Waspada Pangan 2016
Dwi Andreas Santosa ; Guru
Besar Fakultas Pertanian IPB;
Ketua Umum AB2TI; Penasihat
Persaudaraan Mitra Tani Nelayan Indonesia
|
KOMPAS, 03 Mei
2016
Tahun 2016 untuk Indonesia
merupakan tahun penuh tantangan di sektor pertanian dan menjadi tenggat waktu
(deadline) untuk seluruh upaya
mencapai swasembada pangan. Pemerintah melalui Kementerian Pertanian
mencanangkan tahun 2017 Indonesia mencapai swasembada beras, jagung, dan
kedelai. Bahkan, di berbagai kesempatan lain dinyatakan Indonesia (akan)
swasembada beras di tahun 2015, jagung 2016, dan kedelai 2017, dan setelah
itu pangan lainnya (daging sapi, gula, dan lain-lain). Berbagai upaya telah
dan sedang dilakukan, antara lain peningkatan anggaran Kementerian Pertanian yang
drastis (112 persen) serta berbagai program khusus seperti Upaya Khusus
Peningkatan Produksi Padi, Jagung, dan Kedelai (Upsus Pajale), peningkatan
tajam subsidi pupuk (87,5 persen), pelibatan TNI AD, serta pembagian masif
benih, alat, dan mesin pertanian.
Tampaknya upaya-upaya itu belum
menelurkan hasil yang menggembirakan. Tahun 2015 dan awal tahun 2016 justru
menjadi saksi terjadinya gejolak harga di hampir seluruh pangan pokok. Harga
beras sempat tertekan sedikit pada April 2015, tetapi mulai Mei 2015 harga
beras terus melambung dan pada Oktober melewati rekor tertingginya selama 20
tahun terakhir dan terus meningkat hingga Maret 2016. Situasi ini sangat
memberatkan masyarakat kecil termasuk petani yang setelah panen menjadi
net-consumer pangan.
Gejolak harga yang sama terjadi di
jagung, daging sapi, ayam, telur ayam, bawang merah, cabai, kacang hijau, dan
kacang tanah (Kementerian Perdagangan, 2014-2016). Sementara harga kedelai,
gula pasir, dan minyak goreng relatif stabil karena sangat terkait dengan
harga di pasar internasional.
Gejolak harga yang sangat tinggi
merupakan "buah" dari permasalahan di produksi dan stok. Alih-alih
menyadari kesalahan terkait data produksi, BPS mengeluarkan angka sementara
peningkatan produksi pangan di tengah El Nino yang melanda Indonesia tahun
2015. Produksi padi pada 2015 meningkat 6,37 persen, jagung 3,17 persen, dan
kedelai 0,85 persen (BPS, 2016). Angka-angka itu tergolong spektakuler
mengingat tidak pernah ketiga komoditas yang menggunakan lahan yang sama tersebut
naik bersama-sama selama belasan tahun terakhir ini.
Data lain yang menggagalkan
seluruh klaim kenaikan produksi adalah impor. Impor beras meningkat dari
0,844 juta ton menjadi 0,862 juta ton atau peningkatan sebesar 2,0 persen,
jagung meningkat 3,7 persen menjadi 3,5 juta ton, sedangkan kedelai meningkat
9,8 persen menjadi 6,417 juta ton. Peningkatan impor komoditas lain yang
volumenya di atas 0,25 juta ton tahun 2015 adalah impor gula 3,472 juta ton
(14,2 persen) dan ubi kayu sebesar 0,6 juta ton (64,4 persen) (Kementerian
Pertanian, 2014-2016). Total impor pangan 2015 menguras devisa 8,846 miliar
dollar AS atau Rp 116,5 triliun.
Situasi tersebut anekdotal karena
peningkatan produksi seharusnya diikuti dengan penurunan harga dan penurunan
impor, tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Karena itu, di kalangan
akademisi saat ini hanya dua data yang relatif bisa dipercayai, yaitu data
harga pangan dan data impor pangan.
Situasi
pangan 2016
Situasi pangan di tahun ini belum
memperlihatkan hal yang menggembirakan. Dari hasil kajian Asosiasi Bank Benih
dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) di 61 kabupaten, petani yang sudah
menanam pada Oktober 2015 hanya 3,6 persen, November 39,3 persen, dan
Desember-Februari 57,1 persen atau mundur sekitar 1,5 hingga dua bulan.
Situasi ini cukup kritis, kecuali
La Nina berbaik hati memberikan berkah hujan pada musim kemarau. Pengisian
waduk akibat El Nino 2015 juga tidak maksimal sehingga sawah beririgasi
teknis juga akan mengalami kendala kecukupan air. Jika musim kemarau benar
dimulai Mei, produksi pangan di Indonesia akan benar-benar terancam. Produksi
padi tahun 2016 diperkirakan sama atau sedikit lebih rendah dibandingkan
2015.
Situasi perberasan internasional
juga mirip dengan situasi di Indonesia. Produksi beras global diproyeksikan
sedikit menurun dari 478,76 juta ton tahun 2014/2015 menjadi 469,50 juta ton
tahun 2015/2016 (WASDE-USDA, Maret 2016) atau sebesar 1,9 persen. Sementara
total yang diperdagangkan sebesar 41,62 juta ton menurun sebesar 4,5 persen.
Seluruh eksportir beras utama, yaitu India, Pakistan, Thailand dan Vietnam,
menurun produksinya berturut-turut sebesar 2,4; 1,6; 20,0; dan 0,1 persen.
Dengan demikian, pasar beras
internasional tahun 2016 akan ketat yang memungkinkan harga beras
internasional meningkat. Harga beras yang cenderung meningkat sering kali
menimbulkan fenomena countercyclical,
yakni negara-negara eksportir justru menahan stok mereka untuk stabilisasi
harga di dalam negeri. Produksi jagung dunia diperkirakan juga menurun dari
1.009,68 juta ton (2014/2015) menjadi 969,64 juta ton (2015/2016). Penurunan
produksi jagung juga menurunkan jagung yang diperdagangkan di pasar internasional,
yaitu dari 141,21 juta ton menjadi 119,73 juta ton atau sebesar 15,2 persen.
Hal ini akan meningkatkan harga jagung dunia yang berimbas ke harga jagung di
Indonesia dan semua produk turunannya. Sebaliknya, produksi gandum dan
kedelai diperkirakan meningkat yang meningkatkan impor kedua komoditas ini
oleh Indonesia.
Konsentrasi pemerintah yang
terlalu berlebihan ke Pajale terutama padi, mengaburkan pandangan terhadap
nasib jutaan petani yang bergerak di sektor perkebunan rakyat. Tahun
2015-2016 merupakan tahun bencana yang diawali dengan penurunan harga
komoditas perkebunan terutama sawit dan berlanjut dengan El Nino tahun 2015.
Di tengah tahun 2015, harga sawit sempat menyentuh Rp 500 per kilogram di
tingkat petani, dan pemerintah tidak bertindak apa pun untuk mengatasinya.
Secara nasional, hal tersebut tecermin dari nilai tukar petani (NTP) yang
merupakan salah satu indikator kesejahteraan petani. NTP perkebunan rakyat
terjun bebas dari rata-rata 101,32 pada 2014 menjadi hanya 97,20 pada 2015
(BPS, 2014-2016).
Pada awal 2016 ketika harga sawit
perlahan-lahan meningkat, tiba-tiba produksi jatuh sebagai dampak El Nino
tahun sebelumnya. Berdasarkan laporan jaringan AB2TI di Sumatera, produksi
perkebunan sawit rakyat turun tajam sebesar 45 persen hingga 75 persen.
Kondisi tersebut semakin memperburuk situasi dan penderitaan mereka.
Langkah
perlu
Langkah cerdas diperlukan untuk
mengurai persoalan yang melilit sektor pangan dan petani kecil. Data produksi
merupakan sasaran pertama yang perlu diperbaiki. Data yang tidak akurat akan
melahirkan kebijakan yang salah arah. Kebijakan yang salah akan merugikan
semua pihak baik konsumen, petani, maupun pelaku usaha. Upaya mendapatkan
data produksi pertanian yang saat ini porsinya 75 persen Kementerian
Pertanian dan jajarannya dan 25 persen BPS sebaiknya ke depan diserahkan
sepenuhnya ke BPS yang relatif tak sarat kepentingan. Jika hal itu belum bisa
dilakukan, Presiden perlu membentuk unit khusus intelijen data yang bisa
memberikan masukan sebagai bahan pertimbangan memutuskan kebijakan pangan.
Berkaitan dengan upaya swasembada
pangan, perlu dibedakan antara mimpi dan target. Target perlu dikemas lebih
realistis sehingga upaya swasembada tersebut tidak menimbulkan gejolak lain
yang justru mementahkan cita-cita besar kedaulatan pangan.
Berkaitan dengan situasi tahun
2016, diperlukan upaya cerdas dengan tidak memaksakan diri menanam padi di
musim kemarau yang mulai mendekat. Pola padi-padi-palawija bisa diubah
menjadi padi-palawija-palawija, yang diharapkan mampu meningkatkan produksi
jagung dan kedelai pada tahun ini meskipun harus mengorbankan produksi padi.
Terakhir, upaya keras perlu
dilakukan untuk melindungi petani yang semakin lama semakin terpuruk.
Perlindungan harga di tingkat usaha tani merupakan kunci penting peningkatan
kesejahteraan petani. Program bantuan khusus untuk pekebun rakyat harus
segera dilakukan. Peningkatan produksi dan swasembada berkelanjutan adalah
reward dari upaya keras untuk meningkatkan kesejahteraan petani dan bukan
sebaliknya. Semoga kita semua tersadarkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar