Deradikalisasi
dari Segala Sisi
Victor Silaen ; Dosen FISIP Universitas Pelita Harapan
|
SUARA
KARYA, 23 November 2012
Baru-baru
ini, jajaran kepolisian RI sukses membekuk kelompok teroris di sejumlah
daerah di Tanah Air. Pertanyaannya, mengapa kelompok-kelompok teroris itu
sepertinya tak habis-habis? Setelah yang satu ditangkap, dihukum berat dan
bahkan dihukum mati, mengapa yang lainnya bermunculan, alih-alih jera?
Negarawan
senior Singapura, Lee Kuan Yew, dalam wawancara di majalah Far Eastern Economic Review edisi
terakhir bulan Desember 2002 mengatakan, jikapun jaringan terorisme di
belakang Bom Bali I (2002) dapat ditangkap semuanya, itu hanya satu sel dari
sekitar seratus kelompok radikal yang ada di Indonesia. Memang, membicarakan
hal ini mau tak mau kita harus mengidentifikasi faktor-faktor yang mendorong
para teroris itu 'beranak-pinak'.
Pertama,
kemiskinan dan ketidakadilan sosial. Untuk itu, segenap komponen bangsa harus
bahu-membahu bersama para penyelenggara negara untuk menggempur akar
kemiskinan dan sumber ketidakadilan sosial itu. Namun, jika mereka tak mampu
memberikan keteladanan konkret, jangan harapkan rakyat akan mengikuti
imbauan-imbauan mereka untuk berbuat kebaikan dan kebajikan bagi sesama.
Kedua,
terkait yang pertama, mengapa sebagian dari para teroris yang tertangkap
sejauh ini bukan berasal dari keluarga miskin? Bahkan, herannya malah ada
yang bergelar insinyur, doktor, atau yang sebelumnya berprofesi polisi tapi
lalu desersi. Di antara para teroris yang tertangkap, misalnya, ada yang
menyandang gelar sarjana fisika dari unversitas negeri. Tidakkah faktor
kemiskinan yang menumbuhkan motif terorisme, harus diklarifikasi?
Kalau
begitu lalu faktor apa? Oleh para pengkaji ma-salah terorisme, ideologi juga
ditengarai sebagai salah satu faktor pendorongnya. Ideologi yang dimaksud
adalah sekumpulan nilai dan keyakinan, yang lazimnya dipengaruhi dengan amat
kuatnya oleh agama. Jadi, dalam konteks ini, bukan agama itu an sich yang
menjadi pendorongnya, melainkan agama yang sudah ditafsir sedemikian rupa
berlandaskan paradigma yang naif-picik dan dengan menggunakan perspektif yang
amat sempit. Hasilnya: sebuah ideologi teror atau terorisme. Yakni, sekumpulan
nilai dan keyakinan bernuansa agamis yang membenarkan dan menghalalkan
kekerasan demi mencapai tujuan.
Memang,
agama adalah sumber perdamaian. Tapi jangan lupa, setiap agama memiliki
elemen-elemen keras (hard elements)
dan elemen-elemen lunak (soft elements)
di dalam dirinya. Karena itulah, dalam setiap agama selalu saja ada kelompok
yang memahami agamanya secara kaku dan terlalu bersemangat, sehingga
memunculkan sikap-sikap fundamentalistik dan radikalis yang cenderung
pro-kekerasan. Karena itulah mereka, atas nama agama, sanggup melakukan
aksi-aksi keji yang destruktif. Harus diakui, agama mampu mengobarkan
semangat yang amat besar bagi praktik-praktik terorisme, karena jauh di
seberang sana ada tujuan mulia yang ingin dicapai. Itu sebabnya, praktik terorisme
atas nama agama selalu simbolik dan dramatis, disertai dengan klaim
justifikasi moral dan absolutisme yang amat kuat bahwa mereka sedang
menegakkan kebenaran ilahi - menurut versi dan tafsir mereka sendiri.
Jadi,
jangan heran kalau sebagian besar teroris itu, jauh sebelumnya, dikenal
sebagai orang-orang yang biasa-biasa saja dan bahkan saleh di lingkungan
sosial terdekatnya. Melakukan kejahatan bukanlah tabiat, 'dunia penuh
kekerasan' pun bukan habitat mereka. Aksi teror hanyalah keterpaksaan yang harus
ditempuh demi terwujudnya tatanan kehidupan seperti yang didambakan.
Berdasarkan
itulah maka upaya memerangi kelompok-kelompok teroris yang dilakukan oleh
Polri (dengan Densus 88 di garda terdepan), dan didukung oleh TNI
(berlandaskan Pasal 7 UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI dan Pasal 41 UU No. 2
Tahun 2002 tentang Kepolisian) patut didukung oleh semua pihak. Selain itu
ada juga Perpres No. 46 Tahun 2010 tentang pembentukan Badan Nasional
Penanggulangan Terorisme (BNPT). Badan inilah yang sedang gencar-gencarnya
melaksanakan program deradikalisasi. Program ini, intinya, merupakan bagian
dari upaya pemerintah memerangi terorisme dengan jalan atau pendekatan yang
menyentuh ranah kognitif. Jadi, nilai-nilai dan keyakinan yang menjustifikasi
kekerasan sebagai modus operandi dalam berjuang mencapai cita-cita, itulah
yang harus ditransformasikan.
Terkait
itu kita tak sekali-kali boleh memberikan dukungan moral dan materiil serta
toleransi sedikit pun terhadap aspirasi-aspirasi atas nama agama yang
mendukung kekerasan serta para pelakunya. Pemerintah harus berada di garda
depan sebagai model bagi masyarakat dalam melakukan deradikalisasi secara
tegas. Antara lain, misalnya, dengan tidak merangkul kelompok-kelompok yang
gemar melakukan kekerasan atas nama agama bak mitra bestari pemerintah. Kalau
ada kelompok-kelompok tertentu di masyarakat yang diduga menjadi wadah
pengkaderan teroris, mengapa tak memonitor mereka siang-malam demi antisipasi
dini?
Pemerintah
dan masyarakat juga harus mewaspadai upaya penyebaran faham radikalisme
melalui jejaring sosial seperti Facebook, Twitter, dan Youtube. Laporan
terbaru PBB menyebutkan bahwa teknologi sosial media ini digunakan oleh para
ekstremis yang melek teknologi untuk menyebarkan propaganda. Salah satunya
adalah penayangan ceramah dari pemimpin Al-Qaeda Anwar al-Awlaki di Youtube.
Metode ini terbukti telah mempengaruhi Quazi Mohammad Rezwanul Ahsan Nafis
asal Bangladesh untuk merencanakan pengeboman The Fed.
Di Indonesia,
tertangkapnya beberapa teroris seperti Farhan dkk dan Muhammad Thorik dkk,
yang terlibat aksi-aksi terorisme pada Agustus-September lalu, yang ternyata
menamakan kelompok mereka sebagai Al-Qaeda Indonesia, tidakkah itu
menunjukkan mereka terpengaruh (baik langsung maupun tak langsung) oleh
organisasi teroris global Al-Qaeda? Tak bisa tidak, kita harus mendukung
gerakan deradikalisasi dari segala sisi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar