Jumat, 23 November 2012

Masa Depan Kebinekaan Indonesia


Masa Depan Kebinekaan Indonesia
Abdullah Yazid ;  Peneliti International Conferenceof Islamic Scholars,
Anggota Forum Gusdurian
SUARA KARYA, 23 November 2012
  
Masalah kebhinekaan di Indonesia kembali mencuat, akhir-akhir ini. Terorisme, radikalisme, hingga disintegrasi bangsa pun merupakan tantangan nyata di depan mata. Ideologi Pancasila, kita rasakan masih belum menjiwai dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Padahal, Pancasila adalah harga mati bagi NKRI.
Semboyan Bhinneka Tunggal Ika diambil oleh Mpu Tantular dari konsep teologi Hindu yang berbunyi Bhina Ika Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mengrawa. Artinya, berbeda-beda Dia, tapi satu adanya, tak ada ajaran yang menduakannya.
Mpu Tantular adalah penganut Budha, namun ia terbuka terhadap pemeluk agama lain, terutama Hindu Siwa. Artinya, bangsa Indonesia sudah sejak lama mempraktikkan hidup tole-ran terhadap pluralitas yang inheren. Ini adalah tradisi dan melekat serta menjiwai setiap anggota masyarakat. Ini pula yang menciptakan entitas keberagaman yang rukun dan sudah sangat mengakar pada bangsa Indonesia.
Mantapnya kebhinekaan Indonesia dan kuatnya perekat persatuan kebangsaan Indonesia ke depan hanya dapat diraih melalui bentuk-bentuk pendidikan multikultur yang pas lewat disain kebhinekaan yang mengintegrasikan proses pembelajaran nilai, pengetahuan, dan keterampilan hidup dalam masyarakat Indonesia yang multikultural.
Memang, sistem pendidikan dengan nilai-nilai seperti humanisme belum diterapkan di dunia pendidikan kita. Sistem pendidikan yang dikembangkan di lembaga pendidikan kita belum memungkinkan terjadinya pemahaman paradigma multikulturalisme yang proporsional akibat distorsi-distorsi. Misalnya, distorsi agama kerap dijadikan pembenar bagi terjadinya konflik antaragama.
Sebagai penerus sekaligus tulang punggung bangsa, generasi muda diharapkan mampu menanamkan semangat toleransi, pluralisme, dan penghargaan antar-kelompok agar tetap lestari dan menjadi dasar berkehidupan bangsa ini. Persepsi generasi muda tentang persoalan kebangsaan, pluralitas dan kepemimpinan nasional cukup penting dalam rangka mengeksplorasi opini dan sikap publik tentang kebhinekaan di Indonesia.
Generasi penerus dengan progresivitas pemikirannya tetap harus belajar dari seja-rah yang telah ditorehkan oleh generasi tua. Sejarah akan menjadi petunjuk yang baik, apa yang harus dilakukan atau tidak. Sejarah masa lalu menjadi cermin bagaimana sejarah akan datang diukir sekarang. Dari sejarah itulah, generasi sekarang bisa dan harus belajar. Tetapi, apabila lubang hitam sejarah itu tak pernah ditambal, orang tak mau belajar dari sejarah, maka kesalahan demi kesalahan akan selalu terukir.
Oleh sebab itu, para penyelenggara negara secepatnya menyelamatkan upaya pendangkalan kebangsaan dan pemasungan toleransi yang secara sistematik telah merasuki masyarakat pada umumnya. Negara harus mengambil langkah-langkah untuk menyelamatkan kebhinnekaan dan janji kebangsaan yang tertuang dalam Pancasila dan konstitusi RI.
Pada saat ini, kita sebenarnya masih dihadapkan pada situasi dan realitas yang tidak mengenakkan. Di banyak tempat masih terjadi ketegangan antar-keyakinan, antar-etnis dan antar-agama. Di beberapa daerah, tempat ibadah kelompok agama tertentu disegel, dirusak dan bahkan ada yang dibakar. Sangat disayangkan bahwa dalam masyara-kat yang sudah melewati banyak pengalaman dan pelajaran ini masih melakukan tindakan yang tidak toleran dan menghargai keragaman.
Yang lebih disayangkan adalah sikap keraguan dari lembaga negara. Kita tahu bahwa alasan dasar adanya negara adalah untuk melindungi hak dan kebebasan warga negaranya. Namun, dari beberapa kejadian kekerasan dalam merespon keragaman, kita tidak melihat negara menjadi pelindung hak-hak dasar warga negaranya.
Oleh sebab itu, di tengah merebaknya tindak kekerasan dan sikap anti-keragaman, kita perlu membangun sikap optimis karena toh masih banyak kelompok yang toleran dan anti-kekerasan. Salah satu hal penting yang perlu kita semai dan kita rawat adalah sikap dan keyakinan untuk saling menghargai, saling pengertian dan anti kekerasan.
Dengan pendekatan multidimensi, kita juga perlu melihat persoalan yang kita hadapi tidak hanya dari satu sisi. Ada banyak latar yang perlu kita pahami dalam melihat respon masyarakat terhadap keragaman, mulai dari sistem keyakinannya, kesenjangan sosial dan orientasi politiknya.
Saat ini, yang perlu dibangun dan dikembangkan adalah kelompok anak muda yang mau berkiprah dalam membangun toleransi keberagamaan dan mendorong semangat kebhinekaan. Pengalaman kehidupan sehari-hari para pelajar Indonesia serta gagasan-gagasan aktual mereka dalam melihat kebhinekaan Indonesia, misalnya, perlu dipupuk. Pelatihan-pelatihan keberagaman, saat ini perlu memfokuskan pada pelajar dan pemuda, bukan lagi orang-orang tua yang sering menjadikan forum-forum demikian sebagai seremonial. Semangat berbhineka harus segera dioper kepada yang muda.
Jika kita disodori bahan-bahan pelajaran yang mengandung bias (kelas, jender, etnis, agama, suku), kita akan tumbuh menjadi manusia dengan praduga dan prasangka negatif terhadap orang lain yang berbeda. Dengan memperluas wacana kebhinekaan di kalangan anak muda, dalam jangka panjang diharapkan dapat terbangun secara luas pengejawantahan kebhinekaan Indonesia.
Empat pilar negara: Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan Bhinneka Tunggal Ika, telah kita yakini sebagai perekat kehidupan bangsa dan negara Indonesia yang multikultur. Keempat pilar yang gencar disosialisasikan MPR RI ini, di satu sisi memang fundamen, tapi sisi lain, cukup rentan jadi pepesan kosong kalau implementasi konkrit Pancasila dan kebhinekaan tidak dirumuskan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar