Bangsa Kurang
Nalar
Elfindri ; Guru Besar Ekonomi SDM Universitas
Andalas
|
REPUBLIKA,
21 November 2012
Sebuah
tim ad hoc dibentuk setelah muncul kritik Wakil Presiden Boediono yang mengajak
dirumuskannya tujuan pendidikan. Tapi, hendaknya jangan karena pernyataan
tersebut lantas kurikulum pendidikan diubah. Perubahan kurikulum mesti
didahului oleh serangkaian kajian ilmiah teknis. Kemudian, hasilnya
shahih dan mudah diimplementasikan untuk mencapai sasaran-sasaran pendidikan.
Jika tidak, kita menuai masalah di kemudian hari.
Perubahan terhadap kurikulum pendidikan dasar konon kabarnya karena di lapangan semakin banyak tawuran pelajar dan mahasiswa. Esensi apa yang ada di belakang tawuran dan mengapa ujung-ujungnya mengarah pada kurikulum? Wacana yang mengapung sepakat bahwa kurikulum sekarang terlalu banyak muatan mata pelajaran. Anehnya lagi, atas dasar itu, mata pelajaran IPA akan direduksi. Materinya dimasukkan ke pengajaran Bahasa Indonesia. Dulu, pendidikan zaman Belanda membuat anak didik pandai menulis dan berhitung. Ini agar anak pribumi yang terdidik dapat digunakan sebagai pembantu Belanda. Nalar ketika itu tidak menjadi prioritas. Padahal, bukankah nalar lahir dari banyaknya membaca dan berhitung? Pada kasus yang lain juga ditemukan di pendidikan tinggi.
Dua
tahun lalu pendidikan karakter mendadak naik daun. Lantas, secara mendadak
pendidikan karakter masuk pembelajaran. Demikian juga tahun ini, ketika
persoalan korupsi semakin marak, sampai-sampai ada pendirian mata pelajaran
antikorupsi masuk kurikulum.
Fenomena lemahnya daya nalar dan karakter dari produk kurikulum pendidikan lebih banyak disikapi dengan reaktif. Para pelaku pendidikan juga sulit untuk mengiringi irama yang tidak teratur. Sementara, yang diperlukan adalah bagaimana fenomena itu dipahami, diteliti, diuji coba, dan diperbaiki secara bertahap dan pasti.
Bahaya Mereduksi
Tidak
ada yang keberatan jika kurikulum disusun dengan sasaran kognitif, psikomotorik,
serta pembentukan sikap dan kepribadian peserta didik. Dalam hal kognitif,
pendidikan sains dasar ditengarai sebagai obat mujarab untuk membentuk logika
manusia. Semakin berat sains dasar, semakin terbiasa anak bangsa melalui
proses pematangan berpikir.
Persoalan pengajaran sains dasar untuk jenjang pendidikan dasar belum banyak yang mengkajinya secara kom- prehensif. Apakah karena konten mata pelajaran itu terlalu tinggi atau penguasaan materi oleh guru yang kurang, bahkan cara mengajarkannya tidak menarik. Persoalan dari nalar dan karakter berada pada unsur bagaimana diajarkan dengan berbagai kreativitas dan cara yang menyenangkan. Anak-anak tawuran hipotesisnya adalah anak yang memiliki daya nalar kurang. Karena, tindakan tawuran jauh dari logika universal. Dapat juga dimengerti keluhan Harry R Lewis (2012) yang telah menjadi dekan selama 30 tahun di Universitas Harvard dalam bukunya Excellence Without a Soul: Does Liberal Education Have a Future. Lewis menganggap bahwa nalar adalah perlu dan keseimbangan antara nalar dan karakter menjadi suatu keharusan. Kuat nalar seolah-olah unsur ilmu yang terpenuhi. Padahal, manusia mesti memiliki akhlak yang berguna. Mengembangkan nalar dan karakter mesti dilahirkan dari inisiatif bangsa sendiri, dengan meramu budaya dan adat setempat. Kurikulum harus sensitif terhadap daya tahan bangsa dan tanggap terhadap perubahan lingkungan. Oleh karenanya, dapat dilalui beberapa langkah. Pertama, kita meminta kepada satuan tugas untuk secara penuh mempersiapkan kuruikulum. Cara kerja ad hoc dalam penyusunan dan perbaikan kurikulum adalah tindakan yang sangat gegabah. Gegabahnya tim ad hoc, biasa bekerja paruh waktu dan dilakukan secara sambilan. Esensi yang lebih lagi, saat bersamaan diperlukan telaahan terkini tentang guru. Jangan-jangan ditemukan pedagogi guru sains dasar yang perlu diperhatikan atau kemampuan menguasai ruang lingkupnya. Hanya dengan penugasan permanen, full team, lintas-ilmu di bidangnya, akhirnya perancangan akan semakin sempurna. Kedua, pendidikan dasar menjadi masa ketika anak-anak lebih banyak untuk bermain. Inilah waktunya membangun sikap dan perilaku. Namun, saat itu pula tingkat keingintahuan anak didik sangat tinggi. Mereplikasi cara pembelajaran tematik di negara maju belum tentu tepat untuk kondisi bangsa kita. Mengapa tidak dicoba dilahirkan metode-metode yang cocok dengan kemajuan tingkat sosial ekonomi masyarakat kita? Ketiga, setelah konsepsi kurikulum selesai, sangat diperlukan uji coba. Saat bersamaan perlu dilakukan kajian akademik, sejauh mana dampak dari penerapan kurikulum baru. Sehingga, pada tahap uji coba ini, dipersiapkan guru yang dapat memenuhi syarat untuk melaksanakan kurikulum. Jika kita salah maka dalam 10 sampai 50 tahun yang akan datang, kesalahan yang dibuat di hulunya akan sulit mengubah hilirnya. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar