Jumat, 23 November 2012

Globalisasi Bagi Pekerja


Globalisasi Bagi Pekerja
Razali Ritonga ;  Direktur Statistik Kependudukan dan Ketenagakerjaan BPS RI
REPUBLIKA, 22 November 2012

Era globalisasi yang kini tengah berlangsung ternyata membawa kehidupan global pada tingkat yang sangat menakjubkan, terutama dalam aspek ekonomi. Hal ini terjadi karena globalisasi dapat mempercepat arus barang dan jasa ke berbagai belahan dunia sehingga berpotensi meningkatkan pertumbuhan ekonomi global. 
Namun, pertumbuhan ekonomi itu tidak dinikmati secara merata oleh masing-masing negara sehingga menyebabkan kesenjangan yang kian melebar antarnegara maupun antarkelompok ma syarakat dalam suatu negara. Dalam konteks suatu negara, boleh jadi pertumbuhan ekonominya tinggi, tapi pertumbuhan itu tidak dinikmati secara merata antarkelompok masyarakat sehingga menyebabkan kesenjangan yang kian melebar. 
Indonesia, misalnya, dengan pertumbuhan ekonomi enam hingga 6,5 persen dalam beberapa tahun ter akhir, ternyata belum mampu menciptakan kesejahteraan secara merata antarkelompok masyarakat, bahkan keadaannya memburuk. Hal ini terdeteksi dari angka Rasio Gini yang meningkat, yaitu dari 0,35 pada Maret 2008 men jadi 0,41 pada Maret 2012 (BPS, 2012). Angka Rasio Gini mulai dari nol (kemerataan sempurna) sampai dengan satu (ketidakmerataan absolut).
Diduga, salah satu faktor penyebab melebarnya kesenjangan itu adalah akibat hadirnya pekerja rentan dan miskin. Pekerja rentan adalah mereka yang rentan jatuh miskin akibat iklim bekerja yang kurang memberikan kepastian terhadap hak pekerja.
Kondisi dilematis Globalisasi dapat diidentikkan dengan daya saing yang menitikberatkan pada efisiensi. Maka, arus investasi pada era globalisasi akan bermuara pada negara atau daerah yang dapat memberikan efi siensi tinggi sehingga diperoleh keuntungan maksimal. 
Indonesia dengan penduduk yang besar dan kekayaan alam yang cukup melimpah merupakan sasaran investasi pada tataran global. Namun, meski investasi itu menguntungkan pemerintah karena dapat memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi, tidak demikian halnya dengan buruh/pekerja.
Jelasnya, pemerintah belum mampu secara optimal menerjemahkan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi itu terhadap kesejahteraan buruh/pekerja.
Padahal, peran pemerintah sangat diperlukan agar buruh/pekerja tidak berjuang sendirian untuk memperoleh kesejahteraannya. Meski pemerintah diketahui sebagai salah satu unsur tripartit dalam soal upah buruh, kontribusinya dinilai belum optimal.
Posisi pemerintah untuk memperjuangkan nasib buruh memang dilematis.
Di satu sisi, jika pemerintah terlalu campur tangan dalam perusahaan, misalnya, dengan aneka regulasi maka hal itu tak sejalan dengan keniscayaan globalisasi. Sebab, sesuai dengan prinsip globalisasi, campur tangan pemerintah seharusnya semakin minimal agar tidak mendistorsi investasi.
Namun, di sisi lain, jika pemerintah terlalu lunak terhadap perusahaan, kesejahteraan buruh/pekerja bisa tak menentu, bahkan berpotensi memburuk. Hal ini bisa terjadi karena di tengah derasnya gelombang pencari kerja, perusahaan dapat menekan upah buruh serendah mungkin. Bahkan, jika dibiarkan berlarut-larut, akan menciptakan fenomena kapitalisme dan imperialisme baru dan menyebabkan kondisi buruh/pekerja semakin rentan dan miskin. 
Dalam Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas), pekerja rentan digolongkan pada penduduk yang bekerja dengan status utama pekerjaan, bekerja sendiri, pekerja bebas nonpertanian dan pertanian, serta pekerja keluarga yang tak dibayar. Hasil Sakernas pada Februari 2012, misalnya, mencatat pekerja rentan di Tanah Air sebanyak 70,74 juta orang atau 62,71 persen dari penduduk yang bekerja. Dalam situasi ekonomi memburuk, mereka yang bekerja dalam kondisi rentan akan mudah terjerembap menjadi pekerja miskin. 
Dalam tataran global, pekerja rentan di Indonesia tergolong besar. Adapun persentase pekerja rentan secara global diperkirakan sekitar 49,5 persen. Persentase pekerja rentan tertinggi ada- lah Afrika, yakni sekitar 76 persen, sedangkan yang terendah adalah negara-negara ekonomi maju, yaitu sekitar 9,8 persen (ILO, 2008).

Regulasi kondisional Sebenarnya, pemerintah masih bisa memperbaiki kesejahteraan buruh asalkan dapat melakukan penghitungan secara cermat atas kondisi perusahaan. Artinya, pemerintah dapat menjalankan regulasi kondisional untuk menetapkan upah buruh/pekerja secara layak dengan catatan pemerintah mengetahui secara persis bahwa perusahaan memiliki kemampuan.
Bahkan, regulasi kondisional diperlukan untuk memperbaiki iklim bekerja, seperti jaminan sosial, alih daya, dan kondisi tempat bekerja. Regulasi kondisional itu kian penting untuk memperbaiki kesejahteraan buruh dan mengurangi tekanan terhadap pekerja `kerah putih' (white collar). 
Adapun tekanan terhadap pekerja white collar, terutama berkaitan dengan kian maraknya kehadiran perusahaan multinasional. Meski pekerja lokal, misalnya, dapat menduduki posisi white collar, mereka tetap dalam kondisi rentan karena umumnya memperoleh upah yang lebih rendah dibandingkan upah pekerja asing.
Regulasi kondisional itu akan kian efektif jika secara bersamaan pemerintah mampu menciptakan ruang yang cukup untuk meningkatkan kemampuan perusahaan dalam memberikan upah secara layak. Hal itu dapat dilakukan jika pemerintah dapat membatasi ber bagai peraturan yang memberatkan perusahaan, seperti peraturan daerah, memperbaiki infrastruktur, dan membebaskan berbagai biaya informal, seperti pungutan liar. 
Semakin berkurangnya peraturan daerah, membaiknya infrastruktur, dan minimnya pungutan liar, akan semakin berpotensi mening katkan kemampuan perusahaan dalam membayar upah buruh/pekerja secara layak. Sangat diharapkan tumbuhnya keseriusan pemerintah guna meningkatkan kesejahteraan buruh/pekerja agar mereka terbebas dari kerentanan dan kemiskinan. Untuk itu, pemerintah secara cerdas perlu berupaya menerjemahkan globalisasi bagi tumbuh kembang perusahaan dan secara bersamaan menjauhkan buruh/pekerja dari kerentanan dan kemiskinan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar