PKI Bangkit Kembali?
Azyumardi Azra ;
Guru Besar UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta;
Anggota Komisi Kebudayaan Akademi
Ilmu Pengetahuan Indonesia
|
KOMPAS, 17 Mei 2016
Sudah
lebih dari setengah abad sejak peristiwa G30S/PKI yang diikuti penerbitan
Ketetapan MPRS Nomor XXV Tahun 1966 tentang Pelarangan Partai Komunis
Indonesia, Marxisme, Leninisme, dan komunisme bentuk apa pun. Dalam kurun
waktu cukup panjang itu, kontroversi tentang PKI terus berlanjut dalam
masyarakat Indonesia.
Isu
kebangkitan kembali Partai Komunis Indonesia (PKI) memenuhi ruang publik
sejak masa pemerintahan Presiden Joko Widodo. Media sosial khususnya memuat
banyak perbincangan, rumor, gosip, foto, atau gambar tentang kegiatan yang
dianggap sebagai upaya PKI bangkit. Sering perbincangan, rumor, gambar, atau foto
yang beredar di media sosial tidak masuk akal. Misalnya, ada gambar halte bus
kota palu arit dengan warna merah mencolok. Bagaimana mungkin membangun halte
seperti itu di ruang publik terbuka?
Sejumlah
pertemuan, seminar, dan simposium di tingkat nasional atau internasional yang
diadakan kalangan advokasi HAM turut meningkatkan kecurigaan. Sekadar
menyebut contoh, medio April 2015 di Den Haag ada seminar bertajuk ”1965 Massacre: Unveiling the Truth,
Demanding Justice (Pembantaian: Mengungkap Kebenaran, Menuntut
Keadilan)”.
Perbincangan
besar lain adalah Simposium Nasional 1965 di Jakarta pada 18 April lalu.
Simposium ini menyimpulkan, negara terlibat pembantaian mereka yang dicurigai
terlibat PKI. Karena itu, negara harus menyelesaikannya melalui permintaan
maaf dan rekonsiliasi. Simposium ini mengundang reaksi keras. Kalangan
purnawirawan mantan petinggi TNI yang tidak setuju terhadap Simposium 1965
menyatakan bakal mengadakan simposium awal Juni 2016. Didukung Menteri
Pertahanan Ryamizard Ryacudu, mereka menyatakan Simposium 1965 tidak
akomodatif.
Membuat keadaan kian
galau, pejabat tinggi negara menampilkan sikap berbeda.
Presiden Jokowi menyetujui pembongkaran ”kuburan massal” anggota dan
simpatisan PKI. Menhan menolak usulan itu. Berbeda dengan rumor dan gosip,
Presiden menyatakan belum atau tidak punya rencana meminta maaf kepada PKI.
Presiden menegaskan, PKI dan bentuk komunisme lain masih terlarang.
Sementara polisi
kian aktif menyita buku dan kaus bergambar palu arit dan menahan mereka yang
diduga terlibat karena konon Presiden Jokowi menginstruksikan kepolisian
melakukan represi terhadap upaya penyebaran komunisme. Namun, belakangan,
Presiden menegaskan agar aparat menghentikan represi dan menyatakan kebebasan
berpendapat harus menjadi prioritas dalam upaya pencegahan penyebaran paham
komunisme.
Pertanyaan
yang tetap perlu diajukan, apakah PKI atau bentuk lain komunisme bisa bangkit
kembali? Cukup banyak kalangan di Indonesia yang merasa pasti PKI bakal
bangkit kembali di era kebebasan sekarang. Sebaliknya, Wakil Presiden M Jusuf
Kalla menyatakan tak yakin PKI atau komunisme bisa bangkit lagi di Indonesia.
Wapres
beralasan, ideologi (komunisme) terbukti gagal di banyak negara. Menurut dia,
negara besar seperti Rusia dan negara Eropa Timur sudah tidak lagi menerapkan
paham tersebut. Komunisme di Tiongkok sudah berubah dengan menerapkan sistem
demokrasi pada tingkat tertentu. ”Satu-satunya negara komunis yang masih
tersisa hanyalah Korea Utara.”
Pernyataan
Wapres Kalla tidak menyederhanakan masalah. Berbagai kajian akademik-ilmiah
tentang subyek ini menghasilkan kesimpulan kurang lebih sama. Profesor
Archie Brown, Guru Besar Ilmu Politik Universitas Oxford, dalam bukunya yang best seller, The Rise and Decline of Communism (2011), menyimpulkan, komunisme
telah bangkrut dan tinggal sekadar ideologi kosong yang ilusif. Komunisme tak
punya peluang bangkit di suatu negara, apalagi di tingkat internasional.
Memang,
juga ada
kontrawacana cukup luas tentang kegagalan atau kebangkrutan kapitalisme yang
dapat memberikan iklim kondusif bagi bangkitnya kembali komunisme. Namun,
kenyataan di lapangan menunjukkan liberalisasi ekonomi, karena globalisasi
yang terus meningkat, justru kian memperkuat kapitalisme—bahkan di negara
yang secara resmi masih menganut paham komunisme seperti Tiongkok.
Ekonomi
Indonesia yang terus tumbuh —meski sedikit melambat—telah melahirkan kelas
menengah cukup besar. Menurut berbagai estimasi, sedikitnya separuh dari sekitar
250 juta warga telah menjadi kelas menengah. Mereka hidup relatif cukup (affluent) yang cenderung bersikap complacent—merasa senang, aman, dan
tak mau ambil risiko sehingga tidak tertarik pada ideologi komunisme yang
berpotensi revolusioner.
Dari sudut ini,
komunisme bisa memiliki peluang hanya jika kepincangan ekonomi, kemiskinan,
dan pengangguran kian meluas. Jika Indonesia ingin peluang PKI bangkit
kembali mengecil, tantangan dan tugas ke depan adalah mengatasi kesenjangan
ekonomi, kemiskinan, dan pengangguran. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar