UU
Perkoperasian Warisan Kolonial
Suroto ; Ketua Lembaga Studi Pengembangan Perkoperasian
|
KOMPAS,
24 November 2012
Sejak koperasi pemula
dideklarasikan sebagai organisasi modern pada pertengahan abad ke-19 di
Eropa, selalu ada penjegalan, baik secara represif maupun terselubung, oleh
kaum kapitalis ataupun fasis.
Kaum
borjuis kapitalis tidak ingin koperasi itu berkembang karena akan mengancam
tujuan akumulasi kapital mereka. Bagi kepentingan rezim fasis, hasil
pendidikan demokrasi koperasi ditakutkan akan mengancam kekuasaannya. Mereka
menyatukan kekuatan untuk menggagalkan koperasi.
Demikian
juga yang terjadi di Indonesia sejak zaman kolonialisme Belanda hingga
sekarang. Upaya penjegalan selalu saja terjadi, baik dalam bentuk produk
regulasi maupun kebijakan.
Koperasi
di Indonesia diperkenalkan oleh de Wolf van Westerrode, Asisten Residen
Purwokerto. Orang muda idealis yang mati muda ini ingin memperkenalkan
koperasi kredit (kopdit) model Raiffisien yang berkembang di Jerman dan
Belanda karena melihat potensi budaya serupa di masyarakat Purwokerto,
misalnya sistem lumbung dan tradisi gotong royong.
Namun,
karena koperasi yang akan dikembangkan melalui tabungan masyarakat itu
berpotensi memandirikan masyarakat pribumi dan menjadi ancaman politik bagi
Pemerintah Hindia Belanda, sejak dini ide koperasi dijegal oleh Residen
Purwokerto pada masa itu dengan kebijakan yang berseberangan.
Sistem
tabungan dan lumbung yang ingin dikembangkan tanpa banyak campur tangan
pemerintah itu dioposisi dengan model Hulp Spaarken Bank (bank berbantuan)
melalui basis pembiayaan dari kas negara.
Dalam
bidang perkoperasian, sampai saat ini kebijakan dan produk-produk regulasi
yang
Mengikuti
konstruksi kebijakan pemerintahan kolonial, koperasi menjadi hilang
kemandiriannya dan tersubordinasi oleh kepentingan kapitalisme dan negara.
Menurut
hasil penelitian Lembaga Studi dan Pengembangan Perkoperasian Indonesia, 70
persen koperasi di Indonesia saat ini tinggal papan nama, 23 persen koperasi
mati suri dan selebihnya koperasi-koperasi mandiri yang mengandalkan dari
kekuatan mereka sendiri.
Koperasi
selalu diidentikkan dengan program pembinaan dan perlu diberdayakan.
Kementerian koperasi selalu saja disandingkan dengan usaha kecil menengah.
Dengan demikian, koperasi selalu dikategorikan sebagai bentuk usaha yang
mengurusi skala bisnis kecil, mikro, dan patut dibina. Sebaliknya, usaha
besar yang dikerjakan banyak dirampok oleh bentuk badan usaha lain.
Sayang,
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian yang baru saja
diundangkan 30 Oktober lalu masih mewarisi tradisi kolonial.
UU
tersebut tidak disusun dengan melihat praktik terbaik dari anggaran dasar dan
rumah tangga koperasi yang berhasil dan mandiri, kemudian membuat
perlindungan bagi mereka. Campur tangan pemerintah dan kepentingan pemilik
modal besar masih terlihat kental.
Per
definisi yang diatur pada Pasal 1 Ayat (1), koperasi diterjemahkan sebagai
badan hukum sebagai subyek yang tidak ada bedanya dengan badan-badan usaha
lainnya. Sehingga landasan dari UU ini adalah asas perseorangan yang
terjemahannya tidak ada bedanya dengan perusahaan seperti persero.
Penyertaan
modal dari luar (Pasal 75) yang tidak ada pembatasnya tentu mengancam
kemandirian koperasi dan menjadikan anggota sebagai obyek pinjaman pemilik
modal besar.
Pengurus
yang dapat dari luar anggota sepenuhnya (Pasal 55) dan pengawas yang
berfungsi sebagai lembaga super body (Pasal 48) bisa dengan mudah mendorong
swastanisasi koperasi dan kepentingan koperasi keluar dari aspirasi
anggotanya.
UU
ini juga tidak jelas apakah bersifat lex generalist (umum) atau lex
spesialist (khusus)karena mengatur hal-hal secara rigid
Undang-undang
ini secara sistemik juga akan mengerdilkan gerakan koperasi karena gerakan
koperasi hanya semata-mata menjadi alat pemerintah dan kepentingan pemilik
modal besar. Di antaranya Pasal 118 tentang pembiayaan gerakan koperasi dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Pasal
yang ada juga banyak yang kontra, nilai-nilai koperasi yang luhur dicantumkan
dalam pasal, tetapi dalam pasal selanjutnya justru nilai itu dilawan. Seperti
nilai demokrasi (Pasal 5 Ayat (1) poin d yang kemudian dioposisi dengan
pencantuman Dewan Koperasi Indonesia sebagai ”wadah tunggal aspirasi” yang
melanggar konstitusi seperti disebut dalam Pasal 115.
Dalam
adagium koperasi, bilamana UU koperasi di satu negara itu buruk, akan lebih
baik bila mana tidak punya UU. Akankah kita biarkan UU ini menjegal koperasi?
●
|
rapatkan barisan, satukan semangat, lanjutkan perjuangan demokratis lewat koperasi yang sehat dan tidak dikooptasi
BalasHapusKita tidak boleh berdiam diri saja.. Gerakan Koperasi Kredit di seluruh Indonesia harus menyikapi secara serius hal ini dan memberikan dukungan konkrit bagi perjuangan LSP2I untuk menggugat UU Perkoperasian terbaru yang telah melencengan dari jiwa koperasi yang sesungguhnya....
BalasHapusSepertinya upaya mengkerdilkan Koperasi sudah terlihat:
BalasHapus- UU 17 thn 2012 membatasi ruang gerak Koperasi, dimana Usaha Koperasi dibatasi tidak boleh lari dari Jenisnya : Koperasi Simpan Pinjam, Koperasi Konsumen, Koperasi Produsen dan Koperasi Jasa, namanya Koperasi Serba Usaha sudah tidak ada lagi padahal saat ini banyak Koperasi yang sudah maju dan besar dengan berbagai unit usaha
- Permenaker 19 thn 2012, tentang Pemborongan Pekerjaan dan Alih Daya jelas-jelas tidak memberikan ruang gerak kepada Koperasi. Di dalam Permenaker tersebut hanya dibolehkan Badan Usaha yang berbadan Hukum Perseroan, padahal Koperasi juga memiliki Badan Hukum yang memiliki kewajiban yang sama di muka hukum di Republik ini.....Dan banyak Koperasi Karyawan yang bergerak pada usaha tersebut.