Tulisan dan
Media Baru
Seno Gumira Ajidarma ; Wartawan
|
KORAN
TEMPO, 23 November 2012
Siapakah kiranya yang mesti
disalahkan jika salah satu makna kebebasan celakanya termasuk mengambil
kebebasan orang lain, atas nama apa pun, secara ideologis bisa begitu benar
bagi mereka yang mempercayainya? Dalam kasus penulisan, penulisnya dapat
begitu canggih dalam kiat-kiat penulisan, sehingga dapat melakukan manipulasi
kata-kata untuk membuat pembaca percaya akan setiap gagasan ideologis di
dalamnya. Dalam hal ini mungkin dapat dikatakan bahwa penulis merampas
kebebasan pembaca untuk bersikap kritis, dan membiarkannya tersesat dalam
konstruksi kata-kata penulis.
Bagaimana jika
ini berlangsung dalam konteks media baru?
Tanpa konteks
media baru pun, dalam kuasa tulisan semacam itu, seperti dalam propaganda
politik yang sukses atau teks iklan yang cerdik, makna kuasa bukanlah
membebaskan melainkan melakukan manipulasi. Sebab, meski jika khalayak merasa
terbebaskan, tulisan itu sendiri tidak memberi kesempatan kepada pembaca
untuk berpikir dari atau dengan gagasan mereka sendiri. Masalahnya, kebebasan
itu sendiri memang bukanlah kebebasan jika dapat diberikan, karena ruang
kebebasan sebaliknya justru harus selalu diperjuangkan. Kebebasan yang
dihadiahkan hanyalah setara suaka margasatwa.
Ini berarti
tidak keliru juga dikatakan bahwa, jika seorang pembaca terdominasi suatu
wacana tekstual, tidaklah hal ini harus ditafsirkan sebagai tindakan pasif,
karena apa yang berlangsung tentu sebaliknya: ketika pembaca menyukai gagasan
dari apa yang dibacanya, hal itu selalu didasari sudut pandang mereka
sendiri, bukan sudut pandang penulisnya.
Namun terdapat
juga jenis penulisan yang memberi pembaca ruang lebih luas untuk berpikir,
bukan hanya untuk bersetuju dengan persepsi masing-masing, tetapi juga untuk
menggugat yang dibacanya. Dalam kasus ini, pembacanya harus berpartisipasi
lebih, bukan hanya untuk menikmati serta bersetuju atau tidak setuju, tetapi
juga melakukan rekonstruksi atas setiap unsur pemikiran dalam tulisan, karena
peluang tersebut diberikan oleh tulisan itu sendiri, dan itulah suatu jenis
penulisan yang memberi jalan bagi pembaca untuk menulis konstruksi
kata-katanya sendiri di dalam kepala. Inilah jenis penulisan tempat kuasa
muncul bukan dari penulis, melainkan dari pembaca.
Mungkin saja
ini terdengar seperti gagasan teks "readerly"
dan "writerly"
sebagaimana teori Barthes, tetapi perbincangan ini hanya ingin menunjukkan
bahwa yang pertama lebih dominan daripada yang belakangan, dan dalam
kenyataannya yang disebut kelompok terbawahkan (kadang disebut-meski tidak
selalu-"tertindas") hanya
bisa merasa tercerahkan, dan secara efektif mendapatkan harapan, dari jenis
penulisan ini. Membicarakannya pada hari dan zaman kini, tak dapat tidak
dipertimbangkan bahwa eksistensi medium klasikal bagi kata-kata tertulis
seperti media cetak, termasuk buku, sekarang telah, atau akan-setidaknya
berkemungkinan--menjadi inferior terhadap media baru dengan segala
kepentingan politik maupun bisnis di baliknya, yang atas nama kata-kata
ekonomis, apa pun yang tertulis semakin diabdikan terutama kepada fungsi
sahaja.
Pergulatan
Antarmedia
Dengan kata
lain, konstelasi baru media dapat mengubah cara kata-kata tertulis, jika
bukan karena perubahan teknis yang dituntut oleh mediumnya, bisa juga karena
perkembangan mutakhir ini ujung-ujungnya berdampak kepada bagaimana kata-kata
harus ditulis dalam media cetak. Kenapa tidak, jika bahkan naratif media
visual pun berdampak pada estetika susastra? Saya hanya bisa merasa
optimistis bahwa, ketika media cetak akan mendapat jalan dalam
penyelamatannya, sama seperti radio dan film setelah munculnya televisi,
penulisan itu akan menyesuaikan diri dan menghadirkan kembali gagasan-gagasan
secara proporsional seperti kemungkinan-kemungkinan yang diberikan medium
lainnya.
Adapun yang
akan menjadi masalah adalah fakta bahwa, dalam beberapa hal, kata-kata
tertulis di media baru adalah eksistensi atau kepanjangan dari kebudayaan
lisan, alias suatu keberlisanan kedua-sedangkan sifat keberaksaraan sebagai
keberlisanan kedua disebut menumpulkan, dibandingkan dengan keberaksaraan
yang mencerdaskan. Namun, saya pikir, sejarahnya yang masih pendek
menunjukkan bahwa media baru terbukti sangat efektif sebagai media subversif,
sebagaimana telah sangat dimungkinkannya-dan fakta ini, ketika terlalu banyak
kemapanan cenderung korup, bagi saya sungguh melegakan.
Meskipun
begitu, saya jauh lebih merasa lega ketika, dalam diskusi bersama para juri
Anugerah Adiwarta pada Ramadan lalu, para wartawan media baru, baik yang
bermigrasi dari media cetak seperti Nezar Patria maupun Heru Margiyanto yang
dilahirkan media baru tersebut, mengakui bahwa sebuah kode etik bukan hanya
diperlukan, melainkan harus segera disusun dengan segala penyesuaian terhadap
karakter medianya, untuk menghindari jurnalisme anarkistis.
Betapapun, memang harus jelas dan tegas
siapa wartawan siapa bukan, untuk menghargai apa itu profesionalisme. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar