Sabtu, 24 November 2012

Tulisan dan Media Baru


Tulisan dan Media Baru
Seno Gumira Ajidarma ;  Wartawan
KORAN TEMPO, 23 November 2012

  
Siapakah kiranya yang mesti disalahkan jika salah satu makna kebebasan celakanya termasuk mengambil kebebasan orang lain, atas nama apa pun, secara ideologis bisa begitu benar bagi mereka yang mempercayainya? Dalam kasus penulisan, penulisnya dapat begitu canggih dalam kiat-kiat penulisan, sehingga dapat melakukan manipulasi kata-kata untuk membuat pembaca percaya akan setiap gagasan ideologis di dalamnya. Dalam hal ini mungkin dapat dikatakan bahwa penulis merampas kebebasan pembaca untuk bersikap kritis, dan membiarkannya tersesat dalam konstruksi kata-kata penulis. 
Bagaimana jika ini berlangsung dalam konteks media baru?
Tanpa konteks media baru pun, dalam kuasa tulisan semacam itu, seperti dalam propaganda politik yang sukses atau teks iklan yang cerdik, makna kuasa bukanlah membebaskan melainkan melakukan manipulasi. Sebab, meski jika khalayak merasa terbebaskan, tulisan itu sendiri tidak memberi kesempatan kepada pembaca untuk berpikir dari atau dengan gagasan mereka sendiri. Masalahnya, kebebasan itu sendiri memang bukanlah kebebasan jika dapat diberikan, karena ruang kebebasan sebaliknya justru harus selalu diperjuangkan. Kebebasan yang dihadiahkan hanyalah setara suaka margasatwa.
Ini berarti tidak keliru juga dikatakan bahwa, jika seorang pembaca terdominasi suatu wacana tekstual, tidaklah hal ini harus ditafsirkan sebagai tindakan pasif, karena apa yang berlangsung tentu sebaliknya: ketika pembaca menyukai gagasan dari apa yang dibacanya, hal itu selalu didasari sudut pandang mereka sendiri, bukan sudut pandang penulisnya.
Namun terdapat juga jenis penulisan yang memberi pembaca ruang lebih luas untuk berpikir, bukan hanya untuk bersetuju dengan persepsi masing-masing, tetapi juga untuk menggugat yang dibacanya. Dalam kasus ini, pembacanya harus berpartisipasi lebih, bukan hanya untuk menikmati serta bersetuju atau tidak setuju, tetapi juga melakukan rekonstruksi atas setiap unsur pemikiran dalam tulisan, karena peluang tersebut diberikan oleh tulisan itu sendiri, dan itulah suatu jenis penulisan yang memberi jalan bagi pembaca untuk menulis konstruksi kata-katanya sendiri di dalam kepala. Inilah jenis penulisan tempat kuasa muncul bukan dari penulis, melainkan dari pembaca.
Mungkin saja ini terdengar seperti gagasan teks "readerly" dan "writerly" sebagaimana teori Barthes, tetapi perbincangan ini hanya ingin menunjukkan bahwa yang pertama lebih dominan daripada yang belakangan, dan dalam kenyataannya yang disebut kelompok terbawahkan (kadang disebut-meski tidak selalu-"tertindas") hanya bisa merasa tercerahkan, dan secara efektif mendapatkan harapan, dari jenis penulisan ini. Membicarakannya pada hari dan zaman kini, tak dapat tidak dipertimbangkan bahwa eksistensi medium klasikal bagi kata-kata tertulis seperti media cetak, termasuk buku, sekarang telah, atau akan-setidaknya berkemungkinan--menjadi inferior terhadap media baru dengan segala kepentingan politik maupun bisnis di baliknya, yang atas nama kata-kata ekonomis, apa pun yang tertulis semakin diabdikan terutama kepada fungsi sahaja. 
Pergulatan Antarmedia
Dengan kata lain, konstelasi baru media dapat mengubah cara kata-kata tertulis, jika bukan karena perubahan teknis yang dituntut oleh mediumnya, bisa juga karena perkembangan mutakhir ini ujung-ujungnya berdampak kepada bagaimana kata-kata harus ditulis dalam media cetak. Kenapa tidak, jika bahkan naratif media visual pun berdampak pada estetika susastra? Saya hanya bisa merasa optimistis bahwa, ketika media cetak akan mendapat jalan dalam penyelamatannya, sama seperti radio dan film setelah munculnya televisi, penulisan itu akan menyesuaikan diri dan menghadirkan kembali gagasan-gagasan secara proporsional seperti kemungkinan-kemungkinan yang diberikan medium lainnya.
Adapun yang akan menjadi masalah adalah fakta bahwa, dalam beberapa hal, kata-kata tertulis di media baru adalah eksistensi atau kepanjangan dari kebudayaan lisan, alias suatu keberlisanan kedua-sedangkan sifat keberaksaraan sebagai keberlisanan kedua disebut menumpulkan, dibandingkan dengan keberaksaraan yang mencerdaskan. Namun, saya pikir, sejarahnya yang masih pendek menunjukkan bahwa media baru terbukti sangat efektif sebagai media subversif, sebagaimana telah sangat dimungkinkannya-dan fakta ini, ketika terlalu banyak kemapanan cenderung korup, bagi saya sungguh melegakan. 
Meskipun begitu, saya jauh lebih merasa lega ketika, dalam diskusi bersama para juri Anugerah Adiwarta pada Ramadan lalu, para wartawan media baru, baik yang bermigrasi dari media cetak seperti Nezar Patria maupun Heru Margiyanto yang dilahirkan media baru tersebut, mengakui bahwa sebuah kode etik bukan hanya diperlukan, melainkan harus segera disusun dengan segala penyesuaian terhadap karakter medianya, untuk menghindari jurnalisme anarkistis. 
Betapapun, memang harus jelas dan tegas siapa wartawan siapa bukan, untuk menghargai apa itu profesionalisme.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar