Israel Antara
Shakespeare dan Chekov
Akhmad Sahal ; Wakil
Ketua PCI NU Amerika dan Kanada
|
ISLAMLIB.COM,
22 November 2012
“Konflik antara Israel dan Palestina, kata
sastrawan Israel Amos Oz, adalah tragedi setragis-tragisnya. Karena yang
menyulut konflik tersebut adalah benturan dua klaim yang sama-sama tidak mau
mengalah. Lantas bagaimana mungkin tragedi semacam ini bisa disudahi? Amos Oz
menyebutkan dua pilihan cara penyelesaian: model Shakespeare atau model
Chekov.”
Konflik antara Israel dan Palestina, kata
sastrawan Israel Amos Oz, adalah tragedi setragis-tragisnya. Karena yang
menyulut konflik tersebut adalah benturan dua klaim yang sama-sama tidak mau
mengalah. Lantas bagaimana mungkin tragedi semacam ini bisa disudahi? Amos Oz
menyebutkan dua pilihan cara penyelesaian: model Shakespeare atau model
Chekov.
Pada model Shakespeare, konflik berakhir
ketika semua pihak yang terlibat saling menghabisi satu sama lain, sehingga
pada akhir cerita semua mati terbunuh. Lihatlah misalnya babak akhir lakon
Hamlet. Duel antara Hamlet dan Laertes tidak hanya berujung pada kematian
keduanya, melainkan juga menyeret ibunda Hamlet, Gertrude, dan raja Claudius
ke liang lahat.
Sebaliknya, pada model Chekov, konflik
diselesaikan melalui resolusi yang sama sekali jauh dari memuaskan siapapun,
mengecewakan, dan bahkan mungkin menyisakan luka. Namun, masing-masing pihak
tetap hidup.
Oz sendiri menaruh harapan agar negaranya
memilih model Chekov dan bukan Shakespeare dalam menangani perseturuannya
dengan Palestina. Artinya, jalan perundingan, bukan jalan militer. Sebab
menurutnya, sejelek-jeleknya kompromi tetap lebih baik daripada perang
habis-habisan a la duel Hamlet.
Harapan yang masuk akal, mengingat Amos Oz
adalah pendiri gerakan Shalom Achshav (Damai Sekarang Juga) yang gencar
menentang kebijakan pemerintahnya menyangkut West Bank dan Gaza. Namun
harapan novelis Israel itu tampaknya hanya menjadi suara sayup yang melemah,
ketika politik Israel semakin diwarnai oleh menguatnya kelompok sayap kanan,
yang dibarengi dengan merosotnya kekuatan gerakan kiri.
Harap diingat, dikotomi “kanan-kiri” dalam
nomenklatur politik Israel lebih banyak terkait dengan isu keamanan nasional
ketimbang ekonomi. “Kanan” di sini bukan berarti liberalisme, melainkan sikap
hawkish yang mengandalkan jalan militer dan anti kompromi menyangkut tanah
pendudukan. Sedangkan “kiri” tidak mengacu pada sosialisme, tapi pada sikap
dovish yang mengutamakan negosiasi,dan juga kesediaan melepas Gaza dan Tepi
Barat kepada rakyat Palestina demi tercapainya solusi damai antara Israel dan
Palestina (land for peace).
Gejala ini secara nyata tercermin dalam
pemilu Israel baru-baru ini (2009). Fakta bahwa tokoh seperti Netanyahu atau
Avigdair Lierbeman semakin meroket popularitasnya menujukkan betapa sikap
hawkish sedang laku keras di Israel
Netanyahu yang kini memimipin partai Likud
jelas-jelas menyatakan hendak mempertahankan wilayah pendudukan. Sedangkan
Lieberman, pemimpin partai baru Yisra’eli Beininu, merupakan politisi
ultranasionalis yang dikenal rasis terhadap warga negara Israel keturunan
Arab, yang jumlahnya hampir mencapai 20 persen dari total populasi negeri
itu. Ia bahkan menuduh mereka sebagai musuh dalam selimut, yang lebih loyal
terhadap Palestina dibanding kepada negerinya sendiri.
Pada tingkat tertentu, penguatan kubu
hawkish di Israel ini dipicu oleh supremasi Hamas di Gaza yang bertekad
menghancurkan Israel. Begitu juga sebaliknya. Naiknya pamor Hamas tak bisa
dilepaskan dari menguatnya kelompok kanan di Israel, yang terdiri dari para
pemilih dan simpatisan partai Likud, kaum Yahudi ultra-Orthodox, dan
mayoritas imigran dari Rusia pasca tumbangnya Soviet.
Kita sering mendengar alasan membela diri
sebagai faktor yang mendorong Israel menyerang Gaza. Tapi tunggu dulu. Hamas
pun bisa mengklaim hal yang sama, misalnya dengan berdalih serangan roketnya
ke Israel juga demi membela diri dari blokade ekonomi dan sosial yang
diberlakukan Israel atas Gaza. Dengan kata lain, yag sesungguhnya terjadi
adalah ini: kedua belah pihak mengalami militansinya masing-masing.
Bagaimana kita memahami fenomena itu?
Sejauh menyangkut Israel, akar masalahnya sebenarnya sudah muncul jauh
sebelum Hamas lahir. Tepatnya setelah Israel berhasil meluluhlantakkan, dalam
waktu singkat, kekuatan bersenjata gabungan Mesir, Jordan, dan Syiria pada
peperangan tahun 1967, yang lazim dikenal sebagai “Perang Enam Hari.”
Sebelum tahun 1967, sikap Israel terhadap
Arab secara umum mengacu pada konsep “tembok besi” yang dirumuskan oleh
Vladimir Jabotinsky. Nama ini memang sering diasosiasikan dengan Zionisme
revisionis yang menjadi sumber inspirasi partai sayap kanan Likud. Tapi
esainya berjudul “Tembok Besi: Kita dan Arab” yang terbit pada 1920-an
menunjukkan bahwa pandangan Zionis kelahiran Odessa ini sejatinya mengandung
muatan yang tak bisa begitu saja dinisbatkan ke ideologi hawkish Partai
Likud.
Apa itu strategi “tembok besi’? Menurut
Jabotinsky, Israel harus mengakui adanya pertautan alamiah antara bangsa
Palestina dengan tanah kelahiran mereka, “seperti halnya pertautan bangsa
Aztecs pada Mexico atau suku Sioux pada tanah rerumputan mereka.” Karena itu
bisa dimaklumi kalau mereka menentang berdirinya negara Yahudi di Palestina,
yang mereka anggap sebagai kolonisasi. Kata Jabotinsky, “seandainya kita
Arab, kita akan menentangnya juga.”
Dari situ ia kemudian menegaskan bahwa
bangsa Arab tidak akan dengan sukarela mengakui kehadiran negara Yahudi di
Palestina. Karena itu menurutnya, untuk merealisasikan proyek Zionisme, kaum
Yahudi mesti membangun kekuatan militer yang betul-betul kokoh laksana tembok
besi, sehingga setiap usaha bangsa Arab untuk menghancurkannya akan berakhir
dengan sia-sia
Jabotinsky meyakini kegagalan terus menerus
yang diderita bangsa Arab akan membuat mereka lambat laun menjadi
kompromistis, dan akhirnya menerima kehadiran Israel. Dengan kata lain, buat
Jabotinsky, kekuatan militer bukanlah tujuan pada dirinya sendiri, melainkan
sarana pemaksa agar pihak Arab bersedia berunding dengan Israel.
Tapi setelah berhasil menduduki Gaza, Tepi
Barat, dan wilayah Arab lain menyusul kemenangannya pada perang 1967, Israel
seperti terpukau dengan kedigdayaannya sendiri. Strategi tembok besi ala
Jabotinsky lantas ditinggalkan. Israel tidak lagi menempatkan kompromi
sebagai tujuan akhir dari kebijakan politik mereka.
Sikap anti kompromi ini menjadi semakin
mengeras dengan adanya dukungan dari kelompok yang senantiasa bersinergi.
Pertama kelompok fundamentalis Yahudi yang tergabung dalam Gush Emunim, yang
meyakini Tepi Barat, Gaza dan Yerusalem sebagai anugerah Tuhan kepada bangsa
Yahudi di Israel, dan karena itu “haram” hukumnya dikembalikan ke bangsa
Arab. Kedua adalah partai Likud yang sejak awal getol memperjuangkan gagasan
tentang “Israel Raya” yang mencakup keseluruhan wilayah Israel dan Palestina.
Sikap anti kompromi yang ditampilkan Israel
inilah yang terbukti selalu menjadi batu sandungan bagi setiap pembicaraan
damai dengan pihak Arab. Sampai sekarang.
Pada 2002, misalnya, Liga Arab dengan juru
bicara Pangeran Abdullah dari Arab Saudi menawarkan hubungan penuh dengan
Israel asalkan Israel mau kembali ke wilayahnya sebelum perang 1967. Tapi
dengan ketus Israel menolaknya. Bahkan Hamas juga pernah menawarkan gencatan
senjata 30-40 tahun dengan catatan Israel menarik diri dari pendudukan.
Israel lagi-lagi menampiknya.
Artinya apa? Kalau kita kembali kepada Amos
Oz, Israel menempuh jalan Chekov ketimbang Shakespeare bukan karena
semata-mata pengaruh faktor luar ( Hamas), melainkan terutama justru akibat
dari dinamika internalnya sendiri.
Ironisnya, Israel juga didera oleh rasa
terkepung yang akut sehingga senantiasa melihat sekelilingnya sebagai
ancaman. Setidaknya itu terlihat pada serangan mereka ke Gaza. Rasa terkepung
ini muncul karena Israel selalu melihat dirinya sebagai korban anti semitisme
berabad2 yang berpuncak pada Holocaust, dan pada saat yang sama punya
kekuatan militer yang tak tertandingi di Timur Tengah, plus dukungan yang
hampir total dari Amerika. Nah, kombinasi antara kekuatan yang tak tepermanai
yang dimiliki Israel plus persepsi diri sebagai korban pada akhirnya
menyebabkan Israel selalu merasa terancam. Ungkapan “Jika yang anda punya hanya palu, dunia sekitar akan tampak seperti
paku” rasanya tepat sekali melukiskan tabiat Israel.
Apa yang terjadi pada Israel saat ini
sungguh terasa absurd, bahkan kalau hal itu dilihat dari perspektif zionisme.
Ketika Theodor Herzl, mencetuskan ide negara Yahudi pada akhir abad 19, bapak
Zionisme itu mendambakan agar dengan mempunyai Negara sendiri, bangsa Yahudi,
yang bisa hidup normal seperti bangsa-bangsa lain. Menurut Herzl, dua ribu
tahun lamanya bangsa Yahudi hidup abnormal, yakni terpencar dalam diaspora
tanpa negara. Oleh karena itu mereka rentan menjadi target serangan
antisemitisme di Eropa . Berdirinya Negara Israel oleh Herzl dimaksudkan agar
bangsa Yahudi bisa keluar dari abnormalitas tersebut. Harapannya adalah agar
ancaman antisemitisme lenyap.
Tapi setelah lebih enam dasawarsa berdiri,
Israel mengidap sindrom mentalitas terkepung. dan antisemitisme justru
semakin meluas. Apakah kehidupan semacam ini yang dibayangkan oleh Herzl
sebagai “normal” sebagaimana bangsa-bangsa lain?
Entahlah. Yang pasti, mentalitas terkepung
semacam inilah yang menyebabkan harapan Amos Oz terhadap negerinya tidak
tercapai. Karena terbukti Israel condong kepada model Shakespeare dan
menjauhi model Chekov. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar