Jumat, 23 November 2012

Ketahanan Energi, Suatu Ilusi


Ketahanan Energi, Suatu Ilusi
Soegeng Sarjadi ;  Ketua Soegeng Sarjadi Syndicate
KOMPAS, 23 November 2012


Sebagai pelaku usaha, saya menilai langkah pemerintah membubarkan Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi serta menempatkan kewenangan sementaranya di bawah Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral merupakan langkah tepat.

Terlepas dari kelemahan yang mungkin ada, kebijakan itu secara simbolik menegaskan bahwa negara berdaulat atas sumber daya alam yang dimiliki sesuai amanah konstitusi. Apabila Pertamina sudah siap, terutama sudah bersih dari orang-orang yang hanya memikirkan diri sendiri dan tidak sadar bahwa mereka sedang bernegara, pengelolaan migas dapat diserahkan kepada Pertamina. Sehubungan dengan hal itu, membangun National Oil Company dan mendirikan badan pengawas merupakan salah satu pilihan institusional guna menegakkan ketahanan energi nasional.

Perubahan Ekstrem

Berkaitan dengan energi fosil, Indonesia sejatinya tidak istimewa. Kebanggaan kita sebagai bangsa maritim mempunyai posisi strategis di antara dua benua dan samudra, serta berada di bawah naungan garis khatulistiwa, jadi mentah begitu saja ketika kita membicarakan cadangan energi.

Cadangan minyak yang dimiliki Republik tinggal 0,23 persen, gas 1,4 persen, dan batubara 0,6 persen dari cadangan dunia. Jika angka-angka itu disandingkan dengan besarnya jumlah penduduk yang mencapai 259 juta jiwa, Indonesia sejatinya miskin energi. Dengan tingkat permintaan yang semakin tinggi dari waktu ke waktu dan cadangan yang kian menipis, posisi kita senyatanya sangat rapuh.

Merujuk pada situasi itu, secara rasional rasanya hampir mustahil bagi kita untuk berkompetisi melawan China dan India, apalagi menghadang negara-negara maju. Globalisme ekonomi yang bergerak semakin ekstrem di mana semua produk berkualitas premium, dengan produksi dan distribusi serba cepat, hanya bisa diikuti apabila kita mempunyai ketersediaan energi yang memadai.

Realitasnya, Indonesia miskin energi. Cadangan hanya sekitar 4 miliar barrel untuk minyak bumi, gas bumi 104 triliun kaki kubik, dan batubara 5,5 miliar ton. Dengan laju produksi minyak sekitar 900.000 barrel per hari (bph), gas sekitar 1,5 juta barrel setara minyak (bsm), dan batubara 340 juta ton, kita terseok-seok memenuhi konsumsi domestik. Setiap hari kita perlu 1,3 juta bph minyak, gas 750.000 bsm, dan batubara 67 juta ton.

Dengan konstruksi seperti itu, meskipun posisi Indonesia saat ini berada di peringkat ke-16 dalam negara-negara anggota G-20 dengan produk domestik bruto hampir 1.000 triliun dollar AS, mimpi untuk menjadi satu dari empat negara terbesar pada 2040 hanya bersifat utopis apabila tidak diikuti penataan dan pembangunan energi. Dengan istilah lain, Indonesia mustahil menjadi negara adidaya apabila tanpa ketahanan energi yang tangguh.

Sehubungan dengan hal itu, salah satu pilar terpenting untuk membangun ketahanan energi nasional adalah keputusan dan kemauan politik para pembuat kebijakan. Ironisnya, mereka sejauh ini cenderung terjebak pada kalkulasi politik praktis dan isu energi jangka pendek ketimbang membuat kebijakan energi jangka panjang dan program aksi yang tidak populer.

Akibatnya, ketahanan energi yang kita dambakan tak lebih dari sebuah ilusi. Jangankan ketahanan energi, cadangan minyak strategis saja, yaitu stok nasional untuk kondisi darurat, sampai hari ini belum memadai jika tidak boleh disebut belum ada.

Situasi itu diperburuk oleh jargon politik dan pencitraan berlebihan menyangkut pembangunan sumber energi terbarukan. Obyektifnya, kita baru melangkah satu kaki dari seribu kilometer yang harus dilalui. Alias, kita belum melakukan apa-apa dalam upaya mengamankan masa depan bangsa.

Alternatif Kebijakan

Agar ketahanan energi nasional tidak sekadar ilusi dan mimpi Indonesia untuk menjadi negara adidaya terwujud, tak ada pilihan lain, pemerintah dan DPR harus mengambil risiko politik bersama. Mereka harus berani menghentikan subsidi premium. Permintaan premium yang semakin tinggi dari waktu ke waktu akan semakin mencekik leher pemerintah. Ini mengakibatkan kemampuan pemerintah dalam melakukan pembangunan nasional merosot dan kemiskinan meluas.

Selain itu, restrukturisasi kilang minyak sesuai dengan pertumbuhan kebutuhan konsumen domestik tidak bisa ditunda-tunda lagi. Efisiensi pemakaian bahan bakar minyak guna menahan laju konsumsi juga tak boleh terlambat, salah satunya dengan penanggulangan kemacetan lalu lintas di kota-kota besar.

Selanjutnya, kapasitas produksi sumber energi primer harus dioptimalkan untuk mengamankan pasokan dalam negeri. Dari sisi sektor hulu migas, upaya mencari tambahan cadangan dan produksi (jangka menengah dan panjang) harus fokus dan intensif, baik dengan mencari ladang-ladang di belahan dunia lain maupun melalui kajian bersama dan new ventures di cekungan-cekungan frontiers.

Langkah tersebut hanya akan bermakna apabila pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan (stakeholders) terkait berperan aktif memfasilitasi para investor dengan berbagai terobosan kebijakan yang memadai.

Tanpa langkah-langkah tersebut, hasrat untuk mewujudkan ketahanan energi nasional tak lebih dari sebuah ilusi. Alih-alih menjadi adidaya, kita malah menjadi bangsa paria. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar