Inspirasi
Pesantren untuk Pertanian
Asep Saefudin ; Staf Pengajar di Fakultas MIPA Institut Pertanian Bogor
|
SINAR
HARAPAN, 23 November 2012
Satu hal yang sangat jarang dicermati secara serius oleh
intelektual pertanian di Indonesia adalah mengenai pesantren.
Banyak intelektual jebolan universitas di
Eropa ataupun Amerika, menganggap sepele pendidikan pesantren. Dianggap tidak
maju, terbelakang, dan masih berbudaya agraris. Sangat berbeda dengan
pendidikan Barat yang lebih industrial dan hightech.
Persoalannya, meski sudah puluhan tahun
sistem pendidikan pertanian kita menggunakan model pendidikan Eropa dan
Amerika, nasib baik pertanian maupun petani kita tak kunjung membaik. Hampir
tidak ada sarjana lulusan pendidikan pertanian (dalam arti luas) yang
komitmen bertani dan kembali ke desa. Kenyataan ini cukup berbeda dengan
pendidikan pesantren.
Bagaimana kiprah pesantren selama ini dalam
pembangunan pedesaan, pertanian, dan modernisasi pedesaan? Catatan penulis
berikut mengungkap beberapa hal yang bisa menjadi inspirasi dalam membenahi
dunia pendidikan pertanian kita.
Pertama, pesantren adalah lembaga
pendidikan yang benar-benar dibangun oleh rakyat atau people driven
education. Rakyat di desa secara gotong royong dengan bimbingan kiai
membangun pesantren secara swadaya, tanpa dukungan siapapun.
Tujuannya pembangunan adalah agar ahlak,
yang berdimensi sosial dan Ketuhanan, dari masyarakat desa bisa diselamatkan.
Pesantren juga diharapkan bisa mengharumkan nama desa dan menjadi kebanggaan
masyarakat dusun.
Sebagai contoh telah ada
pesantren-pesantren yang namanya mendunia karena kitab-kitab dan ulamanya,
seperti Lirboyo, di Kecamatan Mojoroto-Kediri, Kajen, di Kabupaten Pati, dan
Suryalaya di Tasikmalaya-Jabar. Artinya dari dusun tapi mendunia. Bukan
sebaliknya, sebagai mana kini banyak universitas ataupun sekolah lakukan,
yang justru membawa atribut internasional agar dianggap mendunia.
Kedua, pesantren membawa keotonomian dan
keswadayaan sebagai sebagai pilar utama. Kebutuhan pangan pesantren, untuk
santri dan gurunya, diproduksi secara mandiri dengan memanfaatkan lahan
pertanian yang ada. Santri didayakan bekerja di sawah dan ladang.
Tidak hanya itu, sebagai bagian dari
praktek ajaran tarekat, yang mengajarkan rahmatan lil alamin, banyak
pesantren mempraktekan pertanian ekologis. Yaitu pertanian yang minim input
luar, dan mengandalkan peran ekologi daripada campur tangan yang justru bisa
merusak lingkungan, seperti pestisida dan pupuk petrokimia.
Contohnya, di Salatiga, Serikat Paguyuban
Petani Qariyah Tayibah (SPPQT) yang diasuh oleh beberapa kiai telah
memproduksi beras dan sayur organik, termasuk kompos untuk dipergunakan di
tingkat lokal.
Ketiga, pesantren memiliki catatan emas
sejarah sebagai basis perlawanan rakyat atas praktik kapitalisme.
Sejarah Indonesia mencatat beberapa tokoh
pesantren yang menjadi pemimpin pergerakan melawan penjajah, seperti Pangeran
Diponegoro (1825-1830), yang melawan ekspansi kolonialisme di Indonesia, Kiai
Misbach di Surakarta, yang mengajarkan bahwa kapitalisme sangat bertolak belakang
dengan nilai dan ajaran Islam.
Pemberontakan (rebellion) pesantren terhadap penjajah kolonial bukanlah karena
perbedaan agama, tetapi lebih karena menolak sistem kapitalisme yang
menggusur ekonomi rakyat kecil demi pemilik modal.
Keempat, pesantren mengenalkan kebudayaan
kedaulatan pangan (food sovereignty).
Menurut Prof Said Agil Siradj, awal mula munculnya selamatan karena para wali
ingin mengembangkan lebih lanjut sesajen yang umum ada di masyarakat.
Melalui selamatan, sesajen yang awalnya
hanya berupa pangan yang disajikan dalam jumlah kecil, dikembangkan menjadi
penyediaan pangan yang beraneka ragam dari warga kampung.
Kelima, sebagai payung organisasi bagi
ribuan pesantren pedesaan di Indonesia September lalu Nahdlatul Ulama
menggelar sidang Bahtsul Masail ad-Diniyah al-Qanuniyah
di pesantren Kempek Palimanan, Cirebon, untuk memutuskan fatwa mengenai impor
pangan. Hasilnya menyatakan bahwa zalim hukumnya mengimpor pangan yang mampu
diproduksi petani sendiri.
Refleksi
Penggalan sejarah pesantren, yang merupakan
salah satu pendidikan paling orisinal yang dibangun sendiri oleh rakyat, di
atas menunjukkan betapa modernnya sebenarnya pendidikan di pesantren. Modern
karena mampu menjawab tantangan jaman.
Terutama yang mengarah ke arah kapitalisme,
dengan membuat jawaban secara kongkret di desa. Pesantren menawarkan tak
hanya alternatif sistem pendidikan, tapi juga jawaban bagi hegemoni dan
ekspansi kapitalisme.
Tidak dapat kita ingkari dunia pendidikan
pertanian saat ini lebih banyak mengakomodasi kepentingan korporasi
agrobisnis besar daripada petani. Pengembangan teknologi dan pengetahuan
menghamba pada industrialisasi skala besar, seperti perkebunan industri
pangan besar.
Penulis ingin inspirasi dari pesantren
menjadi jalan memperbaiki pendidikan nasional pertanian. Memang tidak semua
pesantren mampu mempertahankan nilai dan sistem pendidikan yang ideal di
atas, tapi ajaran tersebut masih banyak diajarkan. Kini kita perlu membuka
ruang dialog,
Filsafat ilmu pengetahuan di pesantren yang
berorientasi pada keluarga tani, desa, ekologi, dan kental akan visi
kemanusiaan perlu menjadi inspirasi bagi pendidikan pertanian nasional. Tidak
seharusnya pendidikan pertanian memandang urusan pertanian dan pangan sebagai
sekadar komoditas dagang.
Tetapi seharusnya sebagai tempat bagi
jutaan keluarga tani mempertahankan kelangsungan hidup. Pertanian seyogianya
bisa menjadi alat utama menyejahterakan rakyat pedesaan. Melalui pertanian
yang baik problem kemanusiaan berupa kelaparan, kemiskinan, dan kerusakan
ekologi bisa diselesaikan.
Belajar dari sistem pendidikan pesantren,
pendidikan pertanian tak seharusnya mencerabut sarjana keluar dari desa ke
kota.
Sebaliknya justru mengembalikan dan
mempertahankan sarjana untuk menggerakkan desa. Sarjana harus dibekali dengan
visi baru the new peasantries, yaitu memberikan makna baru bagi pertanian
yang lebih menyejahterakan dan menyelamatkan kemanusiaan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar