Jumat, 23 November 2012

PLN, Maju Kena Mundur Kena


PLN, Maju Kena Mundur Kena
Danni Irawan ;  Penulis Buku ‘KICKOFF Dimulai Ketika Listrik Setara Oksigen’
SUARA KARYA, 22 November 2012

Dalam satu bulan terakhir masyarakat disuguhi berita tentang terjadinya inefisiensi di tubuh PT PLN dimasa kepemimpinan Dahlan Iskan. Isu inefisiensi menjadi topik utama seluruh media di tanah air baik cetak maupun televisi.
Isu ini nyaris membuat orang lupa bahwa negeri ini sebenarnya belum genap dua tahun terbebas dari krisis listrik. Dalam satu dekade terakhir hingga 29 Juni 2010, masyarakat menghadapi pemadaman bergilir yang berangsur-angsur menjadi penyalaan bergulir. Nyaris seluruh pelosok nusantara kala itu mengalami krisis listrik yang luar biasa dan di Indonesia Bagian Timur hidup dengan listrik yang "nyala-padam-nyala-padam". Di Sumatera Utara, pemadaman listrik diibaratkan seperti minum obat tiga kali sehari, bahkan Jawa Bali termasuk ibu kota negarapun tidak luput dari krisis listrik di tahun 2009 akibat meledaknya Gardu Induk Cawang.
Sedemikian parahnya krisis listrik demonstrasi terjadi di mana-mana dan sumpah serapah menghiasi media massa setiap hari. Di beberapa daerah di tanah air, demonstrasi massa sudah menjurus ketindakan anarkis, tidak ada lagi karyawan PLN yang berani menggunakan uniform PLN di tempat-tempat umum. Secara sarkastis, ada yang menilai bahwa PLN lebih tepat disebut "Perusahaan Lilin Negara". Sungguh sebuah ironi, rakyat tidak mau tahu bahwa insan PLN sebenarnya telah bekerja keras untuk menyiapkan dan menjaga seluruh sudut negeri agar tetap bisa menyala. Saat itu tidak ada lagi hari libur buat PLN, bahkan seluruh direksi PLN pun hampir tidak pernah merasakan hari libur.
Tidak heran kalau CEO PLN, Dahlan Iskan beserta seluruh direktur operasi PLN telah mengelilingi seluruh tanah air sampai ke daerah-daerah terpencil bahkan yang sulit sekali dijangkau dengan kendaraan bermotor. Itu, bertujuan untuk memetakan daerah krisis listrik, sekaligus untuk mengetahui dan ikut merasakan bagaimana sulit dan beratnya kehidupan sebagian rakyat Indonesia yang belum menikmati listrik. Yah, bangsa ini memang telah merdeka sejak lebih dari 60 tahun lalu, tetapi sampai dengan tahun 2009 ratio elektrifikasi nasional belum mencapai 70 persen.
Akibat krisis listrik, sebagian masyarakat sudah kehilangan kesabaran, sehingga nilai-nilai budaya bangsa dan agama tidak diperdulikan lagi. Krisis listrik bisa membuat orang tidak rasional lagi, karenas sangat parah dan akut. Dengan demikian harus ditangani dengan super serius dan skala prioritas tertinggi. Pada 30 Juni 2010, Dahlan Iskan menyatakan sebagai batas akhir pemadaman listrik di Indonesia.
Sulit dibayangkan dan mungkin tidak logis, bagaimana mungkin krisis listrik yang telah terjadi lebih dari lima tahun dalam sebuah negara sedemikian luas, terdiri dari ribuan pulau, baik kecil maupun besar dapat diselesaikan hanya dalam waktu kurang dari enam bulan?
Dalam sejarah kepemimpinan PLN, keputusan Dahlan Iskan adalah ahistoris, tidak pernah terjadi sebelumnya. Selain berisiko tinggi, penambahan jumlah dan kapasitas mesin pembangkit listrik skala besar juga tidak mudah dan memerlukan waktu minimal dua hingga tiga tahun. Di sisi lain, adalah persoalan lahan yang membutuhkan waktu lebih dari enam bulan, bahkan bisa bertahun-tahun.
Masalah lain yang dihadapi dimasa krisis tersebut, PLN juga dihadapkan kepada persoalan sulitnya mendapatkan bahan bakar yang murah dan ramah lingkungan, yaitu gas. Sehingga beberapa mesin pembangkit listrik tenaga gas dan uap (PLTGU) terpaksa harus minum solar. Terus, juga tidak kalah pentingnya stop pemadaman bergilir bagi PLN, adalah mendapatkan persetujuan kenaikan tarif dasar listrik (TDL) dari DPR RI sebagai salah satu syarat yang diminta oleh DPR RI untuk kenaikan TDL yaitu bebas pemadaman listrik.
Setelah 30 Juni 2010, benar-benar tidak ada lagi pemadaman listrik. Besok harinya, 1 Juli 2010, DPR RI benar-benar menyetujui kenaikan TDL. Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) kemudian mendeklarasikan bebas pemadaman bergilir di seluruh pelosok tanah air pada 27 Juli 2010 di Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB).
Setelah program pembebasan krisis listrik sukses, program berikutnya yang tidak kalah gilanya adalah program Go Grasss, atau program sejuta sambungan listrik pada tanggal 27 Oktober 2010. Program ini bukan hanya untuk menyelesaikan daftar tunggu penyambungan baru tahap pertama, tetapi sesungguhnya jiwa dari program ini adalah perubahan paradigma bagi PLN dan seluruh masyarakat bahwa untuk mendapatkan listrik itu sebenarnya murah dan tidak sulit, sekaligus mensahkan pelanggan siluman menjadi pelanggan resmi PLN. Program ini kemudian dilanjutkan pada tahun 2011 dengan slogan habiskan daftar tunggu. Namun, kegiatan Go Grasss ini kemudian menjadi inspirasi peningkatan sistem pelayanan PLN yang telah lama tertidur akibat krisis listrik yang berkepanjangan. Berita tentang inefisiensi di tubuh PLN akibat penaggulangan krisis listrik di tanah air menimbulkan beragam pertanyaan di masyarakat, "Ada krisis baru lagi yaa di PLN?," kata sebagian orang awam. Jangan-jangan ini hanya berita akal-akalan saja, "bukankah semua juga tahu" bahwa cara penyelesaian krisis listrik harus dengan menambah pembangkit listrik. Tapi kalau menambah pembangkit listrik, kan tidak mudah dan memerlukan waktu yang lama. Hal inipun semua juga tahu.
Kalau begitu, untuk mempercepat penanggulangannya harus dengan sewa mesin. Kebijakan yang terpaksa dilakukan ini kan pasti menggunakan bahan bakar yang mahal (solar), "kebijakan itu semua juga tahu kok". Kalau begitu kenapa baru diributkan sekarang? "Bukankah semua juga sudah tahu". Tetapi, memang sudah nasib bagi PLN, "maju kena mundur kena".

Tidak ada komentar:

Posting Komentar