Aravind Adiga, pemenang Man Booker Prize pada tahun 2008 melalui
novel pertamanya, White Tiger, memberikan gambaran yang sangat brilian dan
detail mengenai kondisi sosial ekonomi masyarakat di daerah urban India.
Dalam novel tersebut diceritakan kondisi
masyarakat kaya India yang mampu memperoleh fasilitas dan layanan hidup yang
lebih baik dibandingkan masyarakat miskin. Digambarkan bahwa kelompok
masyarakat yang berpendapatan lebih besar tentunya lebih sejahtera dibandingkan
kelompok masyarakat miskin.
Kajian tentang pendapatan dan kesejahteraan
selalu menjadi topik yang sangat menarik untuk dibahas. Kondisi dan
karakteristik tiap negara yang sangat beragam menjadi pintu masuk bagi
perkembangan bidang studi ini.
Saat ini terdapat perbedaan yang begitu
besar antara pendapatan per kapita (income per capita) serta output pekerja
(output per worker) di berbagai negara. Negara yang termasuk ke dalam
kelompok negara kaya, memiliki pendapatan 30 kali lipat lebih tinggi dibandingkan
negara yang berada pada kelompok miskin.
Dalam studi yang dilakukan oleh Heston et
al (2002), pada 2000, produk domestik bruto (PDB) atau pendapatan per kapita
di Amerika Serikat mencapai lebih dari US$ 34.000. Di beberapa negara, PDB
per kapita mereka sangat jauh bila dibandingkan dengan AS.
Sebagai contoh, Meksiko memiliki PDB per
kapita sekitar US$ 8.000, China US$ 4.000 dan Nigeria US$ 1.000. Kondisi yang
lebih memprihatinkan tentunya dialami negara Sub-Sahara Afrika, seperti Chad,
Etiopia, dan Mali.
Jika kita menoleh ke belakang, semenjak
1960, atau 15 tahun setelah berakhirnya Perang Dunia Kedua, hampir sebagian
besar negara secara rata-rata memiliki pendapatan per kapita US$ 1.500 (dalam
nilai dolar AS tahun 2000).
Semenjak 1980-2000, rata-rata pendapatan
per kapita di seluruh dunia meningkat menjadi US$ 3.000 atau dua kali lipat
dibandingkan 1960. Namun, peningkatan ini lebih disebabkan adanya beberapa
negara yang memiliki pendapatan per kapita antara US$ 20.000-30.000.
Telah terjadi ketimpangan pendapatan per
kapita dalam beberapa puluh tahun terakhir antarnegara. Ada negara yang mampu
menggenjot perekonomiannya dengan baik sehingga mampu meningkatkan rata-rata
pendapatan, namun di sisi yang lain negara-negara miskin sepertinya tidak
beranjak ke mana-mana. Hal ini disebut sebagai stratification phenomenon.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah
kenapa ada negara yang bisa bertransformasi menjadi negara dengan pendapatan
tinggi, sedangkan yang lain tidak mampu pindah? Menurut Acemoglu (2008), ada
dua faktor yang memungkinkan hal ini terjadi.
Pertama, kebijakan nasional (national
policy) yang dibuat oleh pemerintah. Kedua, faktor institusi. Dua hal inilah
yang menjelaskan kenapa Korea Utara dan Korea Selatan yang pada awal 1950-an
berada pada tingkat perekonomian yang relatif sama, namun setelah terpisah
menjadi dua negara dengan kebijakan serta institusi yang berbeda, Korea
Selatan mampu meninggalkan saudara mereka, baik secara ekonomi maupun dari
segi kesejahteraan masyarakatnya.
Pendapatan dan Standar Hidup
Perlukah kita melihat masalah perbedaan
pendapatan antarnegara sebagai suatu hal yang harus dikaji secara serius?
Jawabannya adalah perlu karena pendapatan yang tinggi merefleksikan standar
hidup yang lebih baik.
Pertumbuhan ekonomi dilihat dampaknya dari
beberapa aspek, seperti lingkungan, memang kadangkala memberikan efek negatif
karena mampu meningkatkan kadar polusi. Di sisi yang lain, politik misalnya,
dengan semakin sejahteranya suatu negara maka masyarakatnya juga akan semakin
menuntut pemerintah untuk terus melayani rakyatnya dengan maksimal.
Namun, di balik itu semua, ketika kita
membandingkan negara kaya dan miskin, maka terdapat perbedaan yang begitu
besar antara kualitas, standar hidup, dan kesehatan antarnegara.
Kajian yang dilakukan Acemoglu dalam
bukunya, Introduction to Modern
Economic Growth, tahun 2008 menunjukkan bahwa
pendapatan per kapita sangat berkaitan erat dengan kualitas hidup masyarakat
di suatu negara. Negara yang memiliki pendapatan 30 kali lebih banyak
dibandingkan negara lainnya tentunya juga mempunyai kemampuan konsumsi 30
kali lebih besar.
Hal senada terjadi jika melihat angka
harapan hidup. Negara-negara kaya memiliki angka harapan hidup rata-rata 80
tahun, sedangkan negara miskin seperti negara Sub-Sahara Afrika hanya mampu
bertahan hingga umur 40 dan 50 tahun. Realitas ini menunjukkan bahwa
kesejahteraan memberikan dampak yang sangat berbeda dan signifikan bagi
masing-masing kelompok.
Namun, tidak semua negara memiliki hubungan
yang positif antara pendapatan dengan kesejahteraan dan kualitas hidup.
Afrika Selatan pada zaman apartheid merupakan contoh yang sering digunakan
kenapa pertumbuhan ekonomi ternyata tidak selalu memberikan jaminan terhadap
kualitas hidup.
Semenjak awal abad ke-20, hingga tumbangnya
rezim apartheid, PDB per kapita tumbuh dengan sangat pesat, namun upah riil (real wage) penduduk Afsel yang
berkulit hitam yang merupakan penduduk mayoritas malah turun secara
signifikan pada periode ini.
Tentu saja kita tidak serta-merta bilang
bahwa pertumbuhan ekonomi tidak memberikan manfaat begitu besar bagi Afrika
Selatan, karena jika dibandingkan dengan negara Sub-Sahara Afrika lainnya,
Afsel merupakan salah satu negara terkaya.
Kondisi yang sama terjadi pada masa-masa
awal revolusi industri di Inggris, di mana pada saat tersebut proses
pertumbuhan ekonomi modern baru saja dimulai. Standar hidup penduduk Inggris
pada saat itu terus mengalami penurunan atau jika tidak ingin disebut
memburuk, kondisi mereka tidak berubah.
Pada akhirnya
peningkatan perekonomian dan pertumbuhan pendapatan suatu negara menjadi
sebuah keharusan. Karena dengan semakin membaiknya perekonomian dan
pendapatan, kondisi hidup masyarakat akan terus membaik.
Sesuai dengan gambaran Adiga dalam bukunya
di mana sosok protagonis, Balram Halwai yang pada awalnya sangat miskin,
namun pada akhirnya bisa menikmati fasilitas yang tak pernah ia rasakan
sebelumnya karena mampu membangun bisnisnya hingga berkembang dengan sangat
baik. Begitu pula dengan perekonomian. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar