PLN, Maju Kena
Mundur Kena
Danni Irawan ; Penulis
Buku ‘KICKOFF Dimulai Ketika Listrik Setara Oksigen’
|
SUARA
KARYA, 22 November 2012
Dalam satu
bulan terakhir masyarakat disuguhi berita tentang terjadinya inefisiensi di
tubuh PT PLN dimasa kepemimpinan Dahlan Iskan. Isu inefisiensi menjadi topik
utama seluruh media di tanah air baik cetak maupun televisi.
Isu ini nyaris
membuat orang lupa bahwa negeri ini sebenarnya belum genap dua tahun terbebas
dari krisis listrik. Dalam satu dekade terakhir hingga 29 Juni 2010,
masyarakat menghadapi pemadaman bergilir yang berangsur-angsur menjadi
penyalaan bergulir. Nyaris seluruh pelosok nusantara kala itu mengalami
krisis listrik yang luar biasa dan di Indonesia Bagian Timur hidup dengan
listrik yang "nyala-padam-nyala-padam". Di Sumatera Utara,
pemadaman listrik diibaratkan seperti minum obat tiga kali sehari, bahkan
Jawa Bali termasuk ibu kota negarapun tidak luput dari krisis listrik di tahun
2009 akibat meledaknya Gardu Induk Cawang.
Sedemikian
parahnya krisis listrik demonstrasi terjadi di mana-mana dan sumpah serapah
menghiasi media massa setiap hari. Di beberapa daerah di tanah air,
demonstrasi massa sudah menjurus ketindakan anarkis, tidak ada lagi karyawan
PLN yang berani menggunakan uniform PLN di tempat-tempat umum. Secara
sarkastis, ada yang menilai bahwa PLN lebih tepat disebut "Perusahaan Lilin Negara".
Sungguh sebuah ironi, rakyat tidak mau tahu bahwa insan PLN sebenarnya telah
bekerja keras untuk menyiapkan dan menjaga seluruh sudut negeri agar tetap
bisa menyala. Saat itu tidak ada lagi hari libur buat PLN, bahkan seluruh
direksi PLN pun hampir tidak pernah merasakan hari libur.
Tidak heran
kalau CEO PLN, Dahlan Iskan beserta seluruh direktur operasi PLN telah
mengelilingi seluruh tanah air sampai ke daerah-daerah terpencil bahkan yang
sulit sekali dijangkau dengan kendaraan bermotor. Itu, bertujuan untuk
memetakan daerah krisis listrik, sekaligus untuk mengetahui dan ikut merasakan
bagaimana sulit dan beratnya kehidupan sebagian rakyat Indonesia yang belum
menikmati listrik. Yah, bangsa ini memang telah merdeka sejak lebih dari 60
tahun lalu, tetapi sampai dengan tahun 2009 ratio elektrifikasi nasional
belum mencapai 70 persen.
Akibat krisis
listrik, sebagian masyarakat sudah kehilangan kesabaran, sehingga nilai-nilai
budaya bangsa dan agama tidak diperdulikan lagi. Krisis listrik bisa membuat
orang tidak rasional lagi, karenas sangat parah dan akut. Dengan demikian
harus ditangani dengan super serius dan skala prioritas tertinggi. Pada 30
Juni 2010, Dahlan Iskan menyatakan sebagai batas akhir pemadaman listrik di
Indonesia.
Sulit
dibayangkan dan mungkin tidak logis, bagaimana mungkin krisis listrik yang
telah terjadi lebih dari lima tahun dalam sebuah negara sedemikian luas,
terdiri dari ribuan pulau, baik kecil maupun besar dapat diselesaikan hanya
dalam waktu kurang dari enam bulan?
Dalam sejarah
kepemimpinan PLN, keputusan Dahlan Iskan adalah ahistoris, tidak pernah
terjadi sebelumnya. Selain berisiko tinggi, penambahan jumlah dan kapasitas
mesin pembangkit listrik skala besar juga tidak mudah dan memerlukan waktu
minimal dua hingga tiga tahun. Di sisi lain, adalah persoalan lahan yang
membutuhkan waktu lebih dari enam bulan, bahkan bisa bertahun-tahun.
Masalah lain
yang dihadapi dimasa krisis tersebut, PLN juga dihadapkan kepada persoalan
sulitnya mendapatkan bahan bakar yang murah dan ramah lingkungan, yaitu gas.
Sehingga beberapa mesin pembangkit listrik tenaga gas dan uap (PLTGU)
terpaksa harus minum solar. Terus, juga tidak kalah pentingnya stop pemadaman
bergilir bagi PLN, adalah mendapatkan persetujuan kenaikan tarif dasar
listrik (TDL) dari DPR RI sebagai salah satu syarat yang diminta oleh DPR RI
untuk kenaikan TDL yaitu bebas pemadaman listrik.
Setelah 30 Juni
2010, benar-benar tidak ada lagi pemadaman listrik. Besok harinya, 1 Juli
2010, DPR RI benar-benar menyetujui kenaikan TDL. Presiden RI Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY) kemudian mendeklarasikan bebas pemadaman bergilir di seluruh
pelosok tanah air pada 27 Juli 2010 di Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB).
Setelah program
pembebasan krisis listrik sukses, program berikutnya yang tidak kalah gilanya
adalah program Go Grasss, atau
program sejuta sambungan listrik pada tanggal 27 Oktober 2010. Program ini
bukan hanya untuk menyelesaikan daftar tunggu penyambungan baru tahap
pertama, tetapi sesungguhnya jiwa dari program ini adalah perubahan paradigma
bagi PLN dan seluruh masyarakat bahwa untuk mendapatkan listrik itu sebenarnya
murah dan tidak sulit, sekaligus mensahkan pelanggan siluman menjadi
pelanggan resmi PLN. Program ini kemudian dilanjutkan pada tahun 2011 dengan
slogan habiskan daftar tunggu. Namun, kegiatan Go Grasss ini kemudian menjadi inspirasi peningkatan sistem pelayanan
PLN yang telah lama tertidur akibat krisis listrik yang berkepanjangan.
Berita tentang inefisiensi di tubuh PLN akibat penaggulangan krisis listrik
di tanah air menimbulkan beragam pertanyaan di masyarakat, "Ada krisis baru lagi yaa di
PLN?," kata sebagian orang awam. Jangan-jangan ini hanya berita
akal-akalan saja, "bukankah semua
juga tahu" bahwa cara penyelesaian krisis listrik harus dengan
menambah pembangkit listrik. Tapi kalau menambah pembangkit listrik, kan
tidak mudah dan memerlukan waktu yang lama. Hal inipun semua juga tahu.
Kalau begitu, untuk mempercepat
penanggulangannya harus dengan sewa mesin. Kebijakan yang terpaksa dilakukan
ini kan pasti menggunakan bahan bakar yang mahal (solar), "kebijakan itu semua juga tahu
kok". Kalau begitu kenapa baru diributkan sekarang? "Bukankah semua juga sudah tahu".
Tetapi, memang sudah nasib bagi PLN, "maju kena mundur kena". ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar