Senin, 02 Mei 2016

Desa: Mata Air vs Air Mata

Desa: Mata Air vs Air Mata

Khudori  ;   Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat;
Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)
                                                   KORAN SINDO, 29 April 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Ada dua julukan kontras yang lekat pada desa: sumber mata air dan lokasi air mata. Sebutan desa sebagai sumber mata air merujuk pada aneka kekayaan yang dimiliki desa.

Mulai kekayaan alam yang melimpah, lingkungan yang asri, hingga modal sosial yang tercermin dalam sikap guyub dan gotong-royong. Tetapi, eksploitasi berlebihan atas sumber kekayaan alam hingga sikap mendewakan material membuat desa hanya menjadi penonton. Secara ekonomi, desa dikepung sikap komersialisasi yang melumpuhkan kegiatan ekonomi di perdesaan.

Secara sosial, jaringan kekerabatan dan kultur saling menolong, dikikis sistem ekonomi pasar yang mendewakan relasi antarindividu dengan basis kalkulasi material. Secara politik, desa hanya sebagai objek. Relasi politik, ekonomi, dan sosial yang tidak menguntungkan itulah yang membuat individuindividu di perdesaan tunadaya (powerless) dan berkubang kemiskinan.

Akhirnya desa tidak lagi ramah dan justru jadi tempat ”air mata”. Deretan fakta-fakta ini menunjuk desa sebagai lokasi ”air mata”. Pertama, kemiskinan menumpuk di desa. Per September 2015 jumlah penduduk miskin 11,13% (28,51 juta), lebih tinggi dari target 10,3%. Jumlah penduduk miskin di perdesaan mencapai 17,89 juta orang atau 62,74% dari total penduduk miskin.

Kemiskinan sejak dulu terkonsentrasi di perdesaan. Pada 1976 jumlah penduduk miskin perdesaan mencapai 44,2 juta orang atau 81,5% dari total penduduk miskin. Jadi, hampir empat dekade kemiskinan tetap menumpuk di perdesaan. Kedua, kapasitas sumber daya manusia (SDM) yang rendah. Menurut sensus pertanian 2013, jumlah rumah tangga petani mencapai 26,14 juta rumah tangga, menurun 5,04 juta rumah tangga dari 2003.

Sekitar 72% dari mereka yang bekerja di sektor pertanian hanya berpendidikan sekolah dasar (SD) ke bawah. Di luar itu, sepertiga (32,76%) petani berumur di atas 54 tahun. Akibat itu, respons mereka terhadap perubahan relatif lamban. Ketiga, penguasaan modal (lahan dan pendanaan) terbatas.

Sebanyak 14,25 juta rumah tangga petani (55,33%) gurem atau menguasai lahan di bawah 0,5 hektare. Keterbatasan modal membuat pertanian tidak lagi jadi gantungan hidup. Kapasitas desa yang lemah semakin tunadaya akibat kebijakan politik-ekonomi nasional yang menempatkan desa/perdesaan hanya sebagai pemasok tenaga kerja murah, penyedia bahan mentah, dan pasar bagi komoditas olahan (yang dikerjakan di wilayah lain atau di kota).

Pengalaman puluhan tahun pembangunan model semacam ini membuat desa selalu dalam kubang keterbelakangan. Surplus modal dan SDM tidak kembali ke desa untuk memperbaiki kapasitas desa. Sebaliknya, surplus lari keluar desa dinikmati orang kota. Residu pembangunan model semacam ini adalah ketimpangan yang tercermin pada kesenjangan pendapatan antarpenduduk.

Distribusi pendapatan menunjukkan porsi pendapatan 40% masyarakat dengan pendapatan terendah menurun: dari 20,22% (2005) jadi 16,86% (2011). Sedangkan pendapatan 20% masyarakat berpendapatan tertinggi naik, dari 42,09% jadi 48,41%. Rasio gini kecenderungannya sama: meningkat dari 0,32 (2004) menjadi 0,413 (2014). Yang menarik, dari September 2014 ke September 2015, indeks gini di perkotaan naik dari 0,43 jadi 0,47. Sementara di perdesaan indeks gini menurun: dari 0,34 menjadi 0,27.

Data-data di atas kian menambah terang fakta desa (masih) jadi tempat ”air mata”. Penurunan jumlah rumah tangga petani selaras dengan laju urbanisasi masif dari desa. Mereka mencari peruntungan ke kota bukan karena dorongan keterampilan, melainkan lantaran tidak ada peluang ekonomi di perdesaan.

Karena tidak memiliki kemampuan, para pelancong dari desa ini terlempar di sektor informal yang rentan dan tidak terlindungi. Masifnya kaum urban miskin dari desa ini membuat jurang yang kaya dengan yang miskin di perkotaan semakin melebar. Duet Jokowi-JK memantapkan model pembangunan ekonomi yang dilakoni.

Dalam Nawacita, hal itu tercantum dalam ide ”membangun dari pinggiran dan perdesaan”. Alas pokok penting untuk menjalankan model itu adalah Undang-Undang (UU) Desa Nomor 6/2014. Atensi semakin besar setelah pemerintah membentuk kementerian yang mengurus desa: Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi.

Lewat pilihan ini, pemerintah hendak mengubah desa: dari lokasi ”air mata” menjadi sumber mata air. Desa akan menjadi sumber mata air apabila roh UU Desa diimplementasikan dengan baik. Semangat utama UU Desa adalah menyejahterakan masyarakat desa, bukan lagi pem-bangunan di desa yang dikendalikan ketat secara administratif dari atas (rezim kontrol).

Terkait ini, ada dua hal strategis yang harus menjadi fokus kerjakerja teknokratis ke depan. Pertama, redistribusi aset/modal. Pada 2016 jumlah dana desa mencapai Rp46,8 triliun, naik dua kali selama 2015 (Rp20,7 triliun). Aliran modal besar ke desa ini akan menciptakan dampak berganda luar biasa apabila pada saat yang sama diiringi dengan redistribusi aset berupa lahan.

Janji duet Jokowi-JK yang akan membagikan 9 juta hektare lahan kepada petani dan meningkatkan penguasaan lahan dari 0,2 hektare menjadi 2 hektare per keluarga perlu ditunaikan. Penguasaan aset lahan (plus capital) akan memperbesar kapasitas petani. Kedua, desa membangun harus diorientasikan dalam skala kawasan, bukan bertumpu pada pendekatan administratif.

Desa harus didesain terintegrasi dengan industri pengolahan. Sumber daya ekonomi sebisa mungkinditahandesadanhanyakeluar setelah melalui proses penciptaan nilai tambah. Suntikan inovasidanadopsiteknologi menjadi keniscayaan agar nilai tambah dan dampak berganda sebesarbesarnya dinikmati masyarakat perdesaan. Jika desain ini bisa dilakukan dengan baik, urbanisasi dapat ditekan dan posisi desa tidak lagi inferior.

Desa menjanjikan nilai tambah dan kehidupan lebih baik. Ini akan jadi daya tarik lulusan perguruan tinggi untuk kembali ke desa. Perlahan, tapi pasti kemiskinan akan terkikis. Langkah ini mesti dipayungi kebijakan makroekonomi, politik fiskal, moneter, keuangan, perdagangan, investasi, dan hal lain yang memihak dan menjadikan desa sebagai arus utama pembangunan.

Yang tak kalah penting adalah membalik arah pembangunan: dari sektor nontradable (sektor keuangan, jasa, real estat, transportasi dan komunikasi, serta perdagangan/ hotel/restoran) yang bersifat padat modal, teknologi dan pengetahuan ke sektor tradable (pertanian, pertambangan, dan manufaktur) yang padat tenaga kerja dan berbasis lokal.

Pembangunan selama ini telah menciptakan kesenjangan kota-desa, keterbelakangan desa, dan marginalisasi ekonomi perdesaan. Orientasi ini harus dihentikan. UU Desa memberi amanat suci itu. Jika ini bisa ditunaikan, desa akan benar-benar menjadi sumber mata air.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar