Rabu, 18 Mei 2016

Lebih Serius Melindungi Anak

Lebih Serius Melindungi Anak

Reza Indragiri Amriel ;   Alumnus Psikologi Forensik The University of Melbourne; Berkhidmat di Komnas Perlindungan Anak
                                                        JAWA POS, 13 Mei 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

PALU hakim pada persidangan atas tujuh terdakwa berusia kanak-kanak dalam kasus Yuyun telah diketuk. Mereka divonis bersalah serta dihukum 10 tahun penjara subsider 6 bulan pembinaan.

Berikutnya adalah giliran para terdakwa dewasa yang akan diadili. Semua pihak berharap para terdakwa dewasa tersebut akan diganjar hukuman seberat-beratnya. Bahkan, tidak sedikit pihak yang ingin terdakwa dihukum mati. Namun, bagi jaksa dan polisi, mengonstruksi dakwaan agar selaras dengan ekspektasi publik tampaknya bukan pekerjaan enteng.

Kesulitan utama adalah para terdakwa - sebagaimana pemberitaan media- disebut dalam keadaan mabuk saat melancarkan aksi biadab mereka. Mabuk adalah persoalan pidana sebagaimana tercantum dalam KUHP.
Tapi, kondisi mabuk itu pula yang berpotensi menurunkan kualitas isi berkas acara pemeriksaan (BAP). Apabila benar seluruh terdakwa menganiaya Yuyun dalam kondisi mabuk, pada saat itu kesadaran mereka menurun. Fungsi berpikir juga terganggu. Begitu pula fungsi memori mereka.

Anjloknya kondisi psikis sedemikian rupa berlangsung manakala mereka melakukan kejahatan berikutnya (setelah mengonsumsi miras), yakni menganiaya korban secara seksual. Akibatnya, isi BAP yang disusun berdasar pengakuan dan ingatan para terdakwa mabuk tersebut dikhawatirkan jauh dari valid.

Masalah yang bisa ditimbulkan kondisi mabuk tersebut juga tidak terlepas dari momen munculnya niat jahat terdakwa atas diri korban. Apabila niat sudah terbentuk sebelum terdakwa masuk dalam kondisi mabuk, serta-merta terbangun gambaran kronologi yang utuh antara niat dan perilaku jahat terdakwa. Sedangkan jika niat baru terbit setelah terdakwa kehilangan kesadaran akibat pengaruh minuman keras, pelik untuk diasumsikan terdakwa mempunyai pemahaman yang memadai. Yaitu terhadap perilaku yang sedang ditampilkan terhadap korban pada saat itu.

Agar celah-celah hukum di atas dapat disumbat, penting bagi polisi memastikan bahwa para terdakwa sudah bersepakat melancarkan aksi jahat seksual sebelum mengalami penurunan -apalagi hilangnya- kesadaran lantaran menenggak minuman keras. Selain itu, dengan melalui pemeriksaan toksikologi, polisi perlu menakar durasi mabuk yang dialami terdakwa. Durasi tersebut lantas dibandingkan dengan estimasi waktu yang dihabiskan para terdakwa sejak mereka memulai hingga menuntaskan tindak kejahatan terhadap korban.

Sebagai misal: apabila minuman yang dikonsumsi terdakwa memunculkan efek mabuk selama setengah jam, sedangkan tindak kejahatan sejak penganiayaan hingga membuang tubuh korban berlangsung 45 menit, ada waktu selama 15 menit. Periode itu adalah waktu saat terdakwa memiliki kondisi kesadaran yang memadai untuk memahami apa yang baru saja mereka lakukan.

Ihwal kejahatan yang dilakukan dalam keadaan mabuk bukan persoalan besar ketika yang duduk di bangku terdakwa adalah orang-orang yang masih berumur kanak-kanak. Karena belum memiliki age of consent, mereka terposisikan sebagai individu yang belum berkehendak bebas sekaligus bertanggung jawab atas perbuatan mereka.

Kedudukan sebagai individu tanpa age of consent sesungguhnya membuat status terdakwa (pelaku) bagi anak-anak tersebut menjadi tidak tepat. Alih-alih mereka adalah korban. Atau korban sekaligus pelaku. Apalagi jika anak-anak terse¬but kemudian mabuk sehingga kehilangan kesadaran atas perbuatan mereka terhadap korban. Maka, sekeji apa pun perilaku mereka, pengenaan status terdakwa (pelaku) terhadap mereka kian problematis.

Berangkat dari gambaran situasi di atas, korban dalam tragedi di Rejang Lebong ternyata bukan hanya satu orang, yaitu Yuyun. Para terdakwa dewasa senyatanya juga telah memviktimisasi anak-anak yang kadung ditetapkan sebagai terdakwa dan kemarin divonis bersalah.

Keadilan bagi Korban

Yang ironis adalah proses penegakan hukum disibukkan dengan urusan menjatuhkan hukuman kepada pelaku kejahatan, sedangkan nasib korban terkesampingkan. Tingginya tuntutan masyarakat agar predator seksual dihukum seberat-beratnya terlihat bersimbiosis dengan berseraknya pasal-pasal tentang hukuman bagi pelaku.

Pada kenyataannya, seperti digarisbawahi sekian banyak ilmuwan, betapapun berbagai sanksi hukum yang keras terhadap pelaku kejahatan seksual sudah diundang-undangkan dan pendidikan untuk menangkal kejahatan semacam itu juga telah gencar diadakan, tetap saja di masyarakat tidak terjadi perubahan perilaku dan budaya. Yaitu berupa penolakan serta perlawanan terhadap kekerasan seksual (Seidman dan Vickers, 2005).

Karena itu, bangunan hukum nasional perlu diorientasi ke sisi korban kanak-kanak. Bukan pelaku. Hingga kini perhatian kepada korban baru sebatas berupa penyelenggaraan rehabilitasi. Baru ada satu peranti hukum nasional yang memuat ketentuan tentang ganti rugi bagi korban kejahatan, yaitu Undang-Undang Tindak Pidana Perdagangan Orang.

Kontras, KUHP maupun lex specialis bernama Undang-Undang Perlindungan Anak (UU PA) sekalipun sama sekali tidak mengatur ihwal pemberian restitusi dari pelaku kepada korban kejahatan seksual terhadap anak maupun keluarganya (jika anak meninggal dunia). Pada aspek itulah revisi KUHP dan UU PA harus dilakukan.

Bahkan bukan sebatas restitusi, yaitu ganti rugi dari pelaku kepada korban. Sebagai konsekuensi penetapan kejahatan seksual terhadap anak sebagai kejahatan luar biasa (terlepas dari tidak tepatnya parameter penentuan status luar biasa tersebut), negara (c.q. pemerintah) pun patut dikenai kewajiban membayar kompensasi kepada korban. Itu akibat kegagalannya menggerakkan langkah-langkah luar biasa dalam rangka melindungi anak-anak Indonesia. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar