Jumat, 23 November 2012

Urgensi Kenaikan Harga BBM Bersubsidi


Urgensi Kenaikan Harga BBM Bersubsidi
Bayu Darussalam ;  Peneliti Lembaga Kajian IRES
(Institute for Rural and Economic Studies), Magister Ilmu Ekonomi IPB
SUARA KARYA, 22 November 2012


Subsidi energi bahan bakar minyak (BBM) yang setiap tahun dialokasikan oleh pemerintah selalu menimbulkan pertanyaan akan efektivitas subjek penerimanya. Tujuan menjaga laju kenaikan harga-harga secara umum (inflasi) serta fluktuasi harga minyak dunia yang cenderung naik kerap dijadikan alasan pemerintah dalam memberikan subsidi BBM.
Padahal, penuturan Menteri ESDM Jero Wacik terkait efektivitas sasaran BBM bersubsidi di media massa sungguh menyentak. Bagaimana tidak, hanya 15 persen BBM bersubsidi yang dikonsumsi tepat sasaran. Adapun 77 persen lainnya digunakan oleh orang-orang yang tidak semestinya, dan 8 persen sisanya mengalami kebocoran. Sangat disayangkan, beban subsidi harus dibayar dengan ongkos defisit anggaran yang berpotensi memicu terjadinya overheating perekonomian nasional. Dalam jangka panjang akan menyeret pertumbuhan ke level bawah.
Seperti pada tahun-tahun sebelumnya, pemerintah telah menganggarkan belanja subsidi BBM dalam APBN 2013 sebesar Rp 193,8 triliun atau meningkat 41 persen dari APBN-P 2012 yang hanya Rp137,4 triliun. Jumlah ini diprediksi akan meningkat manakala terjadi kenaikan harga minyak dunia yang menembus asumsi harga minyak dalam makro ekonomi. Asumsi ICP (Indonesian Crude Price) dalam APBN 2013 adalah 100 dolar AS per barel, sedangkan harga ICP per Oktober 2012 telah mencapai 109,85 dolar AS per barel.
Tingginya harga ICP hari ini dibandingkan asumsi dalam APBN 2013 telah memunculkan kekhawatiran tersendiri. Kemungkinan naiknya beban subsidi mendorong perlunya pembiayaan tambahan yang dapat memicu defisit anggaran dan berimbas terhadap utang-utang baru. Sesuatu yang harus dihindari karena da-pat melemahkan dan mengganggu kredibilitas APBN.
Stagnasi harga BBM bersubsidi secara ekonomi telah menjadikan harga BBM bersubsidi setiap tahun mengalami penurunan nilai. Ini akan mendorong disparitas (gap) harga semakin lebar dengan yang nonsubsidi. Dengan harga murah, maka permintaan BBM bersubsidi akan terus meningkat setiap tahunnya. Padahal, produksi minyak mentah mengalami penurunan dan lifting minyak tak pernah mencapai target.
Meredam harga BBM melalui pemberian subsidi berpotensi memberikan previllage bagi sekelompok penunggang kepentingan yang tidak berhak. Sebut saja, kelas menengah yang sebagian besar merupakan pengguna kendaraan bermotor. Murahnya harga BBM dan mudahnya kepemilikan kendaraan bermotor dengan fasilitas kredit mendorong peningkatan permintaan terhadap konsumsi BBM. Ini tentu akan memperparah hiruk-pikuk lalu lintas dan semakin mendorong peningkatan permintaan konsumsi BBM. Pemerintah memprediksi konsumsi BBM tahun 2013 akan mencapai 46 juta kilo liter atau meningkat 6 juta kilo liter dibandingkan penghujung 2012. Besarnya biaya subsidi BBM turut membatasi ruang gerak fiskal pemerintah, yang tidak leluasa lagi menjalankan program-program produktif, yang memiliki multiplier effect lebih besar terhadap perekonomian nasional, seperti untuk program infrastruktur. Padahal, kondisi existing laju pertumbuhan ekonomi Indonesia yang telah mencapai 6 persen harus didukung oleh infrastruktur perekonomian yang memadai. Antara lain, melalui alokasi belanja yang lebih besar untuk infrastruktur dengan mengurangi biaya subsidi BBM. Jika tidak demikian, dikhawatirkan akan memicu terjadinya overheating perekonomian yang dapat menyeret perekonomian ke level bawah.
Opsi menurunkan beban subsidi BBM dengan menaikkan harga BBM bersubsidi merupakan pilihan yang sulit. Ibarat dua mata pisau, tanpa kebijakan menaikkan harga BBM bersubsidi maka harus dibayar dengan defisit anggaran (utang). Di sisi lain, dengan menaikkan harga BBM bersubsidi maka inflasi bisa tidak terkendali, aksi penolakan akan marak, dan jeritan rakyat jelata akan menjadi gambaran dalam menghadang rencana kebijakan tersebut.
Sejatinya subsidi BBM memiliki tujuan membantu rakyat miskin dalam menghadapi volatilitas perubahan harga minyak dunia yang cenderung meningkat. Namun, jika menilik data bahwa hanya 15 persen anggaran subsidi BBM yang dinilai tepat sasaran, tentunya perlu dibangun suatu upaya agar subsidi tersebut tepat sasaran.
Wacana pembatasan penggunaan BBM bersubsidi seperti larangan penggunaan BBM bersubsidi bagi kendaraan pribadi harus dihitung ulang untung dan ruginya. Hal ini mengingat sulit untuk menentukan siapa yang harus bertanggung jawab atas distribusi dan konsumsi BBM bersubsidi, serta bagaimana mekanisme pelaporan dan tindak lanjut penegakan hukum jika ada penyelewengan.
Oleh karenanya, pilihan kenaikan harga BBM bersubsidi harus dibarengi dengan upaya pemerintah memberikan kompensasi kepada masyarakat. Antara lain, pertama, belanja negara difokuskan untuk pembangunan infrastruktur perekonomian seperti jalan raya, peremajaan moda transportasi umum, dan perbaikan infrastruktur produksi. Tujuannya agar biaya ekonomi menjadi lebih murah karena dapat meminimalisasi kendala distribusi kegiatan ekonomi.
Kedua, subsidi BBM dialihkan untuk pemberian subsidi non-energi yang langsung dinikmati akar rumput, seperti subsidi pangan, pupuk, benih, anggaran pelayanan publik, serta bunga kredit untuk UMKM. Namun, hal ini tentu membutuhkan pengawasan ketat dalam implementasinya mengingat jenis subsidi semacam ini rentan penyimpangan.
Ketiga, pemberdayaan dan pemanfaatan sumber energi terbarukan untuk konsumsi dalam negeri, seperti batu bara dan panas bumi. Indonesia kaya akan kedua sumber energi tersebut namun belum dimanfaatkan secara optimal dan justru banyak dijual ke pasar luar negeri.
Jika upaya-upaya di atas dapat dilakukan secara efektif dan efisien, beban subsidi BBM tidak akan lagi membebani keuangan negara, dan perekonomian Indonesia dapat tumbuh secara adil, inklusif dan berkelanjutan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar