Tourism Old vs New dan Disruption Trend
Rhenald Kasali ; Pendiri
Rumah Perubahan
|
KORAN SINDO, 28 April
2016
Pekan-pekan ini umat Katolik
Indonesia tengah sibuk menyusun rencana besar menyongsong bulan Maria, yang
biasa jatuh setiap Mei dan Oktober. Salah satunya adalah ziarah wisata.
Destinasinya, Gua Maria yang
tersebar di berbagai daerah. Kebetulan Mei mendatang ini ada dua hari libur
yang jatuhnya berurutan, yakni Kamis- Jumat (5 dan 6 Mei). Ditambah libur
Sabtu-Minggu, bakal ada empat hari libur berurutan. Ini betul-betul akan
menjadi very long week end bagi masyarakat kita, baik umat Katolik maupun
umat lainnya.
Waktu yang cukup untuk
meninggalkan Jakarta yang semakin sumpek. Apalagi sekarang perjalanan ke
lokasi-lokasi ziarah wisata ke Jawa Barat dan Jawa Tengah menjadi semakin
mudah setelah jalan tol Cikampek-Palimanan (Cipali) beroperasi. Ditambah lagi
paket-paket tur dan transportasi murah yang dikemas para pelaku sharing
economy semakin banyak.
Mudah-mudahan pihak kepolisian,
Dishub, dan PT Jasa Marga kali ini lebih sigap mengatur arus lalu lintas di
jalan tol Jakarta-Cikampek dan Cipali sehingga saudara-saudara kita yang
ingin berwisata tidak terjebak kemacetan berjam-jam di jalan tol.
Wisata
pun Disrupted
Mula-mula saya sebetulnya tak
terlalu menaruh perhatian dengan rencana libur dan ziarah umat Katolik tadi.
Sebab nyaris setiap tahun mereka melakukannya. Biasanya mereka pergi
berombongan dengan mobil pribadi. Jumlahnya mungkin empat-lima mobil.
Hanya kali ini saya agak
terperangah, sebab jumlahnya meningkat luar biasa. Mereka berangkat dengan
dua bus! Saya mulai mencermati fenomena tersebut. Namun, setelah membaca
artikel di Boston Globe, saya mulai melihat bahwa apa yang dilakukan umat
Katolik tadi hanyalah potret kecil dari sebuah perubahan besar dalam sebuah
proses global disruption .
Soal ini, kami di Rumah Perubahan
sedang sibuk-sibuknya mengajari para CEO dan aparatur sipil negara merumuskan
strategi dan aksi baru di era disruption . Training selama lima hari itu amat
diminati karena kami mengajarkan cara-cara baru merumuskan strategi.
Prinsipnya, kami ajarkan korporasi dan institusi berinovasi like startups.
Anda tahu, kalau sudah bicara
tentang perubahan, saya pasti sangat menaruh perhatian. Bahkan Clayton
Christensen yang mencetuskan teori tentang Disruptive Innovation lebih dari 20 tahun yang lalu terpaksa
angkat bicara lagi karena ia melihat teorinya dikritik orang-orang asbun. (It is) criticized for shortcomings that have already been addressed
(2016), ujarnya.
Proses disruptive yang mengakibatkan penjungkirbalikan banyak lembaga
bereputasi ini bakal membuat pusing bukan saja para pendeta, pastor ataupun
para kiai dan pengurus masjid atau gereja. Kita semua, termasuk Menhub dan
Menteri BUMN, pemilik televisi, Presiden, bahkan Ketua BPK dan gubernur
tengah mengalami ujian disruptive innovation yang berat.
Bahkan para ketua majelis wali
amanah universitas bergengsi akan pusing mengatur rektor yang kolot dan
pengusaha taksi bereputasi tinggi yang amat kita cintai seperti Blue Bird
atau perusahaan minyak sekelas Aramco bakal bernasib buruk kalau kurang
cermat merespons gejolak disruptions ini.
Bakal ada yang terjungkir balik.
Melawan hukum manusia kebanyakan loser takut dipenjara, tapi melawan hukum
alam berisiko lebih besar pada korban yang tak terbatas. Baiklah kita
membahas soal artikel di Boston Globe. Anda tahu bukan bahwa Boston Globe
adalah media cetak yang punya reputasi besar dalam menyajikan liputan-liputan
investigasi. Salah satu liputan Boston Globe pernah difilmkan.
Judulnya Spotlight. Film ini kemudian meraih penghargaan Academy Award atau kita mengenalnya
dengan sebutan Oscar sebagai Film Terbaik pada tahun 2016. Apa isi
liputannya? Menurut laporan Boston Globe , sejumlah biro perjalanan wisata di
Amerika Serikat mencatat pertumbuhan 164% dalam kurun waktu lima tahun
terakhir atau jika dirata-rata lebih dari 30% per tahun.
Ini angka yang luar biasa. Sebab
kalau merujuk data Badan Pariwisata Dunia (World Tourism Organization),
setiap tahun industri pariwisata dunia hanya tumbuh rata-rata 4%. Bagaimana
bisa? Media ini lalu menelisik lebih dalam. Rupanya pemicu lonjakan adalah
meningkatnya permintaan wisata ke lokasi-lokasi yang memberikan pengalaman
spiritual dan religius.
Potret ini tecermin di sejumlah
biro perjalanan wisata di sana. Misalnya Audley Travel, biro perjalanan
wisata di Boston. Biro ini mengorganisasi perjalanan “wisata penyembuhan” ke
Bali, ke biara-biara Shinto- Buddha di Jepang, kuil-kuil suci di Thailand,
termasuk Taktsang Monastery (atau dikenal dengan sebutan Tigers Nest) di
Bhutan—sebuah kuil yang berlokasi di tebing dengan ketinggian lebih dari
3.000 meter dari permukaan laut.
Pendakian yang melelahkan, tetapi
dikemas menjadi simbol betapa beratnya perjalanan kehidupan di dunia. Belum
lagi wedding party di Ubud plus afternoon tea di tepi Sungai Ayung. Biro
wisata yang lain, Avanti Destinations, yang berbasis di Portland, Oregon, AS,
juga sukses mengemas perjalanan wisata spiritual. Permintaannya naik lebih
dari dua kali lipat.
Destinasi wisata favorit Avanti
adalah tempat kelahiran Martin Luther King Jr, tanah kelahiran Paus
Fransciscus II di Argentina, termasuk wisata ke Vatikan—yang setiap harinya
mampu menampung 25.000 wisatawan—, Machu Picchu di Peru, serta sejumlah
lokasi wisata yang misterius dan religius.
Andaikan Suriah tak dilanda
perang, barangkali negara ini juga menjadi tujuan wisata yang penting untuk
mengunjungi makam Nabi Adam, sumur Ayub, Masjid Ummayah, dan Lembah Malula
yang penduduknya masih mampu berdoa Bapak Kami dalam bahasa Aramik. Potret
serupa terjadi di birobiro perjalanan wisata lainnya.
Intinya menggambarkan terjadinya
tren wisata dunia dari yang semula sekadar mencari kesenangan menjadi mencari
ketenangan. Jadi, kalau dulu banyak wisatawan mencari lokasi yang menawarkan
sun, sand and sea—katanya untuk membuat kulit mereka lebih cokelat sehingga
terlihat lebih menarik (walau sampai sekarang saya tak mengerti mengapa lebih
cokelat menjadi lebih menarik), kini mereka mencari sesuatu yang lebih. Apa
itu?
Mereka rupanya mencari destinasi
wisata yang lebih memberikan ketenangan batin, lokasinya lebih ramah
lingkungan dan berkelanjutan serta memperkaya pengalaman spiritualitas
mereka. Menurut Catherine M Cameron dan John B, Gatewood (2008), mereka kini
mencari beyond sun, sand and sea. Mereka sudah jenuh dengan wisata ke pantai,
berjemur matahari, dan menikmati pasir laut.
Mereka ingin mencari destinasi
wisata yang lebih memberi makna. Istilahnya, serenity, sustainability and
spirituality. Tengok saja bandara-bandara kita, setiap hari dipenuhi jamaah
umrah yang makin hari makin banyak peminatnya. Semua mencari ketenangan,
bukan ketegangan yang biasa kita baca di media sosial atau kita lihat di
televisi.
Para wisatawan juga sudah jenuh
menghadapi situasi dunia yang tidak menentu, baik dalam bidang politik maupun
ekonomi. Mereka juga mulai bertanya-tanya tentang makna kehidupan. Kata
Daniel Olsen, profesor geografi dari Brigham Young University di AS, banyak
orang yang mulai bertanya-tanya tentang makna hidup, mengapa saya ada di
dunia ini dan di mana saya setelah meninggal dunia?
“Wisata religi dan spiritual
setidak- tidaknya memberi mereka jawaban atas pertanyaanpertanyaan tersebut.
Memberi Anda perspektif lain dalam hidup ini,” kata Olsen. Di sisi lain,
meningkatnya tren wisata religius juga dipicu kian meningkatnya popularitas
Paus Franciscus II, Dalai Lama, dan tokoh-tokoh spiritual lainnya, termasuk
peringatan 500 tahun reformasi Protestan yang dipelopori Marthin Luther King
Jr yang bakal jatuh pada 2017.
Perubahan
dan Peluang
Saya tadi sudah menyinggung bahwa
tren perubahan wisata—dari berbasis kesenangan menjadi mencari ketenangan—
tak hanya terjadi di tingkat dunia, tapi juga di depan mata kita. Buktinya,
meningkatnya minat ziarah wisata umat Katolik tadi. Lihatlah juga permintaan
wisata umrah dan haji yang setiap tahunnya terus meningkat. Tapi, jangan
hanya melihat ke luar.
Lihatlah ke dalam. Negeri kita
sebetulnya sangat kaya dengan destinasi wisata tradisi dan religi. Kita
mempunyai banyak masjid kuno yang menjadi saksi sejarah tentang kebesaran
Islam di negeri ini. Kita punya tradisi Grebeg Maulud yang bisa dikemas menjadi
tontonan memikat bagi para wisatawan asing.
Kita juga punya makam Walisongo
yang berserak mulai dari Jawa Barat, Jawa Tengah hingga Jawa Timur. Bagi
kalangan Katolik, ada Gua Maria yang tersebar mulai dari Sumatera sampai
Jawa. Kita juga punya banyak sekali kelenteng kuno. Jangan lupa kita juga
punya Candi Borobudur, Candi Prambanan, dan ribuan candi lainnya yang kaya
dengan tradisi religi.
Belum lagi upacara Ngaben dan
penyucian air atau upacara Nyepi di Bali. Maka kita jangan hanya menjadi
penonton perubahan tren wisata dunia. Kita harus menjadikannya sebagai
peluang untuk menjaring lebih banyak wisatawan asing agar mau mengunjungi
objek-objek wisata religi di Tanah Air. Modal kita adalah kerukunan beragama—
meski sesekali dinodai oleh kelompok-kelompok radikal. Setiap perubahan
selalu menawarkan peluang. Itulah yang mesti kita tangkap. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar