Amanah atau “Amanlah”?
Driantama ; Jurnalis
|
SINDO,
23 November 2012
Setelah
Pilkada DKI Jakarta, menyusul pilkada wilayah ‘potensial’ lain seperti Jawa
Barat dan Jawa Timur. Hiruk-pikuknya sudah terasa baik di media, di lapangan,
maupun di ruangruang pergunjingan.
Banyak cerita beredar, terlalu banyak malah, namun tidak sedikit yang melulu hanya padat dengan rumor tidak berujung. Alih-alih bertukar informasi, yang terjadi justru bertukar cerita buruk penuh dugaan dan sarat prasangka. The Economist, sebuah majalah di Inggris, menyebut Obama sebagai presiden Amerika Serikat terpilih sebagai ‘the devil we know’, dan Mas Budiarto Shambazy menyebut, “Agaknya masih lebih baik memilih orang jujur walau dipandang belum berhasil daripada memilih yang belum tentu jujur dan juga belum tentu berhasil.” Menarik sekali bila mencerna hasil ”renungan” tadi dan perlu. Karena masa pemilihan kepala daerah tidak boleh dianggap pesta ”semata” per periode tertentu yang pendek, tapi perlu dianggap saat bekerja keras untuk masa yang lama, sepanjang kesejahteraan manusia harus selalu dijaga. Menjadi pemimpin bukanlah sekadar menjadi orang nomor satu. Menjadi pemimpin bukanlah sekadar memegang komando.Tetapi menjadi pemimpin adalah menjadi orang nomor satu yang harus mampu mengomandoi pasukannya dalam menjalankan tugas, yang tidak lain hanya semata-mata sebagai abdi. Dalam bahasa intelek, sebutannya menjadi pejabat publik. Dalam bahasa pop,istilahnya menjadi pelayan masyarakat. Itu artinya, awal perjalanan tugasnya, tentu harus dimulai dengan mencari tahu apa kebutuhan utama masyarakatnya. Sebuah kebutuhan yang nyata-nyata muncul dari masyarakat. Sebuah kebutuhan yang sepenuhnya berangkat dari ‘mau’-nya masyarakat. Bukan sebuah kebutuhan yang dibuat buat atas dasar kepentingan anggaran.Bukan sebuah kebutuhan siluman, yang lalu melahirkan prosesi panjang serah terima upeti, yang belakangan menyengat baunya di parlemen dan hampir di pelosok republik ini. Bukan sebuah hitung-hitungan matematika dan ekonomi yang berujung untung rugi. Alih-alih berorasi demi kepentingan rakyat,namun ujung ujungnya hanya menimbun periuk harta untuk jabatan berikutnya atau minimal menjadi anggota detasemen antitekor. Lagi-lagi, semua harus disusun benar-benar berawal dari ”listing” aneka ragam kebutuhan rakyat, lalu secara tepat dan efektif menggunakan anggaran yang ada untuk realisasinya. Segala bentuk rekayasa keuangan dan memanipulasi kebutuhan rakyat, harus menjadi sebuah tekad yang kuat untuk dienyahkan dengan kesadaran yang penuh, stabil dengan endurance yang tinggi. Seorang pemimpin yang amanah tentu sudah terlalu paham hal-hal yang demikian. Pertanyaannya, seberapa banyakkah yang demikian? Wallahua’lam. Karenanya tidak berlebihan bila lebih baik memilih yang jujur, meski belum tentu berhasil; daripada memilih yang belum tentu jujur dan belum tentu berhasil. Sebab,kejujuran yang menempel pada diri seorang pemimpin adalah awal dari mengalirnya banyak ”kemudahan” dalam setiap urusannya. Sebab, kejujuran seorang pemimpin itu pasti akan terlalu mudah dirasakan nikmat oleh rakyatnya. Sebab kejujuran seorang pemimpin itu sebuah keniscayaan yang akan ”menyelamatkan” dirinya, dari segala kekurangan yang dimilikinya. Sebagai rakyat, ”kemarahan” atas kegagalan seorang pemimpin yang jujur tetap akan menyisakan ruang hormat di dalam hati. Masih selalu saja ada penghargaan yang tersemat diam-diam dan abadi. Kegagalan seorang pemimpin yang jujur, meski akan jadi ajang pesta pora lawan poltiknya, tetap akan menyisakan pengertian dari hati rakyatnya, utuh dan tak pernah usang. Tidak ada dendam dan apalagi sumpah serapah yang mengiringi kepergiannya. Dia akan tetap dikenang,sebab kegagalannya akan diisyaratkan sebagai kelemahan yang manusiawi dari seorang manusia beramanah yang mencoba memimpin rakyat. Bahkan suasana batin pun tetap akan berbeda, dan akan lebih baik, dibanding keberhasilan seorang pemimpin yang tidak jujur. Segala rupa propaganda untuk meyakinkan akan kemanfaatan seorang pemimpin yang tidak jujur hanyalah diibaratkan seperti sebuah film pendek tanpa kesan. Sebuah tontonan asyik, tapi sayang, tidak meninggalkan pesan apa pun, apalagi manfaat yang hakiki.Istilah ulama menyebut, tidak ada berkah yang mengalir dari hasil kerjanya. Kepada para calon pemimpin, baik di Jawa Barat maupun Jawa Timur, serta di mana pun berada.Percayalah,bahwa pilkada yang terjadi saat ini adalah ajang perebutan, untuk sesuatu yang sungguh-sungguh tidak pernah mudah dijalani, yaitu amanah dari rakyat. Memenangi perebutan itu artinya Andalah yang dipercaya untuk mengemban amanah rakyat. Alkisah, seorang sahabat, serta merta menyebut astaghfirullah al-azhim ketika dipilih menjadi pemimpin, bukannya alhamdulillah. Nyata benar, batinnya terbebani amanah itu. Nyata benar bahwa menjadi pemimpin sesungguhnya bukanlah hal yang layak dibanggakan, bahkan jadi idam idaman semata. Nyata benar bahwa menjadi pemimpin yang baik, meski bukan mustahil, sesungguhnya akan penuh ujian. Apalagi keberhasilan seorang pemimpin tidak serta-merta bisa diukur begitu saja atas pencapaiannya, namun juga bagaimana dia menjaga, agar proses yang dilakukannya, benar-benar dalam kerangka amanah tersebut. Namun, percayalah, atas dasar kejujuran dan kemuliaan hati berkah Tuhan segera cair mengalir, bahkan sejak detik pertama tekad itu terbangun dalam hati yang tulus dan terjaga. Keberkahan-Nya pasti akan memuliakan pemimpin itu dan rakyatnya sekaligus. Selamat bertarung…. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar