Sabtu, 24 November 2012

Inspirasi Pesantren untuk Pertanian


Inspirasi Pesantren untuk Pertanian
Asep Saefudin ;  Staf Pengajar di Fakultas MIPA Institut Pertanian Bogor
SINAR HARAPAN, 23 November 2012


Satu hal yang sangat jarang dicermati secara serius oleh intelektual pertanian di Indonesia adalah mengenai pesantren.

Banyak intelektual jebolan universitas di Eropa ataupun Amerika, menganggap sepele pendidikan pesantren. Dianggap tidak maju, terbelakang, dan masih berbudaya agraris. Sangat berbeda dengan pendidikan Barat yang lebih industrial dan hightech.
Persoalannya, meski sudah puluhan tahun sistem pendidikan pertanian kita menggunakan model pendidikan Eropa dan Amerika, nasib baik pertanian maupun petani kita tak kunjung membaik. Hampir tidak ada sarjana lulusan pendidikan pertanian (dalam arti luas) yang komitmen bertani dan kembali ke desa. Kenyataan ini cukup berbeda dengan pendidikan pesantren.

Bagaimana kiprah pesantren selama ini dalam pembangunan pedesaan, pertanian, dan modernisasi pedesaan? Catatan penulis berikut mengungkap beberapa hal yang bisa menjadi inspirasi dalam membenahi dunia pendidikan pertanian kita.

Pertama, pesantren adalah lembaga pendidikan yang benar-benar dibangun oleh rakyat atau people driven education. Rakyat di desa secara gotong royong dengan bimbingan kiai membangun pesantren secara swadaya, tanpa dukungan siapapun.

Tujuannya pembangunan adalah agar ahlak, yang berdimensi sosial dan Ketuhanan, dari masyarakat desa bisa diselamatkan. Pesantren juga diharapkan bisa mengharumkan nama desa dan menjadi kebanggaan masyarakat dusun.

Sebagai contoh telah ada pesantren-pesantren yang namanya mendunia karena kitab-kitab dan ulamanya, seperti Lirboyo, di Kecamatan Mojoroto-Kediri, Kajen, di Kabupaten Pati, dan Suryalaya di Tasikmalaya-Jabar. Artinya dari dusun tapi mendunia. Bukan sebaliknya, sebagai mana kini banyak universitas ataupun sekolah lakukan, yang justru membawa atribut internasional agar dianggap mendunia.

Kedua, pesantren membawa keotonomian dan keswadayaan sebagai sebagai pilar utama. Kebutuhan pangan pesantren, untuk santri dan gurunya, diproduksi secara mandiri dengan memanfaatkan lahan pertanian yang ada. Santri didayakan bekerja di sawah dan ladang.

Tidak hanya itu, sebagai bagian dari praktek ajaran tarekat, yang mengajarkan rahmatan lil alamin, banyak pesantren mempraktekan pertanian ekologis. Yaitu pertanian yang minim input luar, dan mengandalkan peran ekologi daripada campur tangan yang justru bisa merusak lingkungan, seperti pestisida dan pupuk petrokimia.

Contohnya, di Salatiga, Serikat Paguyuban Petani Qariyah Tayibah (SPPQT) yang diasuh oleh beberapa kiai telah memproduksi beras dan sayur organik, termasuk kompos untuk dipergunakan di tingkat lokal.

Ketiga, pesantren memiliki catatan emas sejarah sebagai basis perlawanan rakyat atas praktik kapitalisme.

Sejarah Indonesia mencatat beberapa tokoh pesantren yang menjadi pemimpin pergerakan melawan penjajah, seperti Pangeran Diponegoro (1825-1830), yang melawan ekspansi kolonialisme di Indonesia, Kiai Misbach di Surakarta, yang mengajarkan bahwa kapitalisme sangat bertolak belakang dengan nilai dan ajaran Islam.

Pemberontakan (rebellion) pesantren terhadap penjajah kolonial bukanlah karena perbedaan agama, tetapi lebih karena menolak sistem kapitalisme yang menggusur ekonomi rakyat kecil demi pemilik modal.

Keempat, pesantren mengenalkan kebudayaan kedaulatan pangan (food sovereignty). Menurut Prof Said Agil Siradj, awal mula munculnya selamatan karena para wali ingin mengembangkan lebih lanjut sesajen yang umum ada di masyarakat.
Melalui selamatan, sesajen yang awalnya hanya berupa pangan yang disajikan dalam jumlah kecil, dikembangkan menjadi penyediaan pangan yang beraneka ragam dari warga kampung.

Kelima, sebagai payung organisasi bagi ribuan pesantren pedesaan di Indonesia September lalu Nahdlatul Ulama menggelar sidang Bahtsul Masail ad-Diniyah al-Qanuniyah di pesantren Kempek Palimanan, Cirebon, untuk memutuskan fatwa mengenai impor pangan. Hasilnya menyatakan bahwa zalim hukumnya mengimpor pangan yang mampu diproduksi petani sendiri.

Refleksi

Penggalan sejarah pesantren, yang merupakan salah satu pendidikan paling orisinal yang dibangun sendiri oleh rakyat, di atas menunjukkan betapa modernnya sebenarnya pendidikan di pesantren. Modern karena mampu menjawab tantangan jaman.

Terutama yang mengarah ke arah kapitalisme, dengan membuat jawaban secara kongkret di desa. Pesantren menawarkan tak hanya alternatif sistem pendidikan, tapi juga jawaban bagi hegemoni dan ekspansi kapitalisme.

Tidak dapat kita ingkari dunia pendidikan pertanian saat ini lebih banyak mengakomodasi kepentingan korporasi agrobisnis besar daripada petani. Pengembangan teknologi dan pengetahuan menghamba pada industrialisasi skala besar, seperti perkebunan industri pangan besar.

Penulis ingin inspirasi dari pesantren menjadi jalan memperbaiki pendidikan nasional pertanian. Memang tidak semua pesantren mampu mempertahankan nilai dan sistem pendidikan yang ideal di atas, tapi ajaran tersebut masih banyak diajarkan. Kini kita perlu membuka ruang dialog,

Filsafat ilmu pengetahuan di pesantren yang berorientasi pada keluarga tani, desa, ekologi, dan kental akan visi kemanusiaan perlu menjadi inspirasi bagi pendidikan pertanian nasional. Tidak seharusnya pendidikan pertanian memandang urusan pertanian dan pangan sebagai sekadar komoditas dagang.

Tetapi seharusnya sebagai tempat bagi jutaan keluarga tani mempertahankan kelangsungan hidup. Pertanian seyogianya bisa menjadi alat utama menyejahterakan rakyat pedesaan. Melalui pertanian yang baik problem kemanusiaan berupa kelaparan, kemiskinan, dan kerusakan ekologi bisa diselesaikan.

Belajar dari sistem pendidikan pesantren, pendidikan pertanian tak seharusnya mencerabut sarjana keluar dari desa ke kota.

Sebaliknya justru mengembalikan dan mempertahankan sarjana untuk menggerakkan desa. Sarjana harus dibekali dengan visi baru the new peasantries, yaitu memberikan makna baru bagi pertanian yang lebih menyejahterakan dan menyelamatkan kemanusiaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar