Urgensi
Kenaikan Harga BBM Bersubsidi
Bayu Darussalam ; Peneliti
Lembaga Kajian IRES
(Institute for Rural and Economic Studies), Magister Ilmu Ekonomi IPB |
SUARA
KARYA, 22 November 2012
Subsidi
energi bahan bakar minyak (BBM) yang setiap tahun dialokasikan oleh
pemerintah selalu menimbulkan pertanyaan akan efektivitas subjek penerimanya.
Tujuan menjaga laju kenaikan harga-harga secara umum (inflasi) serta
fluktuasi harga minyak dunia yang cenderung naik kerap dijadikan alasan
pemerintah dalam memberikan subsidi BBM.
Padahal,
penuturan Menteri ESDM Jero Wacik terkait efektivitas sasaran BBM bersubsidi
di media massa sungguh menyentak. Bagaimana tidak, hanya 15 persen BBM
bersubsidi yang dikonsumsi tepat sasaran. Adapun 77 persen lainnya digunakan
oleh orang-orang yang tidak semestinya, dan 8 persen sisanya mengalami
kebocoran. Sangat disayangkan, beban subsidi harus dibayar dengan ongkos
defisit anggaran yang berpotensi memicu terjadinya overheating perekonomian
nasional. Dalam jangka panjang akan menyeret pertumbuhan ke level bawah.
Seperti
pada tahun-tahun sebelumnya, pemerintah telah menganggarkan belanja subsidi
BBM dalam APBN 2013 sebesar Rp 193,8 triliun atau meningkat 41 persen dari
APBN-P 2012 yang hanya Rp137,4 triliun. Jumlah ini diprediksi akan meningkat
manakala terjadi kenaikan harga minyak dunia yang menembus asumsi harga
minyak dalam makro ekonomi. Asumsi ICP (Indonesian Crude Price) dalam APBN
2013 adalah 100 dolar AS per barel, sedangkan harga ICP per Oktober 2012
telah mencapai 109,85 dolar AS per barel.
Tingginya
harga ICP hari ini dibandingkan asumsi dalam APBN 2013 telah memunculkan
kekhawatiran tersendiri. Kemungkinan naiknya beban subsidi mendorong perlunya
pembiayaan tambahan yang dapat memicu defisit anggaran dan berimbas terhadap
utang-utang baru. Sesuatu yang harus dihindari karena da-pat melemahkan dan
mengganggu kredibilitas APBN.
Stagnasi
harga BBM bersubsidi secara ekonomi telah menjadikan harga BBM bersubsidi setiap
tahun mengalami penurunan nilai. Ini akan mendorong disparitas (gap) harga
semakin lebar dengan yang nonsubsidi. Dengan harga murah, maka permintaan BBM
bersubsidi akan terus meningkat setiap tahunnya. Padahal, produksi minyak
mentah mengalami penurunan dan lifting minyak tak pernah mencapai target.
Meredam
harga BBM melalui pemberian subsidi berpotensi memberikan previllage bagi
sekelompok penunggang kepentingan yang tidak berhak. Sebut saja, kelas
menengah yang sebagian besar merupakan pengguna kendaraan bermotor. Murahnya
harga BBM dan mudahnya kepemilikan kendaraan bermotor dengan fasilitas kredit
mendorong peningkatan permintaan terhadap konsumsi BBM. Ini tentu akan
memperparah hiruk-pikuk lalu lintas dan semakin mendorong peningkatan
permintaan konsumsi BBM. Pemerintah memprediksi konsumsi BBM tahun 2013 akan
mencapai 46 juta kilo liter atau meningkat 6 juta kilo liter dibandingkan
penghujung 2012. Besarnya biaya subsidi BBM turut membatasi ruang gerak
fiskal pemerintah, yang tidak leluasa lagi menjalankan program-program
produktif, yang memiliki multiplier effect lebih besar terhadap perekonomian
nasional, seperti untuk program infrastruktur. Padahal, kondisi existing laju
pertumbuhan ekonomi Indonesia yang telah mencapai 6 persen harus didukung oleh
infrastruktur perekonomian yang memadai. Antara lain, melalui alokasi belanja
yang lebih besar untuk infrastruktur dengan mengurangi biaya subsidi BBM.
Jika tidak demikian, dikhawatirkan akan memicu terjadinya overheating
perekonomian yang dapat menyeret perekonomian ke level bawah.
Opsi
menurunkan beban subsidi BBM dengan menaikkan harga BBM bersubsidi merupakan
pilihan yang sulit. Ibarat dua mata pisau, tanpa kebijakan menaikkan harga
BBM bersubsidi maka harus dibayar dengan defisit anggaran (utang). Di sisi
lain, dengan menaikkan harga BBM bersubsidi maka inflasi bisa tidak
terkendali, aksi penolakan akan marak, dan jeritan rakyat jelata akan menjadi
gambaran dalam menghadang rencana kebijakan tersebut.
Sejatinya
subsidi BBM memiliki tujuan membantu rakyat miskin dalam menghadapi
volatilitas perubahan harga minyak dunia yang cenderung meningkat. Namun,
jika menilik data bahwa hanya 15 persen anggaran subsidi BBM yang dinilai
tepat sasaran, tentunya perlu dibangun suatu upaya agar subsidi tersebut tepat
sasaran.
Wacana
pembatasan penggunaan BBM bersubsidi seperti larangan penggunaan BBM
bersubsidi bagi kendaraan pribadi harus dihitung ulang untung dan ruginya.
Hal ini mengingat sulit untuk menentukan siapa yang harus bertanggung jawab
atas distribusi dan konsumsi BBM bersubsidi, serta bagaimana mekanisme
pelaporan dan tindak lanjut penegakan hukum jika ada penyelewengan.
Oleh
karenanya, pilihan kenaikan harga BBM bersubsidi harus dibarengi dengan upaya
pemerintah memberikan kompensasi kepada masyarakat. Antara lain, pertama,
belanja negara difokuskan untuk pembangunan infrastruktur perekonomian
seperti jalan raya, peremajaan moda transportasi umum, dan perbaikan
infrastruktur produksi. Tujuannya agar biaya ekonomi menjadi lebih murah
karena dapat meminimalisasi kendala distribusi kegiatan ekonomi.
Kedua,
subsidi BBM dialihkan untuk pemberian subsidi non-energi yang langsung
dinikmati akar rumput, seperti subsidi pangan, pupuk, benih, anggaran
pelayanan publik, serta bunga kredit untuk UMKM. Namun, hal ini tentu
membutuhkan pengawasan ketat dalam implementasinya mengingat jenis subsidi
semacam ini rentan penyimpangan.
Ketiga,
pemberdayaan dan pemanfaatan sumber energi terbarukan untuk konsumsi dalam
negeri, seperti batu bara dan panas bumi. Indonesia kaya akan kedua sumber
energi tersebut namun belum dimanfaatkan secara optimal dan justru banyak
dijual ke pasar luar negeri.
Jika upaya-upaya di
atas dapat dilakukan secara efektif dan efisien, beban subsidi BBM tidak akan
lagi membebani keuangan negara, dan perekonomian Indonesia dapat tumbuh
secara adil, inklusif dan berkelanjutan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar