Mengapa
Koruptor Tidak Kunjung Jera?
Frans H Winarta ; Anggota
Komisi Hukum Nasional (KHN),
Ketua Umum
Persatuan Advokat Indonesia (Peradin)
|
SINDO,
23 November 2012
Sudah lebih dari satu dekade era reformasi dideklarasikan,
tetapi mengapa korupsi begitu bandel dan sulit diberantas, bagaikan penyakit
kronis (chronic illness) yang
menahun dan sulit disembuhkan dengan berbagai cara.
Kita telah mencoba hampir semua teori dan pengalaman dari negara-negara yang sukses menekan jumlah korupsi untuk diterapkan di Indonesia, tetapi rupanya memang ”penyakit” yang satu ini tetap saja bandel dan malah menyebar secara endemik dan sistemik. Berbagai lembaga swadaya masyarakat (LSM) pun didirikan sebagai lembaga independen yang mengawasi segala tindak-tanduk koruptif para pemegang jabatan.Kemudian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dibentuk melalui suatu undang-undang. KPK berdiri karena penanganan kasus korupsi oleh Kepolisian RI dan Kejaksaan RI tidak berjalan dengan baik.Hal tersebut sangat kontras dengan kinerja KPK yang telah menyeret semakin banyak pelaku korupsi ke hadapan meja hijau. Begitu Undang-Undang UU Nomor 20/2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“UU Tipikor”) telah disempurnakan, banyak perkara korupsi disidangkan dengan dakwaan hukuman ringan sampai berat (di atas 10 tahun), tetapi pada implementasinya belum kelihatan korupsi ini akan mereda, seolaholah anjing menggonggong kafilah tetap berlalu. Lalu apa penyebab semua ini? Ada yang mengatakan sistem hukum kita kurang tegas dan kurang ”galak” dalam menghukum koruptor. Banyak yang menginginkan penerapan hukuman mati dijatuhkan agar tercapai efek jera. Ada beberapa pihak yang menyalahkan pemerintah, bahkan penegak hukum dan pengadilan dinilai kurang serius dalam memberantas koruptor yang bandel ini. Lord Acton (1887) mengatakan bahwa “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely”. Ini cocok untuk keadaan waktu itu di Eropa yang sedang bertransisi dari kekuasaan absolut menuju demokrasi.Tetapi di abad ke-21 ini, Aung San Suu Kyi, seorang tokoh demokrasi dan hak-hak asasi manusia dari Myanmar, menyatakan dengan gamblang dan masuk akal: “It is not power that corrupts but fear. Fear of losing power corrupts those who wield it and fear of the scourge of power corrupts those who are subject to it.” Ketakutan akan kehilangan kekuasaan menyebabkan orang yang berkuasa melakukan segala upaya dan daya agar tetap berkuasa dan memegang kendali pemerintahan agar bisa melanggengkan kekuasaannya demi mencapai tujuannya. Hal ini dapat dilihat pada masa sekarang di mana para politisi terlibat dalam money politics untuk melanggengkan kekuasaan dalam memenangi pemilu dan pilkada. Hampir semua partai politik melakukan penggalangan dana yang tidak sesuai dengan aturan main menurut hukum. Segala Cara Melanggengkan Kekuasaan Dari pengalaman yang lalu, baik pemilu presiden, pilkada bupati, maupun gubernur, penggalangan dana kampanye dilakukan secara tidak transparan dan bertentangan dengan undang-undang pemilu dan pilkada. Upaya menang pemilu dan pilkada yang berarti melanggengkan kekuasaan atau memperoleh kekuasaan agar terpilih dan menang dalam pemilu dan pilkada telah menyebabkan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) dan cara-cara membeli suara (vote-rigging) agar memperoleh suara dengan cara berlawanan dengan hukum. Apalagi jika dana yang digunakan berasal dari APBN atau APBD, yang berarti otomatis keuangan negara dirugikan. Penyalahgunaan kekuasaan dilakukan dengan cara penggunaan fasilitas negara, dimana hal ini bisa terjadi karena sulit membedakan apa seorang pejabat yang juga merangkap sebagai pemimpin suatu partai politik bertugas ke daerah, misalnya, apakah dia bertindak selalu pejabat negara atau selaku pemimpin partai politik. Ini mudah terjadi baik secara sadar maupun secara tidak sadar.Keinginan memenangi pemilu atau pilkada itu dapat menimbulkan konflik kepentingan antara kepentingan partai yang berkuasa dan kepentingan rakyat, yang pada akhirnya mendorong terjadinya korupsi. Menciptakan Efek Jera yang Ampuh Dalam kurun waktu lebih dari satu dekade ini sejumlah terdakwa dari berbagai macam posisi, kedudukan, jabatan, dan profesi telah dituntut dan dihukum di Pengadilan Tipikor, tetapi semua itu tidak menimbulkan efek jera (deterrent effect) yang memadai, seolaholah para koruptor tidak peduli dan tidak takut atas hukuman yang dijatuhkan Pengadilan Tipikor. Tindak pidana korupsi terus berlangsung walaupun seorang mantan menteri, gubernur, wali kota aktif, hakim, jaksa, polisi, petugas pajak, anggota DPR, dan lain-lain telah dijatuhi hukuman,tetapi korupsi masih saja marak dan seakan sulit dikurangi. Hal yang patut dipikirkan dan diterapkan adalah bagaimana mengejar dan menyita aset koruptor untuk mengganti jumlah uang yang mereka korupsi, yaitu membekukan rekening bank,menyita rumah dan tanah pribadi,menyita perusahaan milik si koruptor,menyita perhiasan milik pribadi, dan cara-cara efektif lain dalam rangka pengembalian aset negara. Hal ini perlu diupayakan secara maksimal karena hukuman penjara dengan kurun waktu tertentu bahkan sampai hukuman seumur hidup pun tidak dapat membuat pelaku kapok dan jera, serta ada tendensi untuk melakukan korupsi lagi bagi para pelaku korupsi. Pemiskinan koruptor harus diterapkan sebagai terobosan hukum.Harta kekayaan hasil korupsi ditarik seluruhnya untuk dikembalikan kepada negara. Sedangkan sebagai tindakan preventif, pengawasan anggaran belanja seperti APBN dan APBD harus diperketat dengan memisahkan bagian pembelian (procurement) dan pembayaran. Sistem pengawasan ketat dari waktu ke waktu dan pemisahan kedua fungsi tersebut dapat diberlakukan juga kepada lembaga legislatif dan lembaga yudikatif. Seyogyanya audit dilakukan secara berkala terhadap semua pengeluaran dan pembelian barang dan jasa sebagai kontrol yang ampuh dari segi keuangan. Selain itu, kinerja Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Republik Indonesia sebagai badan yang mengelola keuangan negara perlu dioptimalkan. Begitu juga kinerja Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) serta badan-badan lain yang berkaitan secara langsung maupun tidak langsung dalam upaya pencegahan korupsi. Hal ini dilakukan untuk mempersempit ruang gerak pelaku korupsi dan diharapkan korupsi bisa berkurang secara signifikan. Semoga di masa yang akan datang, dengan sistem pengawasan yang ketat dan berkala terhadap para pemegang jabatan, kekuasaan tidak lagi diidentikkan dengan perbuatan korupsi. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar