Nasib Laut Tiongkok di Bawah Trump
Jerry Indrawan ;
Dosen Hubungan Internasional
Universitas Paramadina
|
KOMPAS, 18 Mei
2016
Calon presiden Amerika
Serikat dari Partai Republik, Donald Trump, sudah memenangi 1.041 delegasi
dari 1.237 delegasi yang dibutuhkan untuk ditetapkan secara resmi menjadi
kandidat dari Partai Republik. Lawan-lawan Trump yang tersisa, John Kasich
dan Ted Cruz, pun akhirnya mundur sehingga hanya menyisakan sang taipan
realestat seorang.
Trump akan ditunggu
kandidat senior yang berasal dari trah "Clinton", yaitu Hillary
Clinton. Istri mantan Presiden AS Bill Clinton itu hampir pasti memenangi
primary Partai Demokrat. Pertarungan ini akan jadi seru karena siapa pun yang
menang akan membawa dampak signifikan bagi kelangsungan kontestasi regional
antara Tiongkok melawan lima negara "claimant" lainnya (Taiwan,
Filipina, Vietnam, Brunei, dan Malaysia) terkait masalah Laut Tiongkok
Selatan (LTS).
Sekiranya Hillary
memenangi kontestasi dengan Trump, kita akan mudah memprediksi bagaimana
nasib "perang dingin" di LTS. Hampir dipastikan, AS akan kembali
menegaskan pengaruhnya di LTS dan bersaing dengan Tiongkok untuk
memperebutkan hegemoni di Asia Pasifik. Bagaimana nasib LTS jika Trump yang
menang?
Sebagai mantan menteri
luar negeri di era pemerintahan pertama Presiden Barack Obama, Hillary sangat
paham masalah- masalah luar negeri. Keputusan AS mengurangi pasukan di Irak
dan Afganistan beberapa tahun lalu, untuk dipindahkan ke Asia Pasifik, diduga
sebagai salah satu hasil pemikiran Hillary. Increased military presence di
Asia Pasifik adalah bagian dari strategi pengepungan AS terhadap munculnya
rising power baru di Asia, yaitu Tiongkok. Langkah-langkah strategis pun
dilakukan AS saat ini, seperti dengan mengecam pembuatan pulau-pulau buatan
Tiongkok di LTS yang masih disengketakan, termasuk menggaungkan prinsip
kebebasan navigasi di LTS.
Selama ini Partai
Demokrat dianggap sebagai partai yang tidak terlalu mengedepankan hard power
dalam kebijakan luar negerinya. Ini terlihat ketika Pilpres AS 2008, yang
membawa Obama mengalahkan kandidat dari Partai Republik, John McCain. Saat
itu Obama mengedepankan pentingnya dialog dan penyelesaian sengketa secara
damai, tanpa langkah-langkah militer. Sebuah hal yang sangat berbeda dari yang
ditunjukkan McCain, yang seakan ingin melestarikan cara-cara militeristik
yang dilakukan pendahulunya, George W Bush.
Jika Hillary menang,
penulis rasa kemungkinan untuk digunakannya langkah-langkah militer cukup
besar di LTS. Saat ini kita bisa melihat prakondisinya. Jika Trump yang
menang, AS akan fokus ke masalah-masalah dalam negeri, di mana kemungkinan
penyelesaian masalah LTS hanya akan dilakukan melalui dialog di forum-forum
internasional, tidak melalui aksi militer. Langkah soft power Trump dalam
menanggapi sengketa di LTS ini adalah sebuah kondisi yang sangat ahistoris,
apalagi jika kita mengamati pertarungan Demokrat vs Republik selama ini.
Akan tetapi, Trump
memang bukan kader asli Partai Republik. Semua tahu Trump adalah pengusaha
besar yang memiliki reputasi mendunia, terutama di bisnis properti. Atas
dasar itulah, penulis merasa kebijakan luar negeri AS terhadap LTS akan
melunak jika Trump menjadi presiden. Dalam wawancara dengan Washington Post,
April lalu, Trump mengatakan ia mampu memperbaiki ekonomi AS dengan cepat.
Ide-ide Trump memang banyak menyasar pada persoalan-persoalan domestik
daripada luar negeri, di mana ekonomi tentunya adalah isu utama di dalam
negeri AS sendiri.
Fokus persoalan domestik
Dalam beberapa
kampanyenya, Trump menggelontorkan ide-ide yang fokus pada masalah domestik
AS. Salah satu yang kontroversial adalah reformasi imigrasi, yaitu dengan
membangun tembok di antara Meksiko dan AS, serta mendeportasi 11 juta imigran
ilegal. Ini langkah kontroversial, sekaligus mahal. Trump mengusulkan
anggaran 600 miliar dollar AS untuk kebijakan ini. Selain itu, kebijakan
imigrasi ala Trump ini akan mengurangi sekitar 11 juta tenaga kerja yang ada
di AS.
Ide kontroversial
Trump lain adalah ketaksetujuannya terhadap peran AS di Trans-Pasific
Partnership (TPP). Jika Trump berkuasa, kemungkinan TPP tidak akan menjadi
salah satu standing point AS di Asia Pasifik. Di era Obama, TPP digunakan
sebagai counter balance Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) yang sekarang
dikuasai Tiongkok. Persaingan di LTS juga terkait masalah ekonomi karena
langkah Tiongkok di LTS bisa diredam salah satunya melalui kontestasi ekonomi
antara TPP vs APEC.
Brunei, Vietnam, dan
Malaysia sudah bergabung secara resmi di TPP, sedangkan Filipina dan Taiwan
sudah menyatakan keinginannya bergabung, sekalipun belum secara resmi jadi
anggota. Lima negara claimant ini dipastikan akan menggunakan TPP untuk lebih
banyak "bermain" di kawasan, terutama dari sisi persaingan
perdagangan dengan APEC yang dikuasai Tiongkok. Peran AS di TPP sangat
dibutuhkan kelima negara tadi untuk mengimbangi Tiongkok di LTS.
Salah satu slogan
kampanye kebijakan luar negeri Trump adalah: "Put the interest of the
American people and American Security first." Dari slogan ini, penulis
melihat kebijakan luar negeri Trump jika menjadi presiden akan fokus pada
persoalan-persoalan domestik. Argumen ini diperkuat oleh ide reformasi
imigrasi dan pengurangan peran AS di TPP. Selain itu, dengan naluri seorang
pebisnis, penulis tidak yakin Trump akan mengutamakan cara-cara militeristik
dalam kebijakan luar negerinya. "Peperangan" hanya akan terjadi di
meja perundingan dagang.
Selain itu, slogan
utama kampanye Trump adalah, "make America great again"; Amerika
bisa menjadi besar lagi jika ekonominya kuat. Tidak ada negara yang bersikap
agresif di percaturan politik internasional tanpa didukung kekuatan ekonomi
yang kuat. Trump adalah orang yang memiliki pengalaman dan relasi bisnis jauh
lebih banyak dibandingkan semua kandidat presiden AS saat ini, bahkan mungkin
dari seluruh presiden AS yang pernah menjabat.
Kekuatan ekonomi Trump
inilah yang akan membuat "Amerika besar lagi". Konstelasi politik
di LTS sangat dipengaruhi oleh regenerasi kepemimpinan AS di tahun 2016 ini.
Jika Trump berhasil mencapai tampuk kekuasaan, lalu fokus pada penguatan
dalam negeri saja, Tiongkok mengintip peluang di LTS dengan senyum lebar. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar