Harga Layak
Keringat Buruh
M Hadi Shubhan ; Doktor Ilmu Hukum; Ahli
Hukum Perburuhan di Fakultas Hukum Universitas Airlangga
|
JAWA
POS, 23 November 2012
GELOMBANG protes
buruh/pekerja terhadap penetapan kebijakan upah minimum terus mengalir di
berbagai kota besar di Indonesia. Terakhir, demo besar-besaran melanda Kota
Surabaya, ibu kota Provinsi Jawa Timur, yang menuntut upah minimum ditetapkan
sebesar 150 persen dari nilai survei kebutuhan hidup layak atau KHL (Jawa Pos, 19 November 2012). Jika setiap
tahun terus-menerus terjadi demo menuntut upah layak, berarti ada sesuatu
yang salah dalam sistem kebijakan pengupahan buruh, terutama pada aspek
regulasi pemerintah.
Sesuai UU Ketenagakerjaan, setiap tahun gubernur menetapkan besaran upah minimum di wilayah provinsi. Penetapan gubernur tersebut selama ini sering hanya didasarkan pada nilai KHL. Sementara itu, jumlah komponen sebagai dasar KHL juga sangat minim dan bahkan tidak meng-cover kebutuhan riil pekerja. Selama ini, hanya ada 46 komponen yang dijadikan patokan untuk survei KHL. Padahal, secara riil, setidaknya untuk dapat hidup layak, buruh membutuhkan tidak kurang dari 100 komponen kebutuhan dasar. Pada 2012 ini, Menakertrans mengeluarkan regulasi baru (Permenakertrans No 13 Tahun 2012) yang menaikkan jumlah komponen KHL yang semula sejumlah 46 menjadi 60 komponen. Namun, beleid pemerintah itu hanya siasat untuk meredam gejolak buruh yang berunjuk rasa besar-besaran di kawasan Jabodetabek yang sampai memblokade jalan tol Jakarta-Tangerang. Dikatakan siasat karena penambahan 14 komponen baru itu sangat tidak signifikan menaikkan besaran angka KHL. Bahkan, sebaliknya, bisa jadi di beberapa kota nilai KHL malah menurun karena komponen minyak tanah diganti komponen gas elpiji. Jika Menakertrans memiliki visi untuk memperbaiki pengupahan buruh, komponen KHL tersebut harus dirombak total. Selama komponen KHL masih seperti sekarang, yang terjadi adalah benturan kepentingan antara pengusaha dan buruh dan yang terjepit adalah gubernur selaku pejabat yang menetapkan kebijakan. Rekor Tertinggi 2013 Ada perkembangan yang cukup menarik. Upah minimum 2013 yang akan ditetapkan akhir tahun ini menunjukkan perkembangan yang progresif. Di beberapa kota besar, dewan pengupahan telah mengusulkan lebih besar dari nilai KHL. Untuk DKI Jakarta, dewan pengupahan mengusulkan angka Rp 2.216.243 yang berarti naik 40 persen dari upah minimum tahun sebelumnya Rp 1.529.150. Kenaikan itu disetujui Gubernur Jokowi Rp 2.200.000. Demikian pula di Kota Surabaya dan sekitarnya, dewan pengupahan mengusulkan angka Rp 1.567.000 yang berarti naik hampir 25 persen dari upah minimum tahun sebelumnya Rp 1.257.000. Kenaikan besaran upah minimum tersebut merupakan rekor tertinggi selama ini. Sebab, biasanya kenaikan besaran upah minimum tidak sampai dua digit. Kenaikan yang cukup besar itu tidak melanggar ketentuan karena menurut Permenakertrans No 01/1999 juncto Kepmenakertrans No 226/2000 besaran upah minimum tidak hanya didasarkan pada KHL, melainkan didasarkan pada enam hal. Yakni, kebutuhan, indeks harga konsumen, kemampuan dan kelangsungan perusahaan, upah pada umumnya yang berlaku di daerah tertentu dan antardaerah, kondisi pasar kerja, serta tingkat perkembangan perekonomian dan pendapatan per kapita. Selama ini, sering terjadi salah persepsi oleh kalangan penguasa serta pengusaha bahwa upah minimum hanya didasarkan pada kebutuhan dan indeks harga konsumen (yang sekarang disebut KHL). Hal itu mengakibatkan tingkat kenaikan upah yang sangat melambat serta kecil. Dan yang sering, kenaikan hanya pada kisaran angka inflasi yang tidak lebih dari satu digit. Ketika upah buruh dinaikkan secara layak dan manusiawi, hal itu sering dijadikan alasan oleh pengusaha untuk akan menutup perusahaannya karena upah buruh sangat membebani pengeluaran perusahaan dan pada gilirannya membangkrutkan perusahaan. Alasan tersebut tentu tidak sepenuhnya benar. Sebab, tidak pernah ada teori ekonomi apa pun yang menjelaskan bahwa semakin besar gaji para pekerja dan profesionalnya, perusahaan tersebut akan semakin bangkrut. Faktanya malah sebaliknya, perusahaan-perusahaan raksasa, baik nasional maupun internasional, memberikan remunerasi yang sangat baik kepada pekerja dan profesionalnya sebelum mereka menjadi perusahaan raksasa. Upah yang baik sebenarnya akan menguntungkan kedua pihak, baik pengusaha maupun pekerja. Demikian pula sebaliknya, upah yang tidak manusiawi justru akan merugikan kedua pihak. Upaya perusahaan untuk menekan upah pekerjanya justru akan menjadi bumerang bagi perusahaan. Sebab, upah yang tidak layak akan dibalas dengan produktivitas yang rendah. Itu berarti upah murah identik dengan kontraproduktif. Bukankah ini bisa mengerem pertumbuhan ekonomi yang beberapa tahun belakangan konsisten di atas 6 persen? Bagi perusahaan-perusahaan yang tidak mampu membayar upah minimum, disediakan mekanisme sesuai peraturan melalui penangguhan upah minimum dengan syarat-syarat tertentu. Sementara itu, perusahaan yang memang benar-benar tidak memiliki prospek usaha yang baik akan terseleksi secara alamiah. Saya bersepakat, jika setelah upah buruh diberikan secara layak dan manusiawi, produktivitas buruh harus ditingkatkan. Dengan demikian, untuk Bapak Gubernur yang terhormat, jangan ragu untuk menetapkan kebijakan upah minimum yang layak dan manusiawi pada 25 November lusa. Upah yang layak dan manusiawi akan menguntungkan perusahaan karena produktivitas buruh akan meningkat, akan menguntungkan buruh karena bisa hidup layak beserta keluarganya, akan menguntungkan perekonomian karena roda sektor riil bergerak, dan pada akhirnya akan membuat tersenyum semua masyarakat Indonesia. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar