Jumat, 23 November 2012

Semar Ruwat Kutukan Migas


Semar Ruwat Kutukan Migas
Rohmad Hadiwijoyo ;  Dalang dan CEO RMI Group
MEDIA INDONESIA, 23 November 2012

SOAL gugat-menggugat bukan saja terjadi di republik ini. Di dunia pewayangan pun pernah juga terjadi aksi seperti itu, yakni saat Semar Badranaya menggugat kesewenang–wenangan Kayangan Manikmaya (KM).
Seperti diketahui, pada Rabu (13/11), Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan uji materi UU No 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Dengan keputusan itu, Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) dinyatakan inkonstitusional atau bubar. Gugatan itu diajukan sedikitnya 30 tokoh dan 12 organisasi kemasyarakatan.
MK memberikan dua alasan atas pembubaran itu. Pertama, keberadaan BP Migas menjadikan negara kehilangan kedaulatan dalam pengelolaan aset minyak dan gas (migas). Hal ini disebabkan model hubungan kontrak kerja selama ini antara kontraktor dan negara dalam mengelola migas menempatkan negara pada posisi lemah.
Alasan kedua, kontrak kerja sama (KKS) yang dijalankan BP Migas sudah tidak memihak kepada kemakmuran rakyat, sehingga itu bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945. Pengelolaan aset migas dalam praktiknya memang sering menyebabkan kutukan kalau tidak dikelola dengan transparan dan good governance.
Tom Bower, dalam bukunya The Squeeze, Oil, Money & Greed in the 21st Century mengingatkan, dalam pengelolaan migas tidak mudah untuk membuat keseimbangan dan kepuasan bagi para pemangku kepentingan. Pengelola aset migas sering menjadi target ketidakpercayaan dalam pengelolaan dan manajemen. Apalagi kalau dalam tata kelola tersebut diduga ada perilaku korupsi dan kurang transparan. Karena itu, usaha di bidang migas susah ditebak atau unpredictable dan cenderung berisiko tinggi.
Wahyu Tohjali
Seperti yang terjadi di Kayangan Manikmaya atau tempat berkuasanya Batara Guru. Dewa Guru memiliki kekuasaan yang tanpa kontrol dalam pengelolaan aset-aset kayangan. Termasuk, pengelolaan aset kayangan seperti wahyu atau tuntunan hidup. Pembagian turunnya wahyu kepada satria yang berhak menerimanya sudah ada pakem dan aturannya.
Tetapi dalam kenyataannya, Dewa Guru dan Batari Durga sering melakukan intervensi. Wahyu Tohjali atau wahyu Lelanangane Jagat itu sebetulnya sudah dicadangkan kepada Arjuna, satria panengah Pandawa. Arjuna berhak menerima Wahyu Tohjali karena sudah sesuai dengan lelabuhan (pengabdian) dan perjuangannya kepada para dewa.
Saat mendengar wahyu senopati itu akan jatuh ke tangan Arjuna, Prabu Dewasrani tidak rela dan ingin merebut wahyu tersebut. Dewasrani, Raja Kumbino, dengan pengaruh politik ibunya, Batari Durga, meminta Wahyu Tohjali diberikan kepada dirinya.
Menurut perhitungan Dewasrani, karena Batari Durga yang merupakan istri Batara Guru, itu akan mempermudah dalam mempengaruhi kebijakan atas pemberian Wahyu Tohjali.
Atas pengaruh Durga, Dewa Guru segera mengadakan rapat paripurna dengan para dewa atau menteri dan ajudannya untuk membahas siapa yang akan mendapat Wahyu Tohjali.
Saat Dewa Guru mengutarakan niatnya untuk membatalkan pemberian wahyu kepada Arjuna, sebagian dewa-dewa keberatan. Karena, selain sudah diputuskan sebelumnya, menurut mereka, Arjuna paling pantas menerima ganjaran Wahyu Tohjali tersebut.
Dewa Guru, sebagai penguasa kayangan, tidak kalah sengit dalam merespons para bawahan yang menentang niatnya tersebut. Dengan lantang, Dewa Guru mempersilakan para dewa yang tidak setuju dengan pemberian Tohjali kepada Dewasrani, anaknya, diberi keleluasaan untuk angkat kaki atau meninggalkan kayangan.
Para dewa yang tidak setuju atas pemberian wahyu kepada Dewasrani segera turun ke Arcapada dan menemui Semar. Mereka memberikan kabar tentang perilaku kesewenang-wenangan Batara Guru kepada Semar sebagai pamongnya Pandawa.
Saat mendapat laporan para dewa atas kongkalingkong Batara Guru dan Durga, hati Semar sedih. Semar kemudian meminta para dewa untuk menjaga padepokannya, Klampis Ireng, dari hal-hal yang tidak diinginkan. Semar lalu terbang ke awang-awang kumitir untuk menggugat kelakuan Batara Guru kepada Sang Hyang Wenang.
Menerima kedatangan Semar, Sang Hyang Wenang mengatakan, sapa salah bakale seleh, sapa sing mbibiti ala wahyune bakal sirna (siapa salah bakal kalah, siapa yang mengawali keburukan, akhirnya akan celaka). Hyang Wenang akhirnya mengabulkan gugatan Semar ke Batara Guru, dan akhirnya Wahyu Tohjali tetap diberikan kepada Arjuna.
Wawasan Nusantara
Hal sama juga terjadi dalam kewenangan pengelolaan migas kita. Siapa oknum yang salah pasti akan seleh. Kepu tusan MK atas pembubaran BP Migas itu sudah inkracht dan memiliki kekuatan hukum mengikat. Jadi, kini kita tidak usah geger dan saling menyalahkan siapa yang berhak mengelola aset migas kita pascapembubaran BP Migas itu. Selama pengelolaannya jujur dan untuk kepentingan rakyat, pasti akan langgeng dan tidak akan digugat.
Sebetulnya, model pengelolaan minyak, production sha ring contract (PSC) dibuat putra bangsa, Mochtar Kusumaatmadja, saat beliau menjadi menteri kehakiman pada 1974-1978.
Model pengelolaan minyak itu sebenarnya sangat sederhana karena mengadopsi dari cara adat penggarapan sawah oleh masyarakat perdesaan. Mochtar membuat model pengelolaan minyak tersebut mengacu kepada pemanfaatan sumber daya alam yang berwawasan Nusantara.
Menurut sejarah, konsep Wawasan Nusantara dibuat pada era Perdana Menteri (PM) Djoeanda Kartawidjaja pada 1957. Saat itu, setelah lulus dari UI, Mochtar Kusumaatmadja diberi tugas membuat konsep Wawasan Nusantara oleh PM Djoeanda.
Jadi konsep PSC di Migas itu merupakan model kita sendiri. Negara-negara kaya minyak di dunia pun, banyak yang mencontoh konsep PSC tersebut. Karena itu, kalau saat ini pemerintah mencari model pengelolaan migas pascabubarnya BP Migas, kenapa kita tidak menengok kembali sejarah pengelolaan migas kita sebelumnya.
Selama tujuan pengelolaan aset minyak dan penambangan migas kita mempertimbangkan semangat Wawasan Nusantara dan sebagian royalti dari hasil migas dikembalikan untuk kesejahteraan rakyat serta untuk memperkuat ketahanan bangsa dalam bernegara, tidak akan terjadi gugatan untuk model pengelolaan migas. Sumangga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar