Komedi
Pendidikan
Rumongso ; Guru SD Djama’atul Ichwan, Solo, Jawa Tengah
|
KOMPAS,
24 November 2012
Di samping tragedi
pendidikan sebagaimana ditulis Sidharta Susila, pendidik dari Muntilan, dua
bulan lalu di rubrik ini, dunia pendidikan kita juga menghasilkan komedi.
Komedi
satir atas dunia pendidikan di Indonesia muncul dalam banyak hal sehingga
timbul dugaan bahwa pemerintah tidak memiliki desain besar untuk mengelola
dunia pendidikan. Wacana demi wacana bermunculan tanpa ada eksekusi akhir
yang komprehensif sehingga tidak menimbulkan korban: guru, anak didik, dan
masa depan bangsa.
Saat
generasi muda ditengarai kehilangan jati diri sebagai manusia Indonesia,
pemerintah memunculkan wacana pentingnya pendidikan karakter bagi anak di-
dik. Guru diminta menanamkan sikap dan budi pekerti yang luhur kepada anak
didik: jujur, disiplin, bertanggung jawab, cinta tanah air, kerja sama, dan
seterusnya. Ini lelucon yang tidak lucu sebab seolah-olah pemerintah
mengabaikan peran membentuk karakter anak didik. Sudah jadi tugas seorang
guru menanamkan sikap dan budi pekerti yang luhur kepada anak didik.
Guru
dianggap tukang sulap: mampu membuat sesuatu dalam sekejap. Ia juga dianggap
tukang servis mental bagi anak didik. Padahal, luntur, rapuh dan hilangnya
jati diri serta karakter anak didik bukan disebabkan kelalaian guru. Ini
masalah sangat kompleks dan tak dapat sepenuhnya diserahkan kepada guru untuk
menanganinya.
Memang
tak dapat dimungkiri bahwa guru berperan penting dalam memengaruhi karakter
anak didiknya. Yang harus diingat, dalam kurun 24 jam, anak-anak ha- nya
sekitar enam jam di bawah pengasuhan guru. Selebihnya anak-anak diasuh
”guru-guru lain”: televisi, internet, lingkungan, teman sebaya.
Penetrasi
televisi dan internet demikian kuat. Pemerintah lupa dengan fungsinya memberi
aturan yang jelas dan tegas dalam kaidah bagi dunia pertelevisian dan
internet. Gambaran anakanak sekolah, pergaulan remaja dalam sinetron di
televisi yang tidak berpijak pada akar budaya bangsa adalah salah satu bukti
bahwa pemerintah gagal menjalankan fungsinya melindungi anak-anak dari
hal-hal buruk.
Jika
aturan tegas ditegakkan tanpa peduli terhadap kekuatan kekuasaan stasiun
televisi, dalam skala minimal anak-anak dapat diselamatkan dari pengaruh
buruk hiburan di televisi.
Lalu,
pemerintah mewacanakan pendidikan antikorupsi di se- kolah dan akan jadi mata
kuliah wajib di perguruan tinggi. Ini juga komedi pendidikan. Dunia
pendidikan selalu mengajarkan sikap jujur kepada anak didiknya. Tak satu guru
pun di muka bumi ini yang tak menanamkan kebaikan kepada anak didiknya. Saya
sudah puluhan tahun sebagai guru. Anak didik saya yang masih usia SD adalah
anak-anak yang lugu. Semua budi baik yang saya tanamkan kepada mereka dilaksa-
nakan. Saya yakin di tingkat SMP, SMA, bahkan perguruan tinggi, hal-hal itu
selalu ditanamkan.
Masalah
timbul manakala mereka terjun di tengah-tengah masyarakat dengan ragam
profesi. Ada yang menjadi polisi, jaksa, hakim, advokat, pengusaha, atau
pegawai negeri. Jika ternyata ada di antara mereka yang berperilaku korup
saat terjun di tengah masyarakat, solusinya bukan lewat pendidikan
antikorupsi di sekolah dan bangku kuliah. Namun, lewat penegakan hukum yang
jelas dan tegas kepada pelaku korupsi itu.
Buat
aturan yang tegas, hukum berat koruptor, miskinkan koruptor, sita harta hasil
korupsi adalah salah satu cara mengatasi korupsi. Ketika hukum sedemikian
ramah kepada perilaku korup, jangan harap korupsi akan hilang dari bumi
Indonesia meski anak didik dijejali dengan pendidikan antikorupsi. Jika para
koruptor dijatuhi hukuman mati, maka tak usah dibentuk KPK. Tak ada gunanya
kurikulum antikorupsi dalam situasi kekinian Indonesia.
Pendidikan
itu soal hati. Yang paling penting adalah implementasi di lapangan. Di bangku
kuliah mahasiswa diajari pendidikan antikorupsi, tetapi saat mereka hendak
menjadi PNS, jaksa, hakim, polisi, semua harus lewat ”menyuap”. Bagi yang
terjun sebagai pengusaha: untuk sukses mendapat proyek, juga lewat cara-cara
korup dengan menyuap para pejabat. Logika Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan tidak nyambung dengan realitas di lapangan. Kalangan pendidik
harus dilibatkan dan publik harus menguji keefektifan rencana itu.
Komedi
pendidikan yang tidak lucu berikutnya adalah mengenai uji kompetensi guru
(UKG) yang membuat jantung guru berdetak keras. Apa urgensi pemerintah
melaksanakan UKG bagi guru yang sudah sertifikasi?
Pemerintah
seolah-olah ragu dengan langkah yang dilakukan dalam program sertifikasi.
Pemerintah sendiri yang menentukan parameter sertifikasi, panduan
sertifikasi, mekanisme sertifikasi. Semua sudah berjalan lancar. Lalu
pemerintah mengeluarkan kebijakan UKG setelah melihat tidak ada perubahan
kompetensi guru antara sebelum dan sesudah sertifikasi. Komedinya tak lucu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar