Pentingnya
Reformasi DK PBB
Arief Setiawan ; Mahasiswa S-2 Ilmu
Politik,
People's Friendship University of Russia
|
REPUBLIKA,
22 November 2012
Serangan tentara
Israel di Jalur Gaza, Palestina, akhir-akhir ini mengingatkan lagi pada
peristiwa akhir 2008 dan awal 2009 silam. Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB) terkesan tak berdaya untuk mencegah terjadinya banjir darah di Gaza.
Semuanya tentu tidak ingin peristiwa empat tahun silam tersebut terulang
kembali.
Dalam peristiwa kelam
empat tahun lalu, Laporan Dewan HAM PBB menyatakan, Israel telah melakukan
kejahatan agresi pada peristiwa tersebut.
Namun, PBB terkesan diam saja. Laporan tersebut terhadang di Dewan Keamanan (DK) PBB akibat veto sekutu Israel.
Veto di DK PBB
menyebabkan laporan Richard Goldstone yang berjudul Human Rights in Palestine and Other Occupied Arab Territories: Report
of the United Nations Fact Finding Mission on the Gaza Conflict ini hanya
menjadi monumen dokumen saja. Standar ganda DK PBB ini membuat keamanan
manusia terancam. Untuk menyiasati situasi anarkis tersebut perlu adanya
regulasi yang adil tanpa mengganggu keseimbangan politik internasional.
Sepak terjang DK PBB
yang menerapkan standar ganda ini perlu dikritisi karena semua keputusan
penting di PBB senantiasa melaluinya. Standar ganda tersebut tidak hanya
terkait persoalan Israel-Palestina, banyak kasus lainnya yang menjadikan
institusi ini bermuka dua. Reformasi kelembagaan perlu untuk ditekankan agar
tercipta keadilan tanpa impunitas.
Penerapan kebijakan
ganda ini semakin menambah daftar permasalahan yang terjadi dalam konflik
Israel-Palestina. Insiden demi insiden kekerasan menjadi suguhan tanpa henti
yang menyebabkan api konflik semakin berkobar.
Berbagai perundingan damai yang dilaksanakan pun menjadi nihil dalam implementasinya.
Reformasi DK PBB bukan
berarti menghapus sistem adanya anggota tetap dan tidak tetap beserta
hak-haknya. Penghapusan sistem ini bisa menjadi bom waktu seperti yang
pernah dialami oleh Liga Bangsa-Bangsa dulu. Anarkisme politik internasional
memerlukan adanya hegemonic stability
agar keseimbangan bisa terus terjaga.
Untuk melakukan
reformasi tersebut, ada beberapa hal yang harus diperhatikan sebagai objek
perubahan, yakni: pertama, jumlah anggota. Perlu untuk menambah jumlah
anggota DK PBB karena dinamika politik internasional saat ini bersifat
multipolar. Konstelasi dan kontestasi politik saat ini sudah berubah seusai
Perang Dingin.
Kedua, perubahan
konsep veto anggota tetap DK PBB. Sistem veto di DK PBB saat ini sangatlah
tidak adil. Satu anggota tetap melakukan veto, DK PBB gagal mengambil
keputusan. Penambahan jumlah anggota DK PBB ini bertemali erat dengan
sistem pengambilan keputusan. Perlu mengubah bagaimana veto bisa dilakukan,
yakni berdasarkan perhitungan tertentu di antara anggota tetap DK PBB.
Kedua hal tersebut,
menurut penulis, bisa menjadi solusi atas kebuntuan terhadap konflik puluhan
tahun antara Is- rael-Palestina. Dalam hal ini, perlindungan terhadap warga
sipil menjadi prioritas mengingat perang tersebut sudah memakan korban sangat
banyak.
Meredakan Konflik
Puluhan resolusi PBB
tentang konflik Israel-Palestina sudah dikeluarkan sejak 1967 hingga
sekarang. Resolusi tersebut ternyata tidak bertaji karena senantiasa
dilanggar oleh Israel. PBB sebagai lembaga yang mempunyai kuasa untuk
memaksakan implementasi resolusi ternyata tidak bisa berbuat banyak.
Sanksi tegas tidak pernah diberikan kepada Israel ketika mereka melakukan pelanggaran.
Serangan Israel yang
membabi-buta di jalur Gaza saat ini harus segera diakhiri. PBB harus
mengambil sikap tegas dan jelas terhadap agresi yang sekarang sedang
berlangsung. Membiarkannya berlangsung lebih lama lagi akan merugikan
masyarakat sipil.
Tentunya, banyangan
kelam 2008 silam yang menewaskan lebih dari 1.300 warga sipil Gaza sangat
tidak diinginkan terjadi lagi. Tak hanya PBB, organisasi- organisasi kawasan
juga perlu melakukan hal yang sama, menekan Israel supaya menghentikan
serangannya. Organisasi kawasan di kawasan Arab, Liga Arab, mempunyai peran paling
signifikan terhadap penghentian serangan tentara Israel ke Jalur Gaza.
Pernyataan Menteri
Luar Negeri Tunisia Rafik Abdesslem sangat tepat terkait posisi yang harus
diambil Liga Arab. Liga Arab mempunyai tanggung jawab untuk melindungi warga
Gaza dan menghentikan serangan Israel (Republika, 18/11). Liga Arab harus men
dorong terjadinya gencatan senjata di antara pejuang Palestina dan tentara
Israel.
Upaya meredakan
konflik sangat penting bagi warga Gaza. Beragam upaya harus dilakukan oleh
negara dan organisasi apa pun untuk melindungi keberadaan warga Gaza. Usaha
untuk menghentikan serangan membabi-buta tentara Israel saat ini bisa menjadi
sedikit obat bagi warga sipil di Gaza untuk bernapas lega.
Seruan atau desakan tidaklah cukup untuk menghentikan aksi brutal. Peringatan
keras perlu diberikan kepada Israel untuk menghentikan aksinya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar