Desa: Mata Air vs Air Mata
Khudori ; Anggota
Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat;
Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik
Indonesia (AEPI)
|
KORAN SINDO, 29 April
2016
Ada dua julukan kontras yang lekat
pada desa: sumber mata air dan lokasi air mata. Sebutan desa sebagai sumber
mata air merujuk pada aneka kekayaan yang dimiliki desa.
Mulai kekayaan alam yang melimpah,
lingkungan yang asri, hingga modal sosial yang tercermin dalam sikap guyub
dan gotong-royong. Tetapi, eksploitasi berlebihan atas sumber kekayaan alam
hingga sikap mendewakan material membuat desa hanya menjadi penonton. Secara
ekonomi, desa dikepung sikap komersialisasi yang melumpuhkan kegiatan ekonomi
di perdesaan.
Secara sosial, jaringan
kekerabatan dan kultur saling menolong, dikikis sistem ekonomi pasar yang
mendewakan relasi antarindividu dengan basis kalkulasi material. Secara
politik, desa hanya sebagai objek. Relasi politik, ekonomi, dan sosial yang
tidak menguntungkan itulah yang membuat individuindividu di perdesaan
tunadaya (powerless) dan berkubang kemiskinan.
Akhirnya desa tidak lagi ramah dan
justru jadi tempat ”air mata”. Deretan fakta-fakta ini menunjuk desa sebagai
lokasi ”air mata”. Pertama, kemiskinan menumpuk di desa. Per September 2015
jumlah penduduk miskin 11,13% (28,51 juta), lebih tinggi dari target 10,3%.
Jumlah penduduk miskin di perdesaan mencapai 17,89 juta orang atau 62,74%
dari total penduduk miskin.
Kemiskinan sejak dulu
terkonsentrasi di perdesaan. Pada 1976 jumlah penduduk miskin perdesaan
mencapai 44,2 juta orang atau 81,5% dari total penduduk miskin. Jadi, hampir
empat dekade kemiskinan tetap menumpuk di perdesaan. Kedua, kapasitas sumber
daya manusia (SDM) yang rendah. Menurut sensus pertanian 2013, jumlah rumah
tangga petani mencapai 26,14 juta rumah tangga, menurun 5,04 juta rumah
tangga dari 2003.
Sekitar 72% dari mereka yang
bekerja di sektor pertanian hanya berpendidikan sekolah dasar (SD) ke bawah.
Di luar itu, sepertiga (32,76%) petani berumur di atas 54 tahun. Akibat itu,
respons mereka terhadap perubahan relatif lamban. Ketiga, penguasaan modal
(lahan dan pendanaan) terbatas.
Sebanyak 14,25 juta rumah tangga
petani (55,33%) gurem atau menguasai lahan di bawah 0,5 hektare. Keterbatasan
modal membuat pertanian tidak lagi jadi gantungan hidup. Kapasitas desa yang
lemah semakin tunadaya akibat kebijakan politik-ekonomi nasional yang
menempatkan desa/perdesaan hanya sebagai pemasok tenaga kerja murah, penyedia
bahan mentah, dan pasar bagi komoditas olahan (yang dikerjakan di wilayah
lain atau di kota).
Pengalaman puluhan tahun
pembangunan model semacam ini membuat desa selalu dalam kubang
keterbelakangan. Surplus modal dan SDM tidak kembali ke desa untuk memperbaiki
kapasitas desa. Sebaliknya, surplus lari keluar desa dinikmati orang kota.
Residu pembangunan model semacam ini adalah ketimpangan yang tercermin pada
kesenjangan pendapatan antarpenduduk.
Distribusi pendapatan menunjukkan
porsi pendapatan 40% masyarakat dengan pendapatan terendah menurun: dari
20,22% (2005) jadi 16,86% (2011). Sedangkan pendapatan 20% masyarakat
berpendapatan tertinggi naik, dari 42,09% jadi 48,41%. Rasio gini
kecenderungannya sama: meningkat dari 0,32 (2004) menjadi 0,413 (2014). Yang
menarik, dari September 2014 ke September 2015, indeks gini di perkotaan naik
dari 0,43 jadi 0,47. Sementara di perdesaan indeks gini menurun: dari 0,34
menjadi 0,27.
Data-data di atas kian menambah
terang fakta desa (masih) jadi tempat ”air mata”. Penurunan jumlah rumah
tangga petani selaras dengan laju urbanisasi masif dari desa. Mereka mencari
peruntungan ke kota bukan karena dorongan keterampilan, melainkan lantaran
tidak ada peluang ekonomi di perdesaan.
Karena tidak memiliki kemampuan,
para pelancong dari desa ini terlempar di sektor informal yang rentan dan
tidak terlindungi. Masifnya kaum urban miskin dari desa ini membuat jurang
yang kaya dengan yang miskin di perkotaan semakin melebar. Duet Jokowi-JK memantapkan
model pembangunan ekonomi yang dilakoni.
Dalam Nawacita, hal itu tercantum
dalam ide ”membangun dari pinggiran dan perdesaan”. Alas pokok penting untuk
menjalankan model itu adalah Undang-Undang (UU) Desa Nomor 6/2014. Atensi
semakin besar setelah pemerintah membentuk kementerian yang mengurus desa:
Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi.
Lewat pilihan ini, pemerintah
hendak mengubah desa: dari lokasi ”air mata” menjadi sumber mata air. Desa
akan menjadi sumber mata air apabila roh UU Desa diimplementasikan dengan
baik. Semangat utama UU Desa adalah menyejahterakan masyarakat desa, bukan
lagi pem-bangunan di desa yang dikendalikan ketat secara administratif dari
atas (rezim kontrol).
Terkait ini, ada dua hal strategis
yang harus menjadi fokus kerjakerja teknokratis ke depan. Pertama,
redistribusi aset/modal. Pada 2016 jumlah dana desa mencapai Rp46,8 triliun,
naik dua kali selama 2015 (Rp20,7 triliun). Aliran modal besar ke desa ini
akan menciptakan dampak berganda luar biasa apabila pada saat yang sama
diiringi dengan redistribusi aset berupa lahan.
Janji duet Jokowi-JK yang akan
membagikan 9 juta hektare lahan kepada petani dan meningkatkan penguasaan
lahan dari 0,2 hektare menjadi 2 hektare per keluarga perlu ditunaikan.
Penguasaan aset lahan (plus capital) akan memperbesar kapasitas petani.
Kedua, desa membangun harus diorientasikan dalam skala kawasan, bukan
bertumpu pada pendekatan administratif.
Desa harus didesain terintegrasi
dengan industri pengolahan. Sumber daya ekonomi sebisa
mungkinditahandesadanhanyakeluar setelah melalui proses penciptaan nilai
tambah. Suntikan inovasidanadopsiteknologi menjadi keniscayaan agar nilai
tambah dan dampak berganda sebesarbesarnya dinikmati masyarakat perdesaan.
Jika desain ini bisa dilakukan dengan baik, urbanisasi dapat ditekan dan
posisi desa tidak lagi inferior.
Desa menjanjikan nilai tambah dan
kehidupan lebih baik. Ini akan jadi daya tarik lulusan perguruan tinggi untuk
kembali ke desa. Perlahan, tapi pasti kemiskinan akan terkikis. Langkah ini
mesti dipayungi kebijakan makroekonomi, politik fiskal, moneter, keuangan,
perdagangan, investasi, dan hal lain yang memihak dan menjadikan desa sebagai
arus utama pembangunan.
Yang tak kalah penting adalah
membalik arah pembangunan: dari sektor nontradable (sektor keuangan, jasa,
real estat, transportasi dan komunikasi, serta perdagangan/ hotel/restoran)
yang bersifat padat modal, teknologi dan pengetahuan ke sektor tradable
(pertanian, pertambangan, dan manufaktur) yang padat tenaga kerja dan
berbasis lokal.
Pembangunan selama ini telah
menciptakan kesenjangan kota-desa, keterbelakangan desa, dan marginalisasi
ekonomi perdesaan. Orientasi ini harus dihentikan. UU Desa memberi amanat
suci itu. Jika ini bisa ditunaikan, desa akan benar-benar menjadi sumber mata
air. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar