Globalisasi
Bagi Pekerja
Razali Ritonga ; Direktur Statistik Kependudukan
dan Ketenagakerjaan BPS RI
|
REPUBLIKA,
22 November 2012
Era globalisasi yang
kini tengah berlangsung ternyata membawa kehidupan global pada tingkat yang
sangat menakjubkan, terutama dalam aspek ekonomi. Hal ini terjadi karena
globalisasi dapat mempercepat arus barang dan jasa ke berbagai belahan dunia
sehingga berpotensi meningkatkan pertumbuhan ekonomi global.
Namun, pertumbuhan
ekonomi itu tidak dinikmati secara merata oleh masing-masing negara sehingga
menyebabkan kesenjangan yang kian melebar antarnegara maupun antarkelompok ma
syarakat dalam suatu negara. Dalam konteks suatu negara, boleh jadi pertumbuhan
ekonominya tinggi, tapi pertumbuhan itu tidak dinikmati secara merata antarkelompok
masyarakat sehingga menyebabkan kesenjangan yang kian melebar.
Indonesia, misalnya,
dengan pertumbuhan ekonomi enam hingga 6,5 persen dalam beberapa tahun ter
akhir, ternyata belum mampu menciptakan kesejahteraan secara merata antarkelompok
masyarakat, bahkan keadaannya memburuk. Hal ini terdeteksi dari angka Rasio
Gini yang meningkat, yaitu dari 0,35 pada Maret 2008 men jadi 0,41 pada Maret
2012 (BPS, 2012). Angka Rasio Gini mulai dari nol (kemerataan sempurna)
sampai dengan satu (ketidakmerataan absolut).
Diduga, salah satu
faktor penyebab melebarnya kesenjangan itu adalah akibat hadirnya pekerja
rentan dan miskin. Pekerja rentan adalah mereka yang rentan jatuh miskin
akibat iklim bekerja yang kurang memberikan kepastian terhadap hak
pekerja.
Kondisi dilematis Globalisasi dapat diidentikkan dengan daya saing yang menitikberatkan pada efisiensi. Maka, arus investasi pada era globalisasi akan bermuara pada negara atau daerah yang dapat memberikan efi siensi tinggi sehingga diperoleh keuntungan maksimal.
Indonesia dengan
penduduk yang besar dan kekayaan alam yang cukup melimpah merupakan sasaran
investasi pada tataran global. Namun, meski investasi itu menguntungkan
pemerintah karena dapat memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi,
tidak demikian halnya dengan buruh/pekerja.
Jelasnya, pemerintah belum mampu secara optimal menerjemahkan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi itu terhadap kesejahteraan buruh/pekerja.
Padahal, peran
pemerintah sangat diperlukan agar buruh/pekerja tidak berjuang sendirian
untuk memperoleh kesejahteraannya. Meski pemerintah diketahui sebagai salah
satu unsur tripartit dalam soal upah buruh, kontribusinya dinilai belum
optimal.
Posisi pemerintah
untuk memperjuangkan nasib buruh memang dilematis.
Di satu sisi, jika pemerintah terlalu campur tangan dalam perusahaan, misalnya, dengan aneka regulasi maka hal itu tak sejalan dengan keniscayaan globalisasi. Sebab, sesuai dengan prinsip globalisasi, campur tangan pemerintah seharusnya semakin minimal agar tidak mendistorsi investasi.
Namun, di sisi lain,
jika pemerintah terlalu lunak terhadap perusahaan, kesejahteraan
buruh/pekerja bisa tak menentu, bahkan berpotensi memburuk. Hal ini bisa
terjadi karena di tengah derasnya gelombang pencari kerja, perusahaan dapat
menekan upah buruh serendah mungkin. Bahkan, jika dibiarkan berlarut-larut,
akan menciptakan fenomena kapitalisme dan imperialisme baru dan menyebabkan
kondisi buruh/pekerja semakin rentan dan miskin.
Dalam Survei Angkatan
Kerja Nasional (Sakernas), pekerja rentan digolongkan pada penduduk yang
bekerja dengan status utama pekerjaan, bekerja sendiri, pekerja bebas
nonpertanian dan pertanian, serta pekerja keluarga yang tak dibayar. Hasil
Sakernas pada Februari 2012, misalnya, mencatat pekerja rentan di Tanah Air
sebanyak 70,74 juta orang atau 62,71 persen dari penduduk yang bekerja. Dalam
situasi ekonomi memburuk, mereka yang bekerja dalam kondisi rentan akan mudah
terjerembap menjadi pekerja miskin.
Dalam tataran global,
pekerja rentan di Indonesia tergolong besar. Adapun persentase pekerja rentan
secara global diperkirakan sekitar 49,5 persen. Persentase pekerja rentan
tertinggi ada- lah Afrika, yakni sekitar 76 persen, sedangkan yang terendah
adalah negara-negara ekonomi maju, yaitu sekitar 9,8 persen (ILO, 2008).
Regulasi kondisional Sebenarnya, pemerintah masih bisa memperbaiki kesejahteraan buruh asalkan dapat melakukan penghitungan secara cermat atas kondisi perusahaan. Artinya, pemerintah dapat menjalankan regulasi kondisional untuk menetapkan upah buruh/pekerja secara layak dengan catatan pemerintah mengetahui secara persis bahwa perusahaan memiliki kemampuan. Bahkan, regulasi kondisional diperlukan untuk memperbaiki iklim bekerja, seperti jaminan sosial, alih daya, dan kondisi tempat bekerja. Regulasi kondisional itu kian penting untuk memperbaiki kesejahteraan buruh dan mengurangi tekanan terhadap pekerja `kerah putih' (white collar).
Adapun tekanan
terhadap pekerja white collar, terutama
berkaitan dengan kian maraknya kehadiran perusahaan multinasional. Meski
pekerja lokal, misalnya, dapat menduduki posisi white collar, mereka tetap dalam kondisi rentan karena umumnya
memperoleh upah yang lebih rendah dibandingkan upah pekerja asing.
Regulasi kondisional
itu akan kian efektif jika secara bersamaan pemerintah mampu menciptakan
ruang yang cukup untuk meningkatkan kemampuan perusahaan dalam memberikan
upah secara layak. Hal itu dapat dilakukan jika pemerintah dapat membatasi
ber bagai peraturan yang memberatkan perusahaan, seperti peraturan daerah,
memperbaiki infrastruktur, dan membebaskan berbagai biaya informal, seperti
pungutan liar.
Semakin berkurangnya
peraturan daerah, membaiknya infrastruktur, dan minimnya pungutan liar, akan semakin
berpotensi mening katkan kemampuan perusahaan dalam membayar upah
buruh/pekerja secara layak. Sangat diharapkan tumbuhnya keseriusan
pemerintah guna meningkatkan kesejahteraan buruh/pekerja agar mereka terbebas
dari kerentanan dan kemiskinan. Untuk itu, pemerintah secara cerdas
perlu berupaya menerjemahkan globalisasi bagi tumbuh kembang perusahaan dan
secara bersamaan menjauhkan buruh/pekerja dari kerentanan dan kemiskinan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar