Internasionalisasi
Dakwah
Muh Kholid AS ; Anggota Majelis Tarjih
dan Tajdid Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur
|
REPUBLIKA,
23 November 2012
Pada 18 November 2012
ini, Muhammadiyah tepat berusia 100 tahun versi kalender miladiyah. Selama
satu abad itu, organisasi keagamaan yang didirikan KH Ahmad Dahlan tersebut
telah banyak berkontribusi positif untuk kedamaian dan perdamaian. Tak hanya
dalam konteks nasional, ia juga diakui masyarakat internasional sebagai salah
satu pilar perdamaian mondial.
Tidak sedikit tokoh
Muhammadiyah yang terlibat dalam berbagai forum internasional untuk
menjembatani perbedaan pemahaman antarmasyarakat menuju perdamaian. Pengakuan
masyarakat internasional ini tentu membuka peluang bagi Muhammadiyah untuk
melakukan transformasi pemikiran dalam konteks internasional, mediator, serta
perekat percaturan dunia.
Muhammadiyah bisa
mengubah persepsi dunia yang salah terhadap Islam, yang selama ini cenderung
merugikan Islam dan umatnya. Jika selama ini dunia internasional menempatkan Timur
Tengah sebagai `objek' Islam maka Muhammadiyah harus mampu membuka mata
mereka ke Indonesia. Sebagai tugas awal, Muhammadiyah harus mampu memalingkan
wajah dunia ketika melihat dan belajar Islam. Langkah ini mutlak
dilakukan mengingat pascatragedi World Trade Center (WTC) September
2001, ketegangan Islam (Timur Tengah) versus Barat mencapai titik klimaks.
Tidak sedikit elemen internasional yang berpandangan stereotipikal dan
peyoratif terhadap Islam.
Dunia sering kali
melihat Islam yang hidup di Timur Tengah, wilayah yang hingga hari ini belum
sembuh total dari perangai "garang" dan penuh dengan kekerasan.
Upaya memalingkan dunia ke Islam Indonesia bukanlah sesuatu yang mustahil
karena banyak tokoh Muhammadiyah yang terlibat dalam berbagai forum
internasional. Lewat forum ini, Muhammadiyah bisa menjelaskan bahwa
Islam dapat dinilai lebih dalam pada kehidupan pribadi dan masyarakat, baik
ketika menjadi kelompok mayoritas maupun minoritas. Muhammadiyah justru
bisa dijadikan prototipe gerakan dakwah belahan dunia seiring dengan gerakan
dan pemikirannya yang tersebar secara luas.
Tak hanya terlibat
dalam berbagai dialog peradaban internasional, Muhammadiyah juga banyak
terlibat dalam banyak forum perdamaian dan civil society, baik dengan dunia
Islam maupun Barat. Sekadar menyebut, ada Syeikh
Khumeini Foundation, Red Crescent Qatar, International Charitable
Organization Kuwait, World Muslim Youth Assembly, British Red Cross,
International Center for Religion and Diplomacy, International Federation of
Red Cross and Red Crescent Societies, The Asian Foundation (TAF), dan
lain-lain.
Infrastruktur jejaring
internasional ini semakin lengkap seiring dengan menjamurnya Pimpinan Cabang
Istimewa Muhammadiyah (PCIM) di luar negeri. Sebanyak 16 PCIM didirikan
oleh warga negara Indonesia yang berdomisili di negara setempat.
Selain
itu, Muhammadiyah luar Indonesia juga mempunyai sister organization,
organisasi yang punya nama (Muhammadiyah) dan tujuan yang sama di beberapa
negara. Ini pula yang membedakan Muhammadiyah dengan gerakan Islam
transnasional lain, yaitu tetap terikat dengan keindonesiaan.
Jika berbagai
kesempatan itu dapat ditangkap dengan baik maka tidak mustahil Muhammadiyah
bisa menjadi "prototipe" gerakan dakwah bagi dunia internasional.
Setidaknya, ada tiga ala san mengapa organisasi ini layak dipromosikan
sebagai model gerakan Islam internasional: moderasi, tahan lama, dan berperan
komprehensif (Syafiq A Mughni: 2010).
Moderasi ini bisa dilihat perannya sebagai rahmatan lil alamin yang tidak hanya bermanfaat bagi umat Islam,
tetapi juga non-Muslim. Di Indonesia, peran kerahmatan ini secara nyata telah
dibuktikan dari kehadiran Universitas Muhammadiyah Kupang (UMK), yang
mayoritas mahasiswanya adalah non- Muslim. Tidak heran jika UMK sering kali
dipelesetkan sebagai Universitas Muhammadiyah Kristen, merujuk pada komposisi
civitas-nya yang mayoritas non-Muslim.
Daya tahan
Muhammadiyah ditunjukkan oleh usia organisasi yang melampaui satu abad,
pencapaian yang hanya sedikit dicatat oleh gerakan dak wah Islam di belahan
dunia. Sejak didirikan di Kauman dan dideklarasikan di Malioboro, Yogyakarta,
pada 1912 oleh KH Ahmad Dahlan, organisasi ini tetap utuh hingga sekarang.
Bahkan, berkembang dan semakin dipercaya oleh masyarakat. Muhammadiyah tidak
berpikir layaknya politisi yang mempunyai tujuan jangka pendek, tetapi
berpikir layaknya negarawan yang mempunyai tujuan jangka panjang.
Usia seabad lebih itu
secara tidak langsung menunjukkan bahwa Muhammadiyah sebenarnya telah
mengalami chronological age yang
memadai untuk berkembang dan melembaga. Usia ini menunjukkan kebesaran daya
lentur Muhammadiyah dalam menghadapi tantangan zaman tanpa harus kehilangan
jati diri. Seabad berkiprah merupakan momentum yang memadai untuk memainkan
peran penting dalam mem bentuk dan memengaruhi wacana ke islaman tingkat
nasional maupun in ternasional.
Sementara itu, peran
Muhammadiyah sebagai organisasi komprehensif bisa di lihat dari keragaman
organisasi otonom dan majelis/lembaga yang dibentuknya. Tingkat
komprehensivitas ini juga didukung oleh amal usaha yang tidak terpaku dalam
satu bidang saja, tetapi juga disertai kemampuan para pemimpinnya untuk
meletakkan perjuangan organisasi dalam kerangka makro. Karena itu, selain memantapkan
ideologi, Muhammadiyah juga harus mengembangkan pemikiran yang berbentuk
strategis.
Meski demikian,
internasionalisasi model dakwah ini tentu bukan tanpa tantangan. Sebagaimana
yang pernah dikemukakan Dr Abdul Mu'ti (2010), Muhammadiyah harus melakukan
kemitraan dengan luar negeri tidak hanya pada tingkat pusat, namun juga
tingkat wilayah dan daerah. Yang tak kalah pentingnya, warga Muhammadiyah juga
harus meningkatkan kemampuan komunikasi dan capacity building, serta pengembangan kultur bermitra dengan
masyarakat internasional. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar