baik politik sebagai ilmu, seni,
aktivitas maupun institusi pada mulanya dimaksudkan untuk mengatur dan
mengendalikan kekuasaan sebuah pemerintahan demi melindungi dan
menyejahterakan warganya.
Oleh karena itu, politik akan selalu menjadi tema diskusi yang hangat dari masa ke masa.Tidak hanya sebatas diskusi, tetapi juga sering kali melahirkan gerakan yang heroik dan militan. Jauh sebelum kemerdekaan Indonesia, pada tahun 1928 muncul gerakan politik sekelompok pemuda yang hatinya tersayat pilu melihat kehormatan warga Nusantara ditindas kekuatan asing dan merampas kekayaan alamnya. Mereka bangkit mengajak anak-anak muda untuk bersatu menggalang persaudaraan dan kekuatan dalam naungan rumah besar kebangsaan yang mereka imajinasikan dan citakan: satu nusa,satu bangsa, dan satu bahasa nasional, yaitu: INDONESIA. Hanya dengan persatuan, persaudaraan dan pendidikan yang bagus, bangsa Indonesia akan mampu bangkit berdiri sejajar dengan bangsa lain yang lebih dahulu maju. Pada waktu itu membayangkan dan memperjuangkan sebuah negara bangsa bernama Indonesia yang mandiri dan berdaulat, sungguh sangat mulia dan sekaligus amat berat. Tantangan mereka jauh lebih berat ketimbang para aktivis politik sekarang yang melimpah fasilitas materi. Konsekuensi dan implikasi sosial-politik visi dan gerakan pemuda 1928 ini sungguh dahsyat bagi perjalanan bangsa. Dari sinilah semangat dan ideologi keindonesiaan berkobar dalam dada anak-anak muda yang tersebar di ribuan pulau Nusantara, memancarkan aspirasi yang menggetarkan setiap putra bangsa untuk membangun rumah bangsa yang bermartabat,yang mengayomi kebinekaan suku, bahasa, budaya, dan agama. Masyarakat Nusantara yang sedemikian majemuk bersepakat melebur ke dalam rumah besar Indonesia dengan moto: Bhinneka Tunggal Ika. Moto dan dokumen historis-politis ini mesti ditanamkan pada setiap anak bangsa, bahwa sejak awal berdirinya masyarakat Indonesia itu majemuk, baik etnis, bahasa, budaya, maupun agama.Itu merupakan realitas politis-sosiologis bangsa Indonesia yang juga sekaligus sebagai identitas dan kekayaan kita semua. Para pendiri bangsa telah mengabadikan sebuah komitmen dan wasiat untuk semua anak bangsa, agar kebinekaan itu dijaga dalam semangat persatuan dan persaudaraan. Siapa yang mengingkari dan merusaknya maka dia sesungguhnya telah mengingkari wasiat pendiri bangsa, dan juga mengingkari realitas keindonesiaan kita. Sebagai generasi penerus, kita mestilah senantiasa menjaga spirit dan kemuliaan politik yang telah mereka wariskan dan wasiatkan, yaitu sebuah cita-cita politik yang amat mulia untuk membangun “bangsa dan negara Indonesia” yang bermartabat dan berkeadaban (civilized) tempat kita dan anak-cucu kita lahir dan tumbuh. Panggilan dan tugas mulia ini mesti diperjuangkan dari generasi ke generasi mengingat imajinasi, konsep, dan cita-cita politik yang bernama “bangsa Indonesia” sampai sekarang pun masih dalam proses konsolidasi dan menjadi. Visi dan agenda besar Pemuda-1928 ini kemudian terlembagakan secara konstitusional pada 17 Agustus 1945 menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Ini semua tidak akan berkembang dan berdiri kokoh jika jiwa, spirit, dan visi besar itu, menguap dari dada para politisi dan pemangku jabatan publik di negeri ini. Agenda besar nation building dan state buildingmerupakan panggilan politik yang mulia dan harus kita jaga kemuliaannya. Oleh karena itu,seorang politisi sejati adalah juga orang yang selalu menjaga integritasnya dan mendermakan hidupnya untuk melayani dan membela rakyat. Partai politik hanyalah sekadar kendaraan atau pintu masuk ke medan juang yang lebih luas dan lebih mulia, yaitu mewujudkan citacita mengapa NKRI ini didirikan. Jangan sampai terjadi proses pembusukan dalam tubuh partai politik sehingga siapa pun yang masuk ke dalamnya, idealisme dan integritasnya justru menjadi terpasung dan terkontaminasi. Dahulu ketika berbagai kerajaan dan kekuasaan yang terpencar di wilayah Nusantara melebur menjadi satu bangsa dalam rumah besar Republik Indonesia, ada dua peristiwa historis-politis yang mesti kita ingat. Pertama, sikap kebesaran jiwa tokoh-tokoh dan masyarakat daerah yang kala itu merasa otonom, lalu dengan legawa melebur dan menjalin persatuan dan persaudaraan bersama suku-suku yang lain ke dalam rumah kebangsaan Indonesia. Mereka mengalahkan egoisme kelompok dan etnisisme demi kejayaan Indonesia. Kedua, sebuah janji bagi siapa pun yang memerintah Negara Republik Indonesia untuk melindungi, mencerdaskan, dan menyejahterakan seluruh warga negara, apa pun etnis, bahasa, dan agamanya yang telah rela dan berkurban demi kemajuan dan kesejahteraan warga Nusantara. Dengan demikian, siapa pun yang memperoleh kepercayaan rakyat mengendalikan pemerintahan negara mesti memegang komitmen untuk memenuhi janji sejarah, yaitu melindungi, mencerdaskan, dan menyejahterakan seluruh warga negara.Itu sebuah utang dan janji yang mesti dipenuhi dan sekaligus panggilan sejarah yang amat mulia. Reaktualisasi Pesan Moral Pendiri Bangsa dan Negara Bangsa ini sungguh memerlukan lahirnya banyak negarawan dan politisi yang berkarakter, terlebih lagi saat bangsa ini tengah bereksperimentasi dan melakukan konsolidasi sistem demokrasi yang sekarang antara cita-cita, harapan, dan kenyataan masih terbentang jarak yang jauh. Saat ini Indonesia dijuluki sebagai negara pilkada. Kalau saja kita mengadakan pemilihan bupati dan wali kota secara beruntun, setiap hari ada pemilihan. Artinya, saat ini kita tidak saja dihadapkan untuk mulai berpikir memilih presiden dan wakilnya, namun masyarakat membutuhkan sekian ratus bupati,puluhan gubernur dan wali kota yang diharapkan mampu mencerdaskan dan menyejahterakan rakyat. Kita semua mengharapkan sekian banyak parpol yang ada mampu melahirkan caloncalon pemimpin bangsa,bukan sekadar tempat berkumpulnya aktivis atau penampungan bagi para pengangguran. Bersama kekuatan civil society, parpol dan pemerintah dituntut untuk mempersiapkan calon-calon pemimpin bangsa, baik menjelang Pemilu 2014 maupun pemilu dan pilkada selanjutnya. Jika masyarakat salah pilih wakil dan pemimpinnya, harapan, potensi, dan prediksi Indonesia menjadi salah satu kekuatan ekonomi dunia pada tahun 2030 akan hilang. Kita semua merindukan tampilnya politisi dan pemimpin bangsa yang berkarakter, kompeten, visioner, dan memiliki komitmen kuat dan siap berkurban demi melayani rakyat dan memajukan bangsa, sebagaimana yang telah ditunjukkan oleh para pendiri bangsa.Mereka rela menderita demi kejayaan bangsa dan negara. Mereka besar dalam pikiran, tindakan dan pengurbanannya untuk bangsa,bukan sibuk membesarkan diri, keluarga dan konco-nya. Membangun Tembok Besar Peradaban Ada nasihat klasik sewaktu saya di pesantren, tuntutlah ilmu walau ke negeri China.Utlubul ilma walau bisshin. Salah satu yang menarik perhatian saya tentang bangsa China adalah, mengapa mereka mau investasi tenaga dan biaya untuk membangun tembok raksasa dengan panjang lebih dari 8.000 km dan memakan waktu 300 tahun lebih? Saya kira, karena para pemimpinnya waktu itu sadar betul akan ancaman dari luar dan––lebih dari itu––mereka memiliki mimpi, visi, dan agenda besar untuk hidup ribuan tahun ke depan. Panjangnya tembok China dan lamanya waktu yang diperlukan, seiring dengan besarnya mimpi para pemimpinnya untuk melindungi bangsa dan warganya. Bermula dari membangun tembok fisik, bangsa China berkembang membangun tembok kebudayaan dan berbagai kebijakan politik untuk melindungi warganya serta menjaga identitas bangsanya dari serangan luar.Dengan tetap menjaga sikap kritis terhadap apa yang terjadi di China, fenomena ini saya angkat sebagai bahan renungan bagi para politisi dan pemimpin Indonesia. Indonesia yang dianugerahi Tuhan kekayaan alam,penduduk dan budaya yang demikian melimpah, tanpa adanya Indonesian Great Wall,maka keutuhan dan kekayaan alam serta budaya Indonesia akan hancur oleh kekuatan asing. Ironisnya, ini sesungguhnya sudah dan sedang berlangsung. Tembok besar Indonesia itu bisa jadi berupa pendidikan yang bagus dan merata,yang di dalamnya tumbuh generasi-generasi penerus yang memiliki ilmu, keterampilan, dan integritas serta cinta tanah air sehingga mampu mengolah kekayaan alam Indonesia untuk kemakmuran warganya. Sehebat apa pun pembangunan sebuah bangsa, jika tidak memiliki akar budaya yang kuat yang menjadi jati diri dan identitas bangsanya maka akan mudah roboh ketika terkena guncangan dari luar. Semangat dan nilai-nilai keindonesiaan inilah yang dibangun dengan susah payah oleh para pendiri bangsa sebagai filsafat dan fondasi kehidupan bernegara, yang sekarang ini, ibarat kendaraan atau rumah besar, sekrup dan pasaknya semakin aus dan kendur. Kita mesti bangkit membangun tembok peradaban Indonesia untuk melindungi kekayaan dan jati diri bangsa serta membangun peradaban unggul sebagai kontribusi pada dunia. Sekarang ini telah terjadi pendangkalan pemahaman dan kecintaan terhadap jati diri bangsanya sendiri. Moto Bhinneka Tunggal Ika dan nilai-nilai Pancasila yang menjadi spirit dan pengikat dalam hidup berbangsa dan bernegara tergusur oleh isu-isu perebutan kekuasaan dan agenda hidup hedonistik yang semuanya bersifat sesaat. Melihat kenyataan ini, mari kita sejenak mengambil jarak dan jeda guna merenung, berdiskusi, berdialog dan kemudian membuat agenda aksi,apa yang bisa kita sumbangkan pada bangsa sebagai tanda rasa syukur kepada Tuhan dan terima kasih pada para pejuang bangsa yang telah mewariskan NKRI tercinta. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar