Mengapa Lapas Rusuh?
Dindin Sudirman ; Sekretaris
Jenderal Forum Pemerhati Pemasyarakatan;
Mantan Sekretaris Direktorat
Jenderal Pemasyarakatan
|
KORAN SINDO, 28 April
2016
Pasca kerusuhan narapidana di
berbagai lapas—terakhir terjadi di Lapas Banceuy— banyak pakar dan analis
yang menjelaskan apa yang menjadi penyebab kerusuhan tersebut yang datangnya
seolah bertubi-tubi.
Dari pihak pemerintah, menkumham
mengatakan bahwa kerusuhan tersebut diakibatkan oleh ”overcrowded” dan PP 99/
2012 yang menjadi biang keroknya. Sementara para pengamat tidak percaya bahwa
kerusuhan tersebut diakibatkan oleh duahal tersebut.
Mereka lebih menekankan karena
mental petugas pemasyarakatan yang memble. Satu hal yang penulis amati bahwa
dalam menganalisis kerusuhan tersebut, para pengamat kurang mendudukan
persoalannya dari sisi kemanusiaan, terutama dari aspek psychosocial manusia yang sedang dihilangkan kemerdekaan
bergeraknya.
Atau, dengan kata lain, bagaimana
suasana kebatinan mereka yang sedang mengalami tragedi hidup di dalam
masyarakat penjara yang serbaterbatas. Tragedi-tragedi kemanusiaan itu akan
tampak dengan jelas manakala kita melangkahkan kaki ke dalam dunia yang penuh
derita ini. Di dalamnya terdapat demikian banyak pembatasan terhadap
dimensi-dimensi kehidupan, seolah-olah alpha dan omega kehidupan manusia
hanyaditentukanolehkesempitan ruangdanwaktu, yangmengaku terbentang di antara
beberapa ratus meter tembok yang membisu sepanjang masa.
Dari dulu hingga sekarang
institusi buatan manusia ini jarang sekali dipedulikan orang, dibiarkan
beredar dalam orbitnya secara diam-diam di tengah-tengah keramaian perputaran
institusi buatan manusia lain. Yang dalam kesamaannya sebagai institusi yang
menampung, memberi makan dan mengatur hidup orang banyak di dalamnya secara
seragam (Bahroedin Suryobroto, ahli pemasyarakatan).
Dalam suasana yang serba dibatasi,
kebutuhan-kebutuhan fitrah manusia di dalam penjara tidak dapat disalurkan
secara formal karena terhambat oleh peraturan-peraturan yang berlaku.
Sosiolog Prancis, Emile Durkheim, menamakan masyarakat yang demikian dengan
istilah ”anomie”, di mana nilainilai yang sudah terinstitusionalisasikan
tidak lagi dapat dipakai sebagai cara bertindak untuk memenuhi kebutuhannya.
Mengapa
Lapas Rusuh?
Dalam ilmu sosiologi, tipe
penyesuaian diri narapidana dengan jalan melakukan pemberontakan
dikategorikan sebagai perilaku kolektif. Salah satu ahli sosiologi yang telah
menjelaskan perilaku kolektif adalah Smelser. Dalam mengembangkan teori
mengenai perilaku kolektif, Smelser meminjam konsep nilai tambah (value added) dari ilmu ekonomi
(Sunarto, 2000).
Menurut teorinya, perilaku
kolektif ditentukan oleh enam faktor yang berlangsung secara berurutan.
Seperti tahapan dalam proses produksi yang pada akhirnya akan menghasilkan
produk jadi, maka dalam perilaku kolektif pun masing-masing dari enam faktor
tersebut memberi nilai tambah pada faktor yang mendahuluinya sehingga peluang
untuk terjadi perilaku kolektif semakin besar.
Faktor tersebut: Pertama, perilaku
kolektif mula-mula diawali oleh faktor yang dinamakan structural conduciveness, faktor struktur situasi sosial yang
memudahkan terjadi perilaku kolektif. Dalam masyarakat penjara, hal ini sudah
jelas karena setiap orang yang dimasukkan ke lapas akan mengalami
penderitaan.
Apalagi, secara subjektif yang
bersangkutan selama dalam proses peradilan merasa diperlakukan tidak adil,
ditambah setelah masuk lapas mereka diperlakukan dengan pendekatan keamanan
yang sangat ketat. Kedua, ada ketegangan struktural (structural strain), semakin besar ketegangan struktural semakin
besar peluang terjadi perilaku kolektif.
Dengan penjelasan Merton di atas,
bisa disimpulkan bahwa sejak awal seseorang yang masuk ke dalam masyarakat
penjara sudah hidup dengan situasi tegang. Di dalam masyarakat penjara,
ketegangan bisa bertambah karena ada arogansi petugas serta ada ketidakadilan
yang dirasakan sangat kental oleh para penghuni penjara.
Kondisi lapas yang ”overcrowded”
ikut menambah ketegangan, dapat dibayangkan sebuah kamar hunian yang
seharusnya diisi lima orang, saat ini di beberapa lapas tertentu harus diisi
oleh dua puluh orang narapidana. Ketiga, berkembang dan menyebarnya suatu
kepercayaan umum (growth and spread of
generalized belief) merupakan prasyarat berikutnya bagi terjadi perilaku
kolektif.
Dalam masyarakat sering terjadi
desas-desus yang dipercaya kebenarannya dan kemudian disebarluaskan sehingga
dalam situasi rancu suatu desas-desus berkembang menjadi pengetahuan yang
dipercaya dan diyakini kebenarannya. Misalnya keberadaan PP 99/2012 yang
dianggap sebagai peraturan yang diskriminatif oleh narapidana terdampak
(narapidana narkoba, teroris, koruptor, illegal
logger), dan dipercaya sebagai sebuah ketidakadilan yang dilakukan oleh
negara.
Atau, ada desas-desus akan
dipindahkannya pentolan narapidana ke lapas lain dapat berkembang menjadi
faktor pencetus dari perilaku kolektif dan lain-lain. Keempat, terdiri atas
faktor yang mendahului (precipitating
factors). Faktor ini merupakan faktor penunjang kecurigaan dan kecemasan
yang dirasakan masyarakat.
Desas-desus dan isu yang
berkembang dan dipercaya khalayak memperoleh dukungan dan penegasan. Seperti
di Lapas Tanjung Gusta huru-hara diakibatkan oleh matinya listrik dan tidak
tersedianya air mandi. Di Lapas Banceuy diakibatkan oleh ada desas-desus yang
berkembang tentang kematian narapidana karena penganiayaan yang dilakukan
oknum petugas.
Di Lapas Pontianak kerusuhan
diakibatkan oleh kedatangan menkumham bersama satuan polisi, yang dianggap
sebagai musuh ”bebuyutan”, dan sebagainya. Kelima, mobilisasi para peserta
untuk melakukan tindakan kerusuhan. Perilaku kolektif terwujud manakala
khalayak dimobilisasi oleh pimpinannya untuk bertindak (provokator).
Sebab itu, terhadap narapidana
yang dianggap sebagai pemimpin yang kharismatik (the real man) misalnya teroris, koruptor, dan bandar narkoba
harus dilakukan pendekatan- pendekatan tertentu sehingga potensi
perlawanannya dapat ditundukkan oleh cara-cara yang halus.
Hal ini bukan perlakuan
diskriminatif, tapi strategi untuk meredakan ”ketegangan”. Namun, dalam
praktik hal ini kadangkala menjadi rancu ketika terjadi perlakuan ”khusus”
yang justru menambahkan ketegangan akibat perlakuan tersebut dianggap telah
memicu terjadi ”kecemburuan sosial”. Keenam, berlangsungnya pengendalian
sosial (the operation of social control).
Faktor ini kekuatan yang justru
dapat mencegah, mengganggu, ataupun menghambat akumulasi dari lima faktor
penentu sebelumnya. Namun, dalam situasi masyarakat penjara yang sedang
mengalami kondisi tahap ad c) (growth
and spread of generalized belief) tindakan kontrol sosial yang berlebihan
(penggeledahan dengan cara yang arogan) justru akan menjadi pemicu terjadi
kerusuhan seperti yang terjadi akhir-akhir ini.
Dengan demikian, hal yang harus
diperhatikan adalah ada sistem intelijen dan sistem informasi yang cepat dan
akurat yang diterima oleh pimpinan sehingga pimpinan dapat mengambil
langkah-langkah yang diperlukan guna pencegahannya, terutama saat situasi dan
kondisi dalam tahapan ad a). dan tahapan ad b).
Perhatikan
Faktor
Dari uraian di atas, dapat ditarik
kesimpulan bahwa perilaku kerusuhan di lapas diakibatkan oleh multifaktor,
bukan faktor tunggal, dan terjadi eskalasi kekecewaan secara bertahap, tahap
satu menguatkan tahap lain yang pada gilirannya berujung pada kerusuhan.
Kerusuhan hanya dapat dicegah,
terutama apabila para petugas dapat menciptakan struktur yang adil dan tidak
zalim. Ketidakadilan di dalam lapas terjadi apabila ada sesuatu yang
dirasakan dapat menambah penderitaan mereka misalnya: ada perilaku petugas yang
arogan, kebijakan kalapas yang diskriminatif, dan peraturan yang tidak
konsisten dengan sistem pemasyarakatan.
Regulasi yang konsisten atas
pelaksanaan sistem pemasyarakatan dianggap secara subjektif oleh narapidana
sebagai sesuatu yang dapat meringankan penderitaannya. Apalagi, dalam Pasal
14 UU Nomor 12/ 1995 diberikan peluang untuk mendapat hak-haknya misalnya
remisi, pembebasan bersyarat, dan sebagainya.
Hal itu menjadi faktor yang dapat
memberi harapan kepada mereka untuk bisa bertahan dan bersabar untuk dapat
menyelesaikan tanggung jawabnya sehingga ia bebas dan kembali ke masyarakat.
Sebaliknya, eksistensi PP 99/2012, bagi narapidana terdampak sama sekali
menutup peluang atau mempersulit diraihnya berbagai hak tersebut sehingga
mereka merasa tidak memiliki harapan (hopeless).
Mereka beranggapan berbuat baik
atau tidak sama saja, tidak ada pengaruhnya. Kondisi yang demikian
mengakibatkan proses pembinaan narapidana akan kehilangan efektivitasnya.
Perlu digaris bawahi bahwa perubahan perilaku (modifikasi perilaku) antara
lain ditentukan oleh sejauh mana proses reward and punishment dilaksanakan
secara adil.
Karena itu, penulis
menganggapbahwaeksistensiPP99/ 2012 (seperti dikeluhkan oleh wakil narapidana
kepada menkumham) plus ”overcrowded” adalah faktor pemicu yang dominan
terhadap terjadi kerusuhan di lapas. Sebab itu, PP tersebut harus segera
dicabut. Terlebih, saat ini sudah didengung-dengungkan bahwa Wakil Presiden,
Komisi III DPR, dan menkumham telah menyatakan setuju akan mencabut PP tersebut.
Tapi, jangan salah perkiraan,
apabila harapan-harapan tersebut dijadikan sekadar ”angin surga”, atas
konstruksi berpikir di atas, penulis memprediksi bahwa akan terjadi kerusuhan-kerusuhan
lain di waktu dan lapas yang berbeda. Wallahualam.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar