Calon Gubernur
Putu Setia ; Pengarang;
Wartawan Senior TEMPO
|
KORAN TEMPO, 30 April
2016
Tak ada pemilihan gubernur yang seheboh di Jakarta. Basuki
Tjahaja Purnama alias Ahok sebagai calon petahana memberi tamparan kepada
partai politik. Sementara dulu dia diusung Partai Gerindra dalam posisi
sebagai calon wakil gubernur yang dipasangkan dengan jagoan PDI Perjuangan,
Joko Widodo, kini Ahok meninggalkan Gerindra. Ahok sempat berbasa-basi
menanyakan kepada PDI Perjuangan apakah akan mendukungnya, mengingat posisi
wakil gubernur dipegang Djarot, yang merupakan kader PDIP. Namun, setelah
terbentur "mekanisme partai", kepastian dukung-mendukung itu baru
ada menjelang pendaftaran ke Komisi Pemilihan Umum (KPU). Ahok bersimpang
jalan. Dia tahu kepastian itu tidak pasti.
Banyak orang tersentak lalu mendukung Ahok dengan
memberikan KTP. Ada juga yang mendukung Ahok untuk menyalurkan rasa tak
puasnya melihat tingkah polah partai selama ini. Partai sepertinya tak mampu
melahirkan pemimpin.
Partai politik lagi gamang. Kini mereka menerima
pendaftaran bakal calon gubernur dan wakilnya. Siapa pun boleh mengambil
formulir, apakah dia penyanyi, pengacara, pengusaha, pengamat sosial, sampai
yang tak jelas profesinya digolongkan di mana. Tak ada persyaratan, misalnya,
harus seideologi dengan asas partai, harus kader partai dengan bukti punya
KTA (kartu tanda anggota) partai.
Sampai penutupan pendaftaran, PDI Perjuangan mengantongi
32 pelamar. Di antaranya, ada Yusril Izha Mahendra, Ketua Umum Partai Bulan
Bintang (atau Bintang Bulan, saya lupa). Lalu ada Muhammad Idrus, kader
Partai Keadilan Sejahtera, ada Haji Lunggana alias Haji Lulung, kader Partai
Persatuan Pembangunan. Ketiga pelamar ini dikenal sebagai kader partai yang
condong ke Islam. Kalau salah satu dari tiga orang ini dipilih PDI
Perjuangan, apakah asas nasionalisme dibuang ke laut oleh para Marhaenis, eh,
apa istilah ini masih ada? Apakah kader partai tak tersinggung (dan terhina)
calon gubernur ternyata berasal dari kader partai lain?
Untuk tokoh sekaliber Yusril, juga terasa aneh kalau
dilihat dari sejarah kelahiran partai politik di negeri ini. Ahli hukum tata
negara ini melamar di sejumlah partai. Apakah yang dia kejar? Tak perlu
bergelar profesor untuk menjawabnya: pasti jabatan. Lantas, kalau jabatan itu
diraihnya, ideologi apa yang dia terapkan sebagai gubernur? Apakah ujug-ujug
ideologi itu klop dengan partai pengusungnya? Atau lupakan itu, yang penting
"gubernur untuk kesejahtraan rakyat". Jika begitu sederhana, untuk
apa ada partai politik? Bubarkan saja partai. Calon-calon bupati, gubernur,
presiden, serta anggota parlemen cukup diseleksi oleh Pansel (Panitia
Seleksi) yang dibentuk KPU. Calon yang dihasilkan Pansel ini dipilih oleh
rakyat saat pemilu atau pilkada. Jangan-jangan lebih baik hasilnya.
Tapi syukurlah, pendaftaran yang diselenggarakan partai
untuk calon gubernur ini tampaknya juga "sekadar basa-basi".
Buktinya, PDI Perjuangan sudah dari awal menyebutkan kader yang diusung nanti
tergantung "penugasan partai", yang penetapannya dilakukan Ibu
Ketua Umum. Jadi 32 pendaftar di PDI Perjuangan ini hanya
"penggembira", seperti yang pernah terjadi di masa lalu, misalnya,
saat konvensi Partai Demokrat menjaring calon presiden. Tak ada hasil
apa-apa, tapi pelamar tetap banyak. Maklum, mereka mendaftar hanya untuk
mencari popularitas, bukan menawarkan program.
Jika begitu, sampai saat ini baru Ahok yang siap bertarung
dalam pilkada DKI Jakarta tahun depan. Belum muncul lawan tangguh, atau
mereka masih berusaha menggugurkan Ahok, entah dengan cara apa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar