Jumat, 23 November 2012

Dongeng untuk Pemimpin


Dongeng untuk Pemimpin
Toeti Prahas Adhitama ;  Anggota Dewan Redaksi Media Group
MEDIA INDONESIA, 23 November 2012
  
KALAU kita bertanya, siapa calon presiden yang akan datang, kebanyakan akan menggelengkan kepala karena belum menentukan pilihan atau karena belum tahu siapa-siapa yang akhirnya akan maju/diajukan sebagai calon. Bahkan para anggota partai politik umumnya terkesan belum seia sekata tentang calon masing-masing. Secara gampangnya, kita menyimpulkan sedang terjadi krisis pemimpin. Bukan hanya karena calon-calon pemimpin yang ideal belum tampak hadir, melainkan banyak di antara mereka, yang sekarang dianggap atau menyebut diri pemimpin pun, berperilaku tidak sesuai dengan atribut. Manajemen di berbagai lembaga pemerintah maupun swasta yang rancu telah mengganggu sistem yang memungkinkan penyelewengan besar dan kecil. Tidak henti-hentinya kita berwacana tentang masalah-masalah yang mengesalkan ini. Sampai kapan?
Kesemrawutan manajemen bukan monopoli Indonesia. Di mana pun selalu ada, walaupun bentuk dan kadarnya berbeda-beda. Kita sendiri tidak henti-henti meng alaminya. Ratusan tahun penjajahan, puluhan tahun perjuangan kemerdekaan, disusul dengan puluhan tahun proses pemilihan sistem sosial-politik-ekonomi--agar sesuai dengan tradisi dan karakter bangsa--tampaknya belum juga berhasil mengajarkan manajemen kemasyarakatan yang memadai. Frustrasi kita diperberat oleh pengaruh perkembangan di luar, yang akibat-akibatnya membuat banyak di antara kita menjadi salah tingkah.
Petruk Jadi Raja
Di masa lalu, ketika dunia belum mengenal demoskratos, wacana-wacana yang menandakan kekesalan rakyat tidak bisa diungkap terangterangan. Feodalisme dan otoriterisme tidak memungkinkannya. Toh, rakyat waktu itu tidak kekurangan akal untuk melakukan pembenahan. Semaraklah dongeng-dongeng binatang atau fabel maupun bentuk-bentuk lain yang tujuannya mengingatkan atau menyindir yang bertindak tidak pada tempatnya.
Tersebutlah antara lain dongeng gagak dan serigala. Karena ego dan kecongkakannya, burung gagak yang gemar puja-puji akhirnya kehilangan daging yang dijepit paruhnya karena serigala licik memuji betapa merdu suara sang gagak. Dari tempatnya hinggap di pohon tinggi, si gagak langsung membuka paruhnya. Jatuhlah daging yang segera dibawa lari serigala yang cerdik. Pesan moralnya: para pemimpin jangan terlena oleh puja-puji yang membuatnya bisa banyak merugi, apakah secara pribadi atau bagi negara. Antara lain, misalnya, untuk pujian bahwa demokrasi kita paling maju di kawasan ini, bagaimana menafsirkannya? Apa kemungkinan yang ada di balik pujian itu?
Dongeng lain, yang pas untuk zaman sekarang, dipetik dari kisah Mahabharata, Petruk Jadi Raja. Dongeng itu mengisahkan apa jadinya bila tokoh yang serbakurang dari segi integritas moral dan intelektual, maupun merasa kurang kekayaan materi, mendapat kesempatan berkuasa. Tingkah lakunya membuat malu masyarakat sekitar, tetapi dia sendiri tidak menyadari. Itulah yang dilakukan sebagian oknum di jajaran yang berkuasa sekarang, yang membuat negara merugi luar biasa. Namun, proses penyelesaiannya berlarut-larut.
Kita tentu bertanya-tanya, apa persoalannya? Hukum yang pekat dan padat rupanya sulit diurai. Kelambanan itu mungkin akibat dari kebiasaan kita mengikuti perintah, baik oleh penjajah dan/atau oleh kekuasaan.
Kepemimpinan Dalam Kebebasan
Kebebasan yang hadir secara konkret dalam bentuk kebebasan berekspresi tidak mungkin ditarik kembali. Inilah hasil perjuangan puluhan tahun, yang awalnya terinspirasi oleh suara jalanan. Tidak mudah menjadi pemimpin di masyarakat yang telah mengenyam kebebasan seperti itu, yang tidak segan-segan menyatakan, jauh lebih baik memiliki pemimpin yang bisa diandalkan akan mengambil langkah tepat dalam waktu cepat daripada pemimpin yang brilian, berselera, berpendidikan tinggi, dan mampu membuat perencanaan yang jitu, tetapi tidak mampu melaksanakannya. Mungkin kemenangan Jokowi-Ahok di pemilu kada DKI menggambarkan spirit tersebut.
Memang banyak persyaratan yang dituntut dari seorang pemimpin. Demikian banyak dan sering saling bertentangan sehingga hampir-hampir tidak mungkin ada pemimpin yang sempurna; ‘tidak ada gading yang tak retak’, kata pepatah. Misalnya, kalau kita kaji Pandawa Lima, lima tokoh pemimpin dalam epik Mahabharata, siapa yang bisa disebut sempurna?
Yudhistira, yang tertua, murah senyum, lembut, dan bijaksana. Penonton tidak banyak bertanya tentang dia, sekalipun tahu dia pemimpin. Lalu Bhima yang lugas, jujur, terkesan garang dan gampang berang, tetapi hatinya lembut. Setelah tontonan wayang selesai, penonton akan mengingatnya sebagai kesatria dan perwira. Yang menjadi tokohnya para tokoh ialah Arjuna. Dia sanggup mengatasi kericuhan apa pun yang dihadapi negara. Kelemahannya hanya satu, perempuan. Tetapi, penonton tidak mengecamnya, malahan mengingatnya dengan rasa sayang. Perasaan itu yang barangkali kita miliki untuk Bung Karno. Yang terakhir si kembar Nakula-Sadewa, dua kesatria pendamping Yudhistira. Tidak jelas pencapaian mereka, tetapi mereka bagian dari jajaran pimpinan.
Yang tidak kalah penting ialah peran para punakawan, antara lain Petruk, Gareng dan Semar. Mereka pun pemimpin karena mewakili rakyat banyak, menyerap aspirasi rakyat, dan meneruskannya kepada para kesatria yang berkuasa. Sebagai punakawan, banyak kebijaksanaan yang tersirat dalam sikap dan perilaku serta kata-kata mereka. Semoga demikian pengejawantahannya sekarang dalam Dewan Perwakilan Rakyat--himpunan pemimpin-pemimpin harapan untuk masa depan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar