Pesona Istanbul
Komaruddin Hidayat ; Guru
Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
|
KORAN SINDO, 29 April
2016
Maret 1985 saya pertama kali
menginjak Istanbul, Turki, dengan tujuan meneruskan studi pascasarjana di
Universitas Istanbul, sebagaimana dokumen yang saya terima dari kedutaan
Turki di Jakarta.
Saya ke Turki atas tawaran Menteri
Agama Munawir Sjadzali. Setiba di Istanbul, setelah istirahat sejenak di
hotel, saya langsung mendatangi pemimpin Universitas dengan menunjukkan surat
pengantar Kedutaan Turki di Jakarta. Sebuah kampus megah dan klasik. Namun,
yang membuat kaget dan kecewa, ternyata bahasa pengantarnya bahasa Turki.
Menurut penjelasan pimpinan
fakultas, dibutuhkan waktu dua tahun untuk mendalami bahasa Turki guna
membaca dan menulis karya ilmiah setingkat disertasi. Saya putuskan untuk
mencari kampus lain, tetapi mesti diproses dari awal lagi. Maka saya
menghadap duta besar RI di Ankara, Marsekal Abdulrachim Alamsyah.
Dengan gesit dia langsung mencari
informasi, bahkan langsung membuat janji dengan rektornya, yaitu kampus Middle East Technical University
(METU), Ankara. Keesokan harinya kami ke kampus. Hatiku langsung jatuh cinta.
Sebuah kampus besar, dikelilingi hutan, terdapat lapangan sepak bola, banyak
lapangan tenis, dan gedung-gedung fakultas serta asrama mahasiswa.
Saya mendaftar ke fakultas sosial,
jurusan filsafat, namun mesti menunggu karena pembukaan semester baru tiga
bulan lagi. Di negara orang, tiga bulan waktu berjalan terasa sangat lama.
Untuk pulang ke Jakarta biaya tidak ada. Membaca kegundahan saya, Pak Dubes
yang sangat baik hati ini menawari saya tinggal di rumah dinas.
Jadi, selama tiga bulan saya isi
dengan kursus bahasa Turki, bahasa Inggris, dan rajin olahraga badminton
serta tenis bersama teman-teman KBRI Ankara. Tiba harinya masuk kuliah dan
tinggal di asrama, layaknya tinggal di kota kecil, international small city. Semua kebutuhan akomodasi, konsumsi,
dan kesehatan gratis.
Belasan bus kampus antar-jemput
karyawan dan mahasiswa hilir-mudik setiap hari di METU-Ankara. Yang paling
berat adalah pisah dengan keluarga. Beasiswa setiap bulan hanya sekitar
USD100. Jika untuk ukuran gaya hidup sewaktu di pesantren, tentu ini sudah
mewah. Ini hanya standar untuk mahasiswa bujangan, mengingat semua fasilitas
belajar terpenuhi.
Tetapi sebagai mahasiswa yang
berkeluarga dengan dua anak, sungguh ini suatu tantangan baru, mengingatkan
saya waktu tahun 1974 mengadu nasib ke Jakarta dengan kondisi miskin.
Untunglah saya berdua dengan Amin Abdullah dari UIN Yogyakarta yang juga
pejuang kehidupan bermental tahan banting. Pernah juga terpikir pulang
melamar kuliah ke Kanada atau AS.
Tetapi, saya pikir temanteman akan
menilai kami lari dari gelanggang perang. Tidak konsisten dengan niat dan
tekad untuk studi ke Turki. Di lain sisi, membayangkan untuk menyelesaikan
program master dan doktor dengan beasiswa kecil dan pisah dari keluarga, hati
dan pikiran ini ngelangut. Ternyata kuliah di luar negeri dan pisah dari
keluarga itu sangat berat.
Yang membuat saya tetap optimistis
dan semangat adalah, pertama, melihat dari dekat Kota Istanbul yang begitu
indah dan menyimpan kekayaan sejarah luar biasa. Turki satu-satunya negara
muslim yang tidak pernah dijajah Barat, bahkan menaklukkan sebagian wilayah
Eropa. Kedua, sikap Pak Dubes yang selalu siap membantu mencari solusi setiap
ada problem, termasuk mencarikan tiket pulang ke Tanah Air setiap liburan
musim panas.
Ketiga, suasana dan fasilitas
kampus METU yang memungkinkan kami belajar serius. Kota Istanbul semula
bernama Konstantinopel, ibu kota Kekaisaran Bizantium atau Kerajaan Katolik
Romawi Timur, yang direbut oleh pasukan Sultan Muhammad Al-Fatih pada 1453.
Drama peperangan yang berlangsung 50 hari ini sangat heroik, masing-masing
mengerahkan pasukan dan strategi perang yang selalu menjadi kajian sejarah
sampai hari ini, bahkan di Istanbul terdapat museum panorama penaklukan
Konstantinopel itu dalam film tiga dimensi.
Pengunjung serasa berada di tengah
medan pertempuran. Kejatuhan Konstantinopel ke tangan kekuasaan Islam seakan
sebagai perimbangan dengan jatuhnya Granada pusat Islam di Spanyol yang jatuh
ke tangan penguasa Katolik. Meski saya tamat S-3 dari METU pada 1990, setiap
ada kesempatan saya dengan senang hati berkunjung ke Turki, khususnya
Istanbul yang penuh pesona.
Belum lama ini, April 2016, saya
ke Istanbul menemani Wapres Jusuf Kalla menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi OKI,
yang dihadiri sekitar 30 kepala negara anggotanya. Tiga buah Jembatan
Bosporus yang menghubungkan daratan Asia dan Eropa memperteguh posisi Kota
Istanbul sebagai penghubung budaya Barat dan Timur, menyimpan warisan sejarah
era Yunani, Katolik, Islam, dan peradaban kontemporer yang kesemuanya masih
bisa dilihat dan dirasakan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar