Membenahi
Pengelolaan Migas
Pri Agung Rakhmanto ; Dosen
Fakultas Teknologi Kebumian dan Energi Universitas Trisakti; Pendiri ReforMiner Institute
|
KOMPAS,
23 November 2012
Mahkamah Konstitusi melalui putusan Nomor
36/PUU-X/2012 membubarkan Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas
Bumi pada 13 November 2012. MK menilai keberadaan BP Migas inkonstitusional
karena mengonstruksikan kondisi-kondisi yang tidak sesuai dengan amanat
konstitusi UUD 1945, khususnya Pasal 33.
Pertama, MK menilai bahwa keberadaan BP
Migas sebagai organ pemerintah dengan status badan hukum milik negara (BHMN)
mendegradasi makna penguasaan negara atas migas. Penguasaan negara menjadi
tidak langsung sehingga tidak dapat memaksimalkan hasil untuk kemakmuran
rakyat. BP Migas hanya boleh mengawasi dan mengendalikan, tetapi tidak
(dapat) mengelola migas langsung karena BP Migas bukan badan usaha milik
negara (BUMN).
Kedua, MK menilai keberadaan BP Migas mengakibatkan
negara kehilangan kewenangan mengelola atau menunjuk langsung BUMN untuk
mengelola migas. Padahal, fungsi pengelolaan secara langsung—dengan melakukan
kegiatan usaha hulu migas secara langsung—menurut MK, adalah bentuk
penguasaan negara pada peringkat pertama dan paling utama untuk mencapai
kemakmuran rakyat.
MK mengamanatkan agar pemerintah dapat
segera menata ulang pengelolaan migas dengan berpijak pada ”penguasaan oleh
negara” yang berorientasi penuh pada upaya ”manfaat yang sebesar-besarnya bagi
rakyat”.
Sebenarnya sudah sangat jelas apa yang
harus dilakukan pemerintah untuk menjalankan putusan dan amanat MK setelah
masa transisi sekarang. Pemerintah harus membentuk struktur kelembagaan hulu
migas baru yang mengonstruksikan bentuk penguasaan negara atas migas pada
tingkat pertama, yang tidak menghalangi kewenangan negara menunjuk BUMN
mengelola dan menjalankan kegiatan usaha hulu migas secara langsung.
Perusahaan Negara
Dapat dikatakan bahwa pilihan ke depan—yang
konstitusional— hanya dua. Pertama, pemerintah menunjuk BUMN di bidang (hulu)
migas yang ada untuk melakukan itu. Kedua, pemerintah mendirikan perusahaan
hulu migas negara (baru) untuk melakukan kegiatan usaha hulu migas secara
langsung.
Dalam konteks ini, pola pikir kita harus
berubah: bahwa sesungguhnya yang kita perlukan adalah sebuah perusahaan hulu
migas untuk menjalankan kegiatan usaha migas secara langsung. Jika dalam
melakukan kegiatan usaha itu perusahaan hulu migas negara yang ditunjuk tidak
sepenuhnya mampu, maka dapat bekerja sama dengan pihak lain.
Dalam konteks kerja sama inilah kemudian
fungsi pengawasan dan pengendalian—yang selama ini dijalankan BP Migas dengan
sistem kontrak kerja sama—diperlukan. Jadi, tingkat pengawasan dan
pengendalian sebenarnya hanya pada tingkat manajemen operasi kegiatan usaha,
seperti perusahaan mengawasi rekanan atau kontraktornya (business to
business/B to B). Maka, yang diperlukan badan usaha negara, bukan organ
pemerintah.
Kita sebenarnya telah memiliki Pertamina
sehingga tak harus mendirikan dari nol. Cikal bakal perusahaan hulu migas
negara yang dimaksud juga telah ada, yaitu Pertamina Hulu Energi (PHE) dan
Pertamina Eksplorasi Produksi (PEP).
Keduanya saat ini merupakan anak usaha
PT Pertamina (Persero). Namun, kita tak ingin pengalaman ”pahit” di mana
pemusatan semua aktivitas migas, baik di hulu, tengah, dan hilir, ada pada
Pertamina. Oleh karena itu, sebelum menetapkan keduanya sebagai representasi
dari negara dalam pengelolaan migas, pemerintah perlu terlebih dahulu
merestrukturisasi PT Pertamina (Persero).
PHE dan PEP sebaiknya dikeluarkan—tidak
lagi menjadi anak usaha—dari PT Pertamina (Persero) dan menjadi dua
perusahaan hulu migas negara yang secara langsung dan khusus (lex specialis) berada di bawah
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Keduanya dapat menjadi
manifestasi amanat putusan MK tentang penguasaan dan pengelolaan migas yang
konstitusional. PEP dapat berfungsi sebagai perusahaan hulu migas negara yang
mengelola blok-blok migas secara mandiri.
Sementara PHE menjadi perusahaan hulu migas
negara yang khusus mengelola blok-blok migas yang dikerjasamakan dengan pihak
lain melalui kontrak kerja sama, semacam ”BP
Migas baru” tetapi berbentuk badan usaha.
Sumber daya (manusia) yang sangat berharga
pada institusi eks BP Migas dapat menjadi tulang punggung kedua perusahaan
hulu migas negara tersebut. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar