Marhaban ya Sweeping Buku
Muhidin M Dahlan ;
Pendiri @warungarsip Jogjakarta
|
JAWA POS, 12 Mei
2016
DAMPAK dari Pengadilan
Rakyat Internasional atau International People's Tribunal untuk korban
pembantaian masal 1965 di Den Haag, Belanda, pada 10-13 November 2015
melahirkan sebuah simposium terpenting sejak Orde Harto tumbang. Simposium
tragedi 1965 di Jakarta pada 18-19 April lalu itu tak hanya menunjukkan
respons positif pemerintahan Jokowi atas pelanggaran berat HAM masa lalu,
tapi juga menjadi panggung untuk melihat bagaimana elite politik dan para
jenderal berpikir dan berkata-kata.
Salah satu kutipan paling
penting dalam 18 tahun reformasi berjalan saya kira yang diucapkan jenderal
berdarah panas yang juga menjabat menteri pertahanan, Ryamizard Ryacudu:
"Pancasila adalah ciptaan Tuhan". Konteks ucapan itu adalah semua
takfiri Pancasila mesti menyingkir sejauh-jauhnya jika ingin berhadapan
dengan laskar dan jenderal-jenderal titisan Tuhan. Setelah itu, meledaklah di
media sosial agitasi gerakan sapu bersih. Salah satunya isu sweeping buku.
Saat diskusi buku Ideologi Saya Adalah Pramis di
pergelaran Jogja Itoe Boekoe pada
pekan pertama Mei di UIN Sunan Kalijaga, Cak Udin (santri lapak buku murah)
menceritakan pengalamannya yang tak tersebar luas ke media massa. Saat
membuka lapak bertajuk "Buku Murah" di Gresik dan Pare, Kediri,
Jawa Timur, semua buku kiri yang dijualnya dengan modal pas-pasan disikat dan
diambil begitu saja oleh aparat yang katanya sudah mendapat mandat dari "atasan".
Cak Udin yang notabene
santri itu hanya bisa masygul. "Mending mbayar. Ngambil gitu saja. Itu
pakai modal (maaf, Red), cuk!" katanya. Dia seakan tak percaya, sweeping
buku secara semena-mena tetap dilakukan bahkan ketika Mahkamah Konstitusi
(MK) sudah mencabut Undang-Undang (UU) Pelarangan Buku pada 13 Oktober 2010.
Pencabutan UU itu menandaskan bahwa perkara pelarangan buku diselesaikan
lewat pengadilan dan bukan kesewenang-wenangan di lapangan.
Namun, ini soal penyakit
yang kambuh. Semulia-mulianya UU tak bisa mematahkan penyakit kambuhan
bernama paranoia terhadap bacaan. Mei ini pekerja buku di Jogja sedang
dilanda waswas munculnya seruan teror sweeping buku kiri yang bahkan menunjuk
langsung nama-nama penerbit yang bakal disikat.
Masih terlalu segar
diingat bagaimana nyaris sepanjang bulan Mei, 15 tahun yang lalu, Jakarta dan
Jogjakarta dikagetkan dengan praktik perampasan buku yang masif. Diawali
dengan patroli Aliansi Anti Komunis (AAK) yang mengumpulkan dan membakar
buku-buku kiri, antara lain Pikiran Karl Marx karya Franz Magnis-Suseno,
tetralogi Pulau Buru dan Sang Pemula karya Pramoedya Ananta Toer, Hubungan
Soeharto dan Kup Untung karya Wertheim, Bayang-Bayang PKI (Stanley, ed),
Lenin: Pikiran, Tindakan, dan Ucapan karya Edy Haryadi cs, dan Dari Penjara
ke Penjara karya Tan Malaka. Buku-buku Mao, Lenin, dan Che Guevara juga turut
disapu.
Lantaran terlalu
bersemangatnya, di Jogjakarta, misalnya, buku yang menampilkan tokoh
berjanggut lebat juga diembat. "Karya Yusuf Qardhawi saja dirampas
laskar-laskar itu hanya karena janggutnya dan tak mengetahui isinya sama
sekali," kata penulis Eko Prasetyo suatu ketika.
Mereka tidak hanya
berbaris di antara rak-rak di toko buku, tapi juga menyerbu kos dan kontrakan
mahasiswa di kawasan Universitas Pancasila, Lenteng Agung, Jakarta Selatan.
Buku kiri tersebut dikumpulkan dan langsung dibakar di depan mahasiswa.
Aliansi yang terdiri atas
33 organisasi massa tersebut bisa seberani itu karena ada lampu hijau dari
serdadu loreng dan cokelat. Bahkan, mereka ingin pula membongkar Tugu Tani di
Jakarta Pusat karena itulah simbol komunis yang tersisa di jantung ibu kota
dengan sebutan angkatan ke-5.
Orang-orang buku repot
betul dengan peristiwa 15 tahun silam di bulan Mei itu. Tokoh-tokoh cendekia
berhimpun dan menyatakan pendapat. Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) yang
membawahkan 325 penerbit buku se-Indonesia bersama asosiasi perbukuan bahkan
mendatangi Kapolri, Kejaksaan Agung, dan DPR. Organ Gabungan Toko Buku
Indonesia juga angkat suara.
Segala kerepotan 15 tahun silam itu tampaknya
diulangi dengan setepat-tepatnya, sepandir-pandirnya. Internet yang
menawarkan keterbukaan informasi dan keluasan bacaan tanpa batas sepertinya
sama sekali tak punya bekas apa-apa untuk mempertahankan akal sehat dan
menahan diri melakukan perbuatan banal.
Jenderal-jenderal kita saat ini di kepolisian dan
ketentaraan melakukan reaksi balik atas tuntutan pengungkapan HAM berat masa
silam dengan cara-cara purba. Tindakan yang kita saksikan
akhir-akhir ini dengan memakai kerumunan tangan sipil jauh dari impi-impi
ketika Susilo Bambang Yudhoyono dan Agus Wirahadikusumah berjibaku melakukan
reformasi di tubuh TNI pasca '98.
Antara peristiwa 1965 yang
"dijual" kelewat bersemangat oleh pemerintah Indonesia di Frankfurt
Book Fair setahun silam rupanya tak menyentuh sama sekali pada nalar
jenderal-jenderal berdarah panas dalam negeri. Pada akhirnya, mari ucapkan
(lagi): marhaban ya sweeping buku! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar